Stuck with You/C2 Permintaan Maaf
+ Add to Library
Stuck with You/C2 Permintaan Maaf
+ Add to Library

C2 Permintaan Maaf

“Lila! Buruan bangun! Davin sudah datang!”

Pintu kamar Lila diketuk secara membabi buta. Dia yang sedang meringkuk di kasur lantas menutup telinganya dengan bantal. Menarik selimut lalu mencoba tidur lagi. Memangnya sekarang jam berapa sih? gumamnya. Rasanya baru sejam yang lalu dia tidur. Jiwanya belum berkelana ke alam mimpi tapi mami sudah menerornya. Menggedor-gedor pintu kamar seperti rentenir mau menagih hutang. Pakai bawa-bawa nama Davin segala lagi.

Wait! What?! Lila sontak terduduk di ranjang. Tadi mami bilang siapa? Davin? Davin sudah datang? Kenapa? Lila melirik weker di nakas. Oh, God! jam sebelas! Terlambat! Terlambat! Seharusnya dia sudah berada di rumah Davin untuk merayakan ulang tahun sahabat kesayangannya itu. Tapi lihat dia sekarang. Masih memakai kamisol tidur berwarna hitam. Rambut acak-acakan. Mata sayu. Jejak iler di pipi kanan dan pipi kiri. Aduh, ngeri! Kalau Davin melihatnya dia tak yakin cowok itu masih mau jadi sahabatnya.

“La?” mami ternyata masih ada di depan pintu kamarnya. Sepertinya tidak akan beranjak dari sana sebelum Lila membuka pintu atau sekedar menjawab panggilan maminya dari dalam kamar, memberi tanda kalau Lila sudah bangun dan sekarang sedang bersiap turun.

“Pakai dikunci segala ini pintu!” gerutu mami. “Duuuh Vin, tante minta maaf, ya. Lila kalau udah tidur itu kayak beruang yang lagi berhibernasi.”

Lila mendengar Davin sedang tertawa renyah dari balik pintu kamarnya. Cewek itu ragu-ragu untuk membuka pintu mengingat keadaannya sekarang. Untuk saat ini Lila menyesal karena tidak ada kamar mandi di kamar tidurnya. Mau tak mau dia harus turun ke lantai satu untuk mencuci muka dan membiarkan Davin melihat wajah aslinya yang tidak dipoles make up sama sekali. Keadaannya sekarang nggak lebih cantik dari banci kaleng yang melambai di lampu merah.

Tuhaaan… tolong buat Davin buta lima menit aja, pinta Lila tapi buru-buru ditariknya kembali. Gila dia karena sudah mendoakan yang tidak baik di hari ulang tahun Davin.

“Babe, are you awake?”

Lila tersedak ludah sendiri. Heh? He says what? Babe? Apa-apaan sih Davin! Dua tahun sahabatan baru kali ini dia memanggil Lila ‘babe’. Kerasukan apa tuh cowok? Biasanya Lila pasti dipanggil blo’on, cebol, dan bantet! Huh! Pasti karena ada mami makanya sok-sokan romantis gitu.

“Tante tinggal, ya, Vin. Udah telat banget ini.”

Mendengar bunyi langkah beriringan yang menjauhi kamarnya membuat Lila sedikit lega. Pikirnya, Davin sedang mengantarkan mami sampai ke teras rumah. Lima menit kemudian barulah cewek itu membuka pintu. Melongokkan kepala lalu mengedarkan pandangan untuk membaca keadaan sekitar.

Oke. Aman! Buru-buru dia ngacir, lari kecil-kecil menuju tangga. Tapi ketika kaki kecilnya sampai di tengah-tengah anak tangga, tiba-tiba dia dipeluk dari belakang. Sepasang lengan kokoh melingkar erat di perutnya. Kakinya tidak lagi menapak lantai karena tubuh mungilnya diangkat. Lila tersentak hebat sampai lupa bernapas. Semenit berlalu dengan begitu kabur. Tahu-tahu punggungnya sudah menempel di pintu dengan tubuh Davin menghimpitnya.

Hell! What’s going on? Lila mencoba berpikir sekeras yang dia bisa. Tapi salahkan jaraknya yang terlalu dekat dengan Davin membuat dia bisa mencium aroma perpaduan citrus dan mint yang memabukkan. Memenjara akal sehatnya.

“La.”

Suara lirih Davin yang terdengar serak-serah basah di telinga Lila. Sejak kapan sih Davin punya suara seseksi ini. Apalagi cowok itu sedang memanggil namanya dengan begitu sensual. Wajah Lila sudah kebakaran. Bagian tubuhnya yang lain juga sama. Tangan besar Davin meraih dagunya. Mengangkat dagu itu sehingga wajah Lila mendongak dan bertatapan dengan mata elang Davin yang sendu.

“Vin sorry banget ya, gue kesiangan.” Lila melihat raut kecewa Davin. Dia merasa kesalahannya kali ini tidak bisa ditebus hanya dengan meminta maaf. Sahabat macam apa dia yang tidur seperti orang mati sampai melupakan janjinya.

Tangan kekar Davin beralih bertengger di bahu Lila. Mengelusnya pelan sambil matanya masih menghujam lurus mata Lila. Lila mati gaya ditatapi seperti itu. Mata gue belekan ya? tanyanya dalam hati. Buru-buru Lila mengusap sudut-sudut matanya untuk menyingkirkan benda biadab yang semakin menurunkan nilai kecantikannya.

Davin menghentikan acara ‘bersih-bersih belek’ Lila dengan tangannya yang lain. Cowok itu semakin menundukkan wajahnya. Mempertipis jarak wajah mereka. Lila membeku karena merasakan napas Davin menggelitik pipinya.

“Vin?” Lila bergerak gelisah di bawah kungkungan Davin.

“Gue manusia, La. Gue sahabat lo dan gue cowok tulen.”

Lila menelengkan kepala sebelum bertanya, “terus?”. Dia bingung dengan kata-kata Davin. Pernah ya dia bilang Davin bukan manusia? Pernah dia nggak mengakui Davin sebagai sahabat? Terus, pernah dia ragu-ragu tentang orientasi seksual Davin? Dia bilang kalau Davin itu itu gay? atau panseksual? Pernah? Never, is the answer!

Lila tahu betul Davin punya ketertarikan seksual yang tinggi terhadap wanita berbemper besar. Cowok itu mengatakan dengan begitu lantang padanya. Menceritakan apapun padanya. Tanpa filter. Bahkan hal yang dianggap tabu sekalipun jadi halal jika sudah sampai di Davin. Termasuk kegiatan penyaluran kebutuhan seksualnya yang hampir setiap hari. Di dalam kamar mandi… di bawah guyuran air hangat… Mengingat ekspresi Davin saat menceritakan itu… uhhh membuat Lila tergidik.

“Apa maksud lo pake baju kayak gini di hadapan gue, La?” Davin membasahi bibir bawahnya dengan lidahnya. Napasnya pendek-pendek seperti orang asma.

Lila mendongak dan mendapati mata Davin sedang fokus ke arah belahan payudaranya yang terlihat karena kamisol tidurnya berpotongan dada rendah. Satu tangannya yang bebas dari cengkeraman Davin berusaha menutupi aset berharganya itu. Perlakuannya sukses membuat Davin terkekeh.

“Vin, lepas. Gue mau mandi biar kita bisa ngerayain ultah lo.” Lila bergerak gelisah dalam kurungan Davin. Tapi bukannya melepaskan Lila, Davin malah mengangkat tubuh mungil itu dan membantingnya dengan pelan ke kasur. Sebelum Lila sempat memproses apa yang barusan terjadi, tubuh bongsor Davin sudah menindihnya. Kedua tangannya sudah dicengkeram Davin tepat di atas kepalanya.

“Vi-Vin?” wajah Lila berubah pias. Davin yang sedang menindihnya bukan Davin yang ia kenal selama dua tahun ini. Wajahnya kaku dan dingin. Sorot matanya membuat Lila tergidik.

“May i kiss you, La?”

Hah?! Kiss? Dengan Davin? Sahabat sendiri? Never, tolak Lila mentah-mentah dalam hati.

“Ng-ngak!”

“Kali ini aja, La. Sekali doang.”

“Ng-“ belum sempat Lila mengajukan protesnya, bibir tebal Davin sudah mengecup dahinya, lalu kedua belah matanya, dan terakhir kedua belah pipinya.

“Gue bakalan menganggap itu sebagai permintaan maaf lo karena acara ultah gue hari ini terancam batal.”

“Da-Davin,” Lila tergagap. “Gue sahabat lo.”

“I know it. So, what’s wrong?” balas Davin santai.

"Friend doesn't kiss!"

Bingung dengan Davin yang tiba-tiba meminta ciumannya. Davin tahu Lila tidak pernah berciuman selama dua puluh tahun dia hidup. Dan kalau cecunguk satu ini meminta ciumannya, apa artinya? Tentu saja Davin akan menjadi orang pertama yang menciumnya. Lalu apakah dia rela ciuman pertamanya dilakukan dengan Davin, sahabatnya sendiri?

Sementara pikirannya masih berkabut, mulut Davin tak pernah berhenti menciumi kedua pipinya dan sesekali turun ke sudut bibir. Does he teasing her right now? Tapi alih-alih menghentikan aksi Davin, Lila malah menikmatinya. Dia bahkan mulai menginginkan bibir tebal Davil menghajar bibir tipisnya sampai bengkak. Peduli setan dengan status persahabatan! It’s her first kiss. And she wants do it with Davin!

“May I kiss you?”

Lila menggeleng lemah tapi dari sorot matanya Davin menangkap hal yang berbeda. Dia menyeringai dan semakin mengeratkan cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan Lila sebelum bertanya, “Really?”

Lila mengangguk cepat, membuat Davin terkekeh hebat. Lila terlalu malu untuk mengakui dia ingin berciuman dengan Davin. But he knows that! Dan Davin malah semakin gencar menggoda Lila.

“Serius, La? Lihat mata gue dan katakan kalau lo nggak mau ciuman sama gue.”

“Whattt?” Lila hanya bisa megap-megap. Bagaimana dia bisa berkata begitu sambil melihat mata Davin?!

Tanpa membuang waktu lagi Davin sudah mencium bibir Lila penuh kelembutan. Dia ingin Lila merasakan ciuman pertama yang tak terlupakan dengannya. Dia ingin Lila merasakan rasa sayangnya yang begitu dalam lewat ciuman ini. God, help! Davin suka ini. Pergerakan samar bibir Lila yang masih malu-malu membalas ciumannya membuat Davin kalang kabut. Panas dingin. Entah kenapa libidonya jadi naik. Dan kalau tidak berhenti sekarang Davin takut mereka akan berakhir telanjang.

Davin mengistirahatkan dahinya pada dahi Lila sebelum berkata, “I love you, La. Always.”

Kata-kata itu berefek dahsyat bagi Lila. Membuat Lila berharap lebih. Berharap kata-kata itu tersirat makna. Bukan sekedar kata yang diucapkan untung membuat hatinya berbunga lalu diinjak sampai mati.

Report
Share
Comments
|
New chapter is coming soon
+ Add to Library

Write a Review

Write a Review
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height