Stuck with You/C1 Prolog
+ Add to Library
Stuck with You/C1 Prolog
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 Prolog

Lila Agatha duduk di dekat jendela bertopang dagu. Dia menatap Davino Adam yang berdiri di depan kelas dengan datar, tanpa minat. Tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali. Sementara cewek-cewek satu kelas menatap Davin dengan tatapan kagum. Banyak di antara mereka mengerling genit. Mengerjap-ngerjap mata seperti kelilipan lalat pikat. Mereka kenapa? Kayak nggak pernah melihat cowok ganteng saja.

Cewek aneh, pikir Davin. Dia yakin pesonanya sanggup membuat semua mahasiswi tergila-gila. Rela mengantre jadi pacarnya. Bahkan ada yang rela menawarkan diri hanya jadi partner sex saja. Tapi cewek ini beda. Ada yang lain di dalam dirinya dan… Davin suka itu. Suka tatapan mata tak acuh itu. Jujur dia sudah bosan dengan tatapan mahasiswi yang menatapnya seperti ia adalah potongan kue paling enak dan hanya ada satu-satunya di dunia. Diacuhkan seperti itu membuat Davin merasa tertantang. Sialan! Cewek itu menantang Davin untuk mendekatinya. Mata indah milik cewek itu menghipnotisnya. Dan Davin bersumpah akan mendapatkan perhatian dari seorang cewek jutek bernama Lila Agatha.

* * *

Cowok itu berhasil menyedot perhatian seluruh mahasiswi di kelas. Yang orangnya belum sampai tapi namanya sudah diambung-ambungkan oleh cewek-cewek seantero jurusan. Ada mahasiswi yang pernah satu SMA dengannya, dengan begitu antusias dia bercerita kalau cowok yang bernama Davino Adam itu segagah model Calvin Klein.

Masa iya segagah itu? Lila tersenyum sinis. Yakin cowok itu nggak bisa dibandingkan dengan idolanya, Chris Hemsworth. Tapi… sial! saat cowok itu berdiri di tengah-tengah ruang kuliah dengan sepatu adidas putih, celana hitam, kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung sampai siku. Ah, memang tidak sebanding dengan Chris Hemsworth, batin Lila. But… kenapa bibirnya seksi sekali? Wajahnya blasteran. Entah blasteran mana Lila nggak mau tahu. Nggak mau peduli. Nggak mau ambil pusing! Tapi detik itu Lila sadar kalau dia sudah jatuh terpikat pesona dari seorang Davino Adam.

Buru-buru ditepisnya rasa itu. Jangan, jangan sampai jatuh terpikat. Elo bukan tipe dia. Badan lo rata. Wajah lo biasa aja. Lila terus bergumam dalam hati. Jika semua cewek di kelasnya benar-benar menampakkan ketertarikan pada seorang Davino Adam maka Lila memilih menyembunyikannya. Keep inside!

* * *

“Kenapa lo mau sahabatan sama gue?” Lila menatap sinis Davin yang tersenyum tanpa dosa ke arahnya. Tolongin gue dong, Davino Adam! jangan tebar pesona di depan gue. Gue cuma mau memuja Chris Hemsworth aja. Nggak mau yang lain! pekik Lila dalam hati. Ajib memang Davin ini kalau lagi tersenyum kayak gitu. Rasanya Lila seperti balokan es yang diletakkan di bawah matahari yang hanya berjarak sejengkal. Meleleh seleleh-lelehnya. Tapi sori, ya, Lila bukan tipe cewek kebanyakan. Dia tahan kok digodain. Mau Davin telanjang juga Lila nggak akan terpengaruh. Nggak akan ngiler. Asal… Davin telanjang pas listrik lagi padam!

“Gue cuma mau jadi sahabat lo doang kok, La. Masa ditanyain kenapa juga sih?”

“Loh, emang gue salah nanya gitu?”

“Enggak sih, La. Cuma berasa kurang enak aja. Gue kayak lagi diinterogasi sama bapak-bapak yang anak gadisnya gue lamar.” Davin terkekeh, kesenangan. Sementara Lila mati gaya.

“Oke, fine. Sekarang kita sahabatan,” putus Lila. Dia berdiri, memakai tasnya dan bersiap pergi dari hadapan Davin saat itu juga.

“Bentar.” Tangan besar Davin mencekal lengannya. “Ada syaratnya kalau lo bersedia jadi sahabat gue.”

What the heck? Syarat? Davin mengajukan syarat padanya? Syarat nenek moyang lo hidup lagi! Di mana-mana, di atas dunia, semua pasti setuju kalau Lila adalah pihak yang berhak mengajukan syarat. Tapi ini kok Davin sih yang ngajuin syarat? Nggak bener nih anak. Tapi ya sudah lah. Lila tahu masalah akan semakin panjang jika tidak segera berlalu dari hadapan Davin detik itu juga.

“Apa syaratnya?”

“Gampang, kok. Syaratnya: jangan ada cinta di antara kita.”

“Oh, oke. Gampang banget tuh,” kata Lila enteng lalu tersenyum kaku sebelum akhirnya lari tunggang langgang dari ruang kuliah di lantai dua menuju tempat parkir mobilnya.

“Syarat apaan tuh?! Asem banget si Davin. Sok ganteng. Sok keren. Sok kekar! Benci gue sama lo!” Lila berteriak sejadi-jadinya di dalam mobil BMW M3 birunya. Meneriakkan segala uneg-uneg yang bergumul di dada yang ia tahan selama dua jam kuliah tadi. Tentang Davin yang terus mengajaknya bicara. Yang terus meremas jarinya. Bahkan hampir membuatnya mencium pipi Davin.

“Shiiittt! Bangke! Gue nggak bakalan jatuh cinta sama lo. Selamanya!”

* * *

Bagi Lila, Davin selain tampan orangnya seru banget. Nggak jaim. Nafsu makannya gede. Wajar aja sih, badannya juga gede. Tapi gedenya Davin bukan gendut. Dia bongsor. Tinggi berotot. Kuat banget orangnya. Hanya perlu sebelah tangan untuk mengangkat tubuh Lila. Selain itu dia sopan juga. Sama mami sering bercanda. Kata mami kalau bukan sahabat, Davin sudah disuruh menikahinya. Hilih, mam, nggak akan kesampaian.

Bagi Davin, Lila selain pintar juga keturunan cebol berwajah manis. Tubuhnya kecil banget. Kena sentil sedikit saja mungkin dia sudah nyempil di atas pohon ketapang. Ditiup angin sepoi-sepoi pasti akan oleng badannya. Dan Lila harus berada dalam dekapannya jika ingin membeli makanan di kantin kalau nggak mau terinjak-injak oleh mahasiswa-mahasiswa yang rakus. Tapi orangnya seru banget. Nggak jaim. Meskipun bibirnya tipis dan kecil tapi kalau sudah ngomong, beuhhh… kecepatannya sama kayak rapper papan atas. Pribadi Lila yang suka ceplas-ceplos itu membuat Davin betah. Satu hari saja tidak bertemu Lila, rasanya dunia terasa hampa. Dan terima kasih kepada gadis mungil itu karena berkat dirinya, Davin bisa tertawa selepas-lepasnya.

Mereka akhirnya menjadi sahabat dekat. Terlalu dekat sampai semua orang berpikir Davin dan Lila akan segera melangsungkan pernikahan. Nikah karena hamil duluan adalah spekulasi mereka yang paling mantap. Lila sih masa bodoh. Davin juga kayaknya sama. Lho, apa yang harus diributkan sih dengan rumor yang tidak berdasar itu. Mereka sahabatan. Cuma sahabatan. Nggak ada kata cinta apalagi menikah di kamus persahabatan mereka.

* * *

Lila meringis karena lututnya terasa perih. Dia jatuh terjerembap didorong segerombolan mahasiswi yang iri dengan persahabatan dia dan Davin. Untungnya sebelum Lila sempat dimutilasi, Davin datang menolong. Mengomeli cewek-cewek menor itu dan melemparinya dengan sumpah serapah. Seketika wajah empat cewek menor itu berubah pias. Habisnya mereka tidak pernah menyangka Davin yang murah senyum bisa berubah menjadi sesetan ini.

“Sekali lagi gue lihat elo, elo, elo dan elo ganggu Lila. Nyentuh dia seujung rambut aja, camkan ini: gue Davino Adam nggak akan biarin kalian hidup tenang!”

Lalu mereka kocar-kacir. Lari tak tentu arah karena saat itu Davin sedang memegang sebongkah batu yang siap dilempar ke arah mereka kalau berani berpaling. Davin lalu membuang batu itu jauh-jauh. Berjongkok di depan Lila yang terduduk di siring taman, memegangi sikunya yang berdarah.

“Shit!” Davin mengumpat pelan saat tahu bukan hanya lutut dan siku Lila saja yang berdarah tapi sudut bibirnya juga memar.

“I’m so sorry, La.” Dengan rasa bersalah Davin mengusap ujung bibir Lila, membersihkan dari pasir-pasir yang menempel di sana.

“Iiiihhh, ogah deh gue sahabatan sama lo lagi. Banyak sakitnya. Badan gue kecil gini lagi, bukannya nggak bisa ngelawan, belum apa-apa gue udah bonyok!” setelah mengatakan itu Lila nyengir lebar. Bukan bermaksud serius untuk mengatakan itu semua, tapi sepertinya Davin terbawa suasana. Cowok itu jadi murung. Membuat Lila merasa bersalah.

“Vin, hei, kok jadi lo yang sedih? Yang sakit itu gue lho.”

“Iya, maaf ya, La. Tapi jangan bilang lo nggak mau jadi sahabat gue lagi dong. Gue nggak tahu bakalan jadi apa hidup gue kalau nggak ada lo.”

Tanpa aba-aba. Tanpa disangka-sangka. Bibir Davin menempel sudut bibir Lila yang memar. Menciumnya lembut. Ada yang panas tapi bukan matahari. Melainkan wajah Lila! Entah, apakah dia harus risi atau senang. Harapannya hanya satu, semoga tidak dipergoki dosen atau satpam!

* * *

Jangan ada cinta. Ingat, jangan ada cinta di antara kalian berdua!

Sialnya setelah kejadian itu salah satu dari mereka sadar telah melanggar syarat. Ada cinta yang tumbuh tanpa permisi dan semakin subur di hati tapi tak bisa terucap. Setiap hari, berganti minggu, berganti bulan, menjadi tahun. Dan menginjak tahun kedua, cinta itu bersemi. Tapi sebelum bunganya sempat mekar satu dari mereka sudah menebangnya tanpa sisa. Hanya ada akar. Siapa sangka, akar itu menjadi pengantar sakit hatinya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height