+ Add to Library
+ Add to Library

C5 Abigail Castain

Kota kecil di Amerika ini memang terkenal sebagai kota terdingin kedua di dunia. Roger Pass, Montana. Musim panas hanya terjadi singkat dan sepanjang tahun mengalami musim dingin yang panjang. Abigail berlari dengan sepatu boot merahnya. Rambutnya yang pirang sebahu tampak lepek dan basah oleh udara lembab. Matanya biru dan sangat menawan. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut tertawa sambil berlari dari kejaran ibunya yang membawa sayuran dan buah murah yang mereka beli di pasar petani.

“Mama, ayo tangkap aku!” seru Abigail dengan ceria. Ibunya tampak masih muda dan terlihat kecantikan Abigail didapatkan dari gen ibunya, Jean.

“Keranjang ini terlalu berat, Abe, Mama tidak akan bisa mengejarmu. Langkahmu juga terlalu cepat,” gelak Jean sekaligus membuat besar kepala putrinya.

“Sebentar lagi, aku besar dan dewasa, Mama. Paman Lexi akan mempekerjakan aku menjadi asistan dapurnya,” balas Abigail dengan bangga. Lexi adalah pemilik restoran kecil yang berada di ujung jalan. Mereka sering mendapat kemurahan hati dari pria tua yang ramah tersebut berupa daging kering dan juga keju. Sesekali jika beruntung, Lexi akan mengirimkan pie daging yang sangat lezat.

Keduanya tiba di sebuah rumah bercat putih yang sangat rapi dan bersih. Rumah tersebut tidak terlalu besar dan dihuni oleh empat orang. Robert dan Anna, orang tua Jean, dan Abigail. Robert tertawa senang saat melihat cucunya kembali dengan Jean, putrinya.

“Kakek membawa daging rusa hari ini. Malam nanti, kita akan menyantap menu mewah!” seru Robert sambil menyimpan senapan berburunya.

“Jangan terlalu berada lama di hutan, Papa. Udara sangat dingin dan banyak pohon mulai rapuh. Bahaya jika jatuh. Papa bisa tertimpa nanti,” ucap Jean sambil menyimpan belanjanya di kulkas yang tidak begitu besar.

“Aku akan berhati-hati, Sayang. Mungkin ini hasil buruanku yang terakhir,” balas Robert sambil mengecup rambut Jean putrinya. Robert sangat menyayangi buah hatinya dan rela berkorban apapun untuknya.

“Kenapa Kakek? Apakah berburu sekarang dilarang?” tanya Abigail heran. Robert menggeleng dan mengelus rambut Abigail yang kemudian berlari lagi menuju ruang tengah. Anna, sang nenek, datang dengan lipatan baju yang sudah rapi.

“Apakah kalian lapar? Nenek tadi membuat pai apel,” ucap Anna dengan senyum lembut dan keibuan. Abigail yang mendengar kata pai berteriak dari ruang tengah dengan antusias.

“Nenek, ada daging rusa yang Kakek tangkap. Kita akan makan mewah malam ini!” seru Abigail sembari menunggu neneknya mengambil pai dari oven. Jean tertawa akan antusias putrinya. Abigail terlahir tanpa mengetahui ayahnya. Saat Jean berusia enam belas tahun, dia mengandung tanpa diketahui siapa yang menanamkan benih dalam rahimnya. Para dokter juga heran, karena setelah diperiksa, selaput dara Jean masih utuh dan tidak ada bekas penetrasi.

Semua menyimpan pertanyaan dan berusaha menerima kenyataan yang cukup memalukan. Tapi Roger Pass adalah kota kecil yang mudah menyebarkan gossip. Rumor tentang Jean hamil tanpa pria yang bertanggung jawab membuat mereka dikucilkan oleh tetangga dan komunitas gereja.

Keluarga besarnya menjauh dan memutuskan hubungan dengan keluarga Robert Castain. Tapi pria tersebut berbesar hati menerima putri juga cucunya. Anna bahkan tidak peduli dan meninggalkan gereja serta memilih untuk beribadah di rumah. Jean mendapat dukungan dari orang tuanya dan mampu melanjutkan hidup setelah depresi berat karena harus keluar sekolah dan kehilangan seluruh teman remajanya.

“Pai nenek memang yang terbaik,” puji Abigail dengan mata berbinar. Anna tertawa. Cucunya memang pandai menyenangkan hati orang lain. Gadis kecil itu juga sangat pandai menyimpan emosi dan lebih terlihat dewasa dari usianya.

“Nah sekarang, selesaikan tugas berhitungmu, Nenek akan masak daging yang lezat untuk makan malam nanti,” ucap Anna. Abigail menjilati garpu dan dengan patuh membawa piring ke tempat cucian. Ibunya mengelus rambut putrinya dan Abigail kembali melesat dengan cepat melanjutkan belajar.

Abigail tidak pergi bersekolah karena hampir semua orang menolak kehadiran mereka. Hanya beberapa orang yang masih baik dan menjadi teman juga sahabat mereka. Tapi Robert melindungi keluarganya dengan menjauhkan mereka sebisa mungkin untuk bersosialisasi. Para tetangga terkadang masih melemparkan sindiran yang keji.

***

Makan malam terhidang dan harumnya daging rusa panggang dengan saus jamur membangkitkan selera. Abigail dengan tidak sabar menunggu kakeknya memimpin doa. Begitu mereka mengucapkan amin, Robert memberikan potongan pertama pada Abigail. Mata cucunya tampak berbinar dan mengerjap dengan cepat.

Mereka menyantap makan malam dengan tawa dan canda. Kentang keju buatan Anna sangat lezat dan Robert selalu berdecak puas.

“Hari ini nilai tugas berhitungku mendapat nilai A. Betul kan, Kakek?” seru Abigail dengan bangga memamerkan hasil dari tugas hari ini.

“Betul, Abe. Kamu harus menjadi dokter atau ilmuwan supaya bisa membantu manusia memiliki hidup yang lebih baik,” ucap Robert masih memberikan pengajaran tentang konsep berbuat baik. Abigail mengangguk dengan mantap.

“Aku akan menjadi dokter yang menguasai ilmu sejarah dunia, Kakek,” sahut Abigail. Gadis itu tertarik dengan sejarah dan menghabiskan waktu untuk membaca semua buku perpustakaan yang Lexi sering bawakan untuknya setiap minggu.

Di saat Anna meletakkan makanan pencuci mulut, tiba-tiba pintu dapur di tendang dengan sangat keras dan mereka terhenyak bercampur panik. Abigail memekik histeris ketika lima orang berpakaian serba ungu gelap dengan wajah tertutup masuk. Masing-masing membawa pistol dan mengacungkan pada mereka. Jean menarik Abigail dengan cepat.

“Lari dan bersembunyi!” perintah Jean dengan cepat. Abigail berlari sekuatnya menuju basement, namun terlambat! Salah satu dari mereka menyambar kakinya dan Abigail terjatuh.

“Siapa kalian!” teriak Robert. Tidak ada jawaban kecuali peluru yang berdesing cepat menembus dahinya. Robert terjerembab dan tidak lagi bernyawa. Anna berteriak histeris dan Jean menginggil ketakutan.

“Kakek!!!” teriak Abigail memeluk kakeknya dan menangis pilu. Beberapa orang menyebar untuk mengeledah rumah.

“Biadab kalian!” seru Anna dan mengayunkan pisau daging, namun kembali sebuah peluru terlontar dan menembus dahinya. Anna terkapar dengan gedebum keras.

“Mama!!!”

“Nenek!!”

Keduanya menangis dan tidak mengerti kenapa orang-orang tersebut tiba-tiba datang dan membantai keluarganya. Tidak akan ada tetangga yang peduli. Mereka akan menganggap itu pantas bagi keluarga pendosa.

“Katakan apa mau kalian, jangan bunuh anakku,” ucap Jean dengan gemetar. Air matanya mengalir dengan deras. Beberapa orang yang menyebar dan memeriksa ruangan kembali dan saling berbicara dalam bahasa asing yang Jean ketahui mirip dengan bahasa Spanyol.

“Tolong jangan bunuh, kami,” pinta Jean. Mereka masih sibuk berbicara satu sama lain. Abigail berusaha membungkam mulutnya dan tidak menangis. Dalam pikiran seorang anak kecil, Abigail menganggap ini saatnya membela diri dan tidak lagi mengindahkan larangan dari kedua kakek nenek juga ibunya.

Selama ini, Abigail memiliki kemampuan mengeluarkan api dari tangannya, namun selalu diminta untuk tidak pernah melakukan hal tersebut. Jika manusia di luar sana mengetahui, maka gadis kecil itu akan dihujat, dijauhi dan dianggap sebagai keturunan iblis oleh komunitas gereja. Belum lagi para ilmuwan yang akan menerapkan berbagai penelitian juga uji coba terhadapnya. Gadis kecil itu kini memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Abigail mengulurkan kedua tangan dan api keluar serta menyambar tubuh salah satu penyergap yang ada di dekatnya.

Teriakan terkejut bercampur kalut terlontar dari mereka dan Abigail makin berani memunculkan kekuatannya.

“Abigail!” seru Jean dengan panik.

Merasa terancam, salah seorang mencoba menembak Abigail, namun Jean melihat dan menubruk tubuh anaknya. Peluru tersebut menembus dada dan mematikan jantung Jean seketika. Abigail meraung dengan penuh kemarahan! Seluruh keluarganya mati malam itu!

Tanpa menunggu lagi, Abigail mengacungkan tangan dan memberangus dua orang yang berada di hadapannya. Sayang, mereka bukan pembunuh yang bodoh. Orang yang bertubuh jangkung menyergap tubuh Abigail dan berusaha menundukkannya. Tubuh kecilnya terbanting dengan keras dan kepalanya terbentur lantai. Abigail memekik kesakitan. Rasa pusing menguasai dan kupingnya berdengung. Baru saja seseorang mengacungkan senjata untuk menyudahi nyawa terakhir, ada sosok berkelebat muncul dengan cepat dan menembakkan serentetan peluru. Tiga orang penyergap yang tersisa, seketika ambruk tidak bernyawa.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya sosok tersebut. Abigail memandang orang yang telah menolongnya. Abigail tidak lagi berdaya, tubuhnya terkulai dan kesadarannya hilang.

***

Nina selesai merapikan tiga tubuh keluarga Abigail yang tidak bernyawa di ruang tengah. Sedangkan jenazah para pembunuh dia seret keluar dan membakarnya dengan bensin. Untunglah walaupun udara dingin, salju berhenti turun.

Seseorang datang dengan tergopoh-gopoh. Sebelum Nina menyerang, Lexi menunjukkan jika ia dekat dengan keluarga Castain. Nina kemudian menjelaskan dengan cepat. Lexi, orang tua yang selama ini baik pada keluarga Robert ternyata seseorang yang memahami sepenuhnya.

“Engkau sudah mengetahui semuanya?” tanya Nina. Lexi mengangguk dengan lesu. Matanya masih terlihat sembab dan memerah.

“Bawa pergi Abigail sejauh-jauhnya, aku akan mengurus semua pemakaman,” ucap Lexi dengan suara parau. Robert adalah sahabat karibnya yang juga seorang bekas ilmuwan yang sangat berjasa di kesatuan Nasa dulu. Dirinya tinggal di Roger Pass karena keluarga ini.

“Siapa lagi yang mengetahui tentang Abigail?” tanya Nina. Lexi menyelimuti tubuh Roger, Anna dan juga Jean yang terbujur kaku.

“Hanya aku. Mereka mungkin akan datang lagi. Kamu harus segera membawa Abigail pergi secepatnya. Jika tidak ada laporan dari pasukan yang kini hangus terbakar, maka mereka akan mengirimkan pasukan berikut. Kurasa kamu mengerti dengan baik,” cetus Lexi sambil berjongkok di depan jenazah. Nina tidak lagi bertanya. Dia berjalan menuju kamar gadis tersebut dan membopongnya dengan mudah.

“Pakai mobil pick-upku. Akan lebih cepat dan bensin sudah terisi penuh. Ada dua jerigen cadangan di belakang,” ujar Lexi memberikan kunci pada Nina.

“Terima kasih. Akan kuingat bantuanmu,” sambut Nina dengan nada kaku. Dia tidak terbiasa berbicara dan juga mengucapkan terima kasih. Selama dia hidup hanya seperti robot. Bertindak dan berpikir untuk sebuah tugas yang sudah terkonsep.

Lexi mengecup dahi Abigail dan mengalungkan kalung salib emas di leher.

“Kumohon, jaga dia dengan nyawamu,” bisik Lexi dengan sungguh-sungguh. Nina mengangguk dan segera bergegas.

Mobil itu meninggalkan rumah yang menjadi saksi pembantaian keji malam itu. Abigail masih tidak sadar diri. Benturan keras itu cukup memberi trauma. Belum lagi kejadian pembunuhan keluarganya yang terjadi tepat di depan mata.

Nina berpikir dengan keras. Menurut informasi dari Alter Fidelis, Abigail adalah putri dari iblis penguasa neraka, Lucifer. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Keterangan tambahan dari Lexi, pembunuh yang membantai keluarga Abigail adalah kultus biarawan yang mengincar Abigail karena gadis tersebut layak dibinasakan. Jika tidak, dia akan menjadi ancaman bagi dunia untuk mempercepat kiamat. Lucifer akan berkuasa dan Abigail akan menjadi kaki tangan penguasa neraka tersebut untuk menuntaskan misinya.

Dunia apa yang kini sedang dia hadapi? Mengapa mendadak semua terdengar sangat tidak masuk akal? Jika makhluk penguasa neraka itu ada, maka konsep Tuhan juga nyata? Kenapa dia terpilih melaksanakan misi ini? Dia bukan manusia yang tepat untuk mempercayai semua omong kosong tersebut. Nina menyingkirkan semua kebimbangannya dan segera menjauh dari Roger Pass secepat mungkin.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height