Tanpa Rasa/C4 Akal Licik Mario
+ Add to Library
Tanpa Rasa/C4 Akal Licik Mario
+ Add to Library

C4 Akal Licik Mario

Sejak berhubungan dengan Mario waktu itu, Meisya merasa agak canggung jika sedang makan bertiga di kantin dengan lelaki itu dan juga Pelangi. Beda dengan Mario yang terlihat santai saja. Tanpa Meisya dan Pelangi sadari, Mario dari tadi terus memperhatikan gerak-gerik Meisya yang tampak tidak nyaman.

Seperti kali ini, Pelangi tengah memesan minuman, hanya tinggal Mario dengan Meisya. Meisya pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Mario, lelaki itu memandang Meisya dengan satu sudut bibir terangkat. Sebuah rencana muncul di benak Mario. Bukan rencana yang tiba-tiba saja muncul, melainkan sudah dia pikirkan sesaat usai mengambil keperawanan perempuan itu.

"Ayah lo gimana keadaannya sekarang, Sya?" tanya Mario memecah keheningan di antara mereka.

"Ayah udah mulai baikan. Lusa udah dibolehin pulang."

"Syukurlah kalau gitu. Gue ikutan senang dengernya."

Meisya tersenyum tipis.

"Sabtu malam lo ada acara nggak?"

"Nggak ada, sih. Di rumah aja. Emang kenapa, Kak?"

"Ada temen klub mobil gue adain pesta, tapi Pelangi enggak bisa ikut. Lo mau nemenin gue nggak?" pinta Mario to the point.

Meisya tak langsung menjawab. Dia merasa tidak enak dengan Pelangi. Di satu sisi, dia tidak tega menolak Mario. Karena uang yang diberi lelaki itu lah dia bisa membayar biaya operasi ayahnya, walau pemberian lelaki itu tidak gratis. Tapi, di mana lagi dia bisa mendapatkan uang dalam waktu cepat saat itu? Dengan dia menjajakan diri di club malam pun, belum tentu dia akan langsung mendapatkan uang sebesar itu. Iya, kalau dia bertemu dengan orang yang baik. Bagaimana jika tidak? Dia bisa diperlakukan semena-mena.

“Emm, gimana, ya? Lo minta izin dulu gitu, sama Pelangi?”

Mario menggeleng.

"Nggak perlu. Lagian, dia juga nggak bakalan tahu kalau bukan lo sendiri yang kasih tahu. Gimana? Mau nggak?"

"Gue pikir-pikir dulu ya, Kak. Entar Sabtu pagi gue kabarin."

***

Setelah mengantar Pelangi pulang ke tempat kos, Mario mengendarai mobilnya menuju kampus kembali. Ada janji main futsal bersama teman satu jurusannya. Dia tidak ingin mata teman-temannya fokus pada Pelangi jika dia mengajak kekasihnya itu menemaninya bermain futsal. Pelangi yang cantik dan imut, siapa yang tidak suka pada mahasiswi semester dua yang sekaligus merupakan adik tingkat Mario tersebut?

Mario merasa beruntung mempunyai kekasih seperti Pelangi. Selain memiliki paras yang cantik, Pelangi juga terkenal ramah, tidak ribet, tidak manja, mudah bergaul dan banyak lagi kelebihan yang dimiliki gadisnya itu. Namun, walau kekasihnya itu terlihat sempurna bagi kebanyakan orang, dia tetap ada minusnya bagi Mario. Sudah pacaran dari masa SMA, Pelangi sama sekali tidak mau melakukan kontak fisik lebih dengannya. Hanya sebatas pegangan tangan, berpelukan dan cium pipi. Mario tersiksa dengan itu. Dia menginginkan lebih dari itu. Tapi, dia tidak ingin Pelangi marah jika dia melakukan hal lebih. Pelangi adalah perempuan baik-baik.

Mario sangat menyayangi Pelangi walau perempuan itu tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Biarlah, Mario bisa mencarinya di luar sana jika sedang ingin. Pelangi itu tipe istri idaman Mario, maka dia ingin menjaga perempuan itu sampai mereka bisa menikah suatu saat nanti. Orang tua Mario juga sangat menyukai Pelangi, begitu pun dengan orang tua perempuan itu. Mario dinilai sebagai lelaki yang baik oleh keluarga Pelangi. Mereka tidak tahu saja bagaimana kelakuan Mario di belakang mereka semua.

Ketika akan tiba di kampus, Mario melihat seseorang yang dikenalnya sedang mendorong sebuah motor. "Meisya?"

Mario menghentikan mobilnya seketika. Bersamaan dengan itu, ada telpon dari temannya dan dia mengangkatnya.

"Hallo, kayaknya gue nggak jadi ikutan main," jawab Mario pada teman yang sedang meneleponnya.

"........ "

"Sorry banget, gue ada urusan dadakan." Padahal Mario tidak biasa-biasanya membatalkan acara futsal seperti itu. Futsal adalah kegemarannya.

"......... "

"Bukan pacaran, sumpah deh! Ini jauh lebih penting. Udah ah, gue tutup dulu."

Mario keluar dari mobil dan menghampiri Meisya yang tampak kesusahan agak letih mendorong motornya. Bukan karena Mario baik hati mau menolong Meisya dan memilih untuk tidak ikut futsal bersama temannya, namun Mario punya tujuan di balik itu semua.

"Motor lo mogok?" Mario sudah tiba di dekat Meisya.

"Bannya bocor. Tambal ban masih jauh kayaknya di depan."

"Gimana kalau motornya lo tinggalin aja di sini? Gue punya kenalan montir, gue bisa suruh dia ke sini. Sekarang mendingan lo pulang dulu sama gue. Biar motornya nanti minta antar sama montirnya."

"Nggak usah, Kak. Gue nggak mau repotin lo. Gue nggak masalah dorong motor ke depan sana. Paling kira-kira 10 menit-an lagi nyampe ke sananya."

"Gue nggak ngerasa direpotin, kok." Mario mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menelepon montir yang dia maksud.

"Sambil nunggu montirnya dateng, masuk ke mobil gue aja. Panas di sini."

"Nggak apa-apa. Gue di sini aja," tolak Meisya. Dia masih merasa canggung berinteraksi dengan Mario.

"Ayo lah, masuk! Apa kata Pelangi nanti kalau gue tega ninggalin sahabatnya panas-panasan begini?" Mario sengaja membawa nama Pelangi supaa Meisya mau menuruti perkataannya. Pelangi adalah sahabat Meisya satu-satunya saaat ini.

Waktu itu lo tega, Kak. Tega mengambil sesuatu yang berharga dalam diri gue. Memang gue yang nawarin, tapi lo gue butuh uang! Dan lo nggak mau pinjemin gue uang begitu aja.

"Hei, kok malah ngelamun?"

Meisya memgerjap.

Baru dia hendak membuka mulut, Mario sudah menarik tangannya menuju mobil.

Motor milik Meisya diurus oleh montir langganan Mario. Ternyata bukan bannya saja yang bocor, tapi ada kerusakan lainnya juga. Maklum saja, motor tersebut adalah motor bekas yang dibeli ayah Meisya waktu perempuan itu masih duduk di bangku menengah pertama. Wajar saja kalau sekarang, sering bermasalah.

"Lo udah makan siang?" tanya Mario dalam perjalanan menuju rumah Meisya. Sementara motor Meisya dibawa ke bengkel oleh montir langganan Mario, dan akan di antar ke rumah Meisya setelah diperbaiki nanti.

"Belum."

"Makan dulu yuk! Kebetulan gue juga belum makan." Tadinya Mario hendak makan di sekitaran kampus saja sebelum bermain futsal.

"Gue mau makan di rumah aja. Lo kalau mau makan, ya, gue pulang sendiri aja naik ojek."

Mario melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah jam setengah tiga. Pokoknya lo ikut gue makan dulu. Tenang aja, gue yang traktir."

Meisya merasa tidak enak hati dengan Mario. Tadi juga untuk perbaikan motornya, Mario juga yang membayarnya. Uang jajan Meisya pas-pasan, dia harus hemat sampai akhir bulan ini.

Sebenarnya Mario waktu itu transfer kepada Meisya melebihi permintaan perempuan itu, yakni sebesar 40 juta. Uang itu Meisya gunakan untuk biaya ruang rawat ayahnya yang kurang 9,5 juta lagi. Awalnya Meisya berniat meminjam 10 juta itu pada Pelangi dan membayarnya dengan cara menyicil. Dia akan mencari alasan untuk kegunaan uang itu, jika Pelangi bertanya. Tapi tidak jadi karena melihat transferan Mario yang lebih dari nominal yang dia sebutkan. Meisya sempat ingin mengembalikan uang itu pada Mario, namun lelaki itu menolaknya. Kata Mario, itu sebagai bayaran karena dia merasa puas dengan Meisya. Kalau begitu, Meisya rasanya benar-benar seperti jalang. Apabila pelanggan puas, maka akan mendapatkan bonus lebih. Mau bagaimana lagi? Meisya sedang butuh uang.

"Ayo turun! Gue udah laper banget," ujar Mario setelah memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran cepat saji.

"Mau langsung pulang atau ke mana dulu?" tanya Mario setelah mereka selesai makan.

"Mau ke rumah sakit bentar, lihat ayah gue."

"Ya udah, gue anterin. Oh ya, take away aja makanan buat nyokap lo di sana."

Meisya bingung. Mario ini aslinya baik apa gimana, sih? Sikap lelaki itu tidak bisa ditebak. Jika memang baik, kenapa waktu itu dia menyetujui untuk menerima penawarannya?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height