C7 Escape

Sheriff itu masih menunggu jawaban dari Nina. Sesaat wanita itu merasa hampir hilang kesabaran dan ingin menempuh jalan pintas. Akal sehatnya kembali dengan cepat dan akhirnya Nina menutup wajahnya, mulai menangis.

“Tenang-tenang … kami tidak bermaksud jahat,” seru Sheriff itu mendadak terlihat bersimpati. Rekannya yang ternyata perempuan yang cukup matang keluar.

“Ada apa, Bill?” seru wanita tersebut dari jauh.

“Kurasa Nyonya ini membutuhkan bantuan kita!” ucap sheriff yang bernama Bill tersebut. Petugas wanita tersebut turut mendekat dan bergabung bersama mereka.

“Nyonya, apakah Anda dalam kesulitan?” tanyanya lembut. Nina membuka tangan yang menutup wajahnya.

“Aku lari dari suamiku dan kami tidak sempat membawa apapun kecuali dompet dan sedikit baju. Dia memukuli aku dan juga anakku. Aku mohon jangan tangkap kami,” tangis Nina dengan pilu.

“Oh Tuhan, anakmu lebam di dahi dan pipinya. Sudahkah kalian ke dokter atau rumah sakit?” tanya petugas wanita itu lagi dengan nada khawatir. Nina menggelengkan kepala.

“Kami tidak sempat, hanya sempat membersihkan diri di motel Roger Pass, kalian bisa bertanya pada pemilik motel. Atau menelepon sahabatku, Lexi, yang menolong kami dan meminjamkan mobilnya,” jawab Nina dengan sedikit terbata-bata.

“Lexi siapa?” tanya petugas pria yang tidak begitu langsung percaya.

“Lexi pemilik restoran Meat My Pie. Satu-satunya restoran terbaik di Roger Pass,” jawab Nina dengan sendu. Sheriff itu mulai memeriksa ponsel kecilnya.

“Aku datang dari Serbia baru saja, setelah suamiku membawa kabur putri kami. Aku menolak bercerai dan dia mulai memukul aku juga anak kami,” tangis Nina sambil setengah meratap. Petugas itu segera menjauh dan melakukan panggilan pada Lexi. Rupanya dia memiliki cukup informasi mengenai daerah Montana.

Setelah beberapa saat dia kembali.

“Beruntung, Lexi masih terjaga dan membenarkan semua pernyataanmu. Kurasa kita harus membawa anak ini ke rumah sakit segera. Setelah itu, Kamu boleh melanjutkan perjalananmu,” ucap Sheriff tersebut. Nina mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kedua mobil beriringan menuju rumah sakit.

“Bersyukurlah, kita jadi tahu apakah kepalamu bermasalah atau tidak,” ucap Nina mengusap air matanya dengan muak. Abigail terdiam tidak bereaksi.

“Lexi terlihat mendukungmu untuk menculikku.” Akhirnya Abigail membuka suara.

“Aku tidak menculikmu! Untuk apa aku harus menculik anak miskin sepertimu?” cibir Nina tanpa perasaan. “Tidak akan ada yang menebus atau membayar nyawamu. Seluruh keluargamu sudah mati, ingat?” tandas Nina.

Abigail mengingat kakek dan neneknya yang terbunuh. Kemudian ibunya yang berusaha melindungi dirinya. Air matanya kembali mengalir. Dia tidak menyangka ini akan menempa keluarganya. Selama ini hidup terkucil dan tidak pernah bermasalah dengan orang lain, Kenapa tiba-tiba ada sekelompok orang ingin membunuh keluarganya? Apakah mereka perampok? Bukankah rumah mereka tidak layak dijadikan target merampok?

“Aku tidak menyukaimu!!” teriak Abigail dan meringkuk di kursi belakang. Tangisnya masih terdengar. Nina tidak peduli.

Mereka tiba di rumah sakit dan petugas rumah sakit segera menyambut Nina dan Abigail.

“Siapa namamu cantik?” tanya perawat itu dengan ramah. Abigail menoleh pada Nina.

“Anakku bisu …, namanya Abigail,” jawab Nina lirih.

“Oh, maafkan kami. Tidak apa-apa, kita segera menemui dokter, ok?”

Abigail menjauh dengan kursi roda dan Nina duduk di ruang tunggu bersama dengan petugas sheriff wanita.

“Menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidak akan pernah terlupakan. Aku harus melewatkan lima tahun terapi hingga lepas dari trauma,” ucap wanita tersebut dengan penuh simpati. Nina menoleh dan terkejut betapa keberuntungan berada di pihaknya.

“Semua terjadi begitu cepat dan tidak terduga. Aku berharap kalian jangan membuat laporan mengenai aku dan Abigail. Setidaknya tunggu sampai kami pergi dan menjauh. Suamiku sanggup melakukan apa saja,” pinta Nina dengan suara memohon. Dia terlihat rapuh dan lemah. Wanita itu mengangguk dengan cepat.

“Pasti, kami akan meringkus dia secepatnya. Lexi sanggup bersaksi harusnya,” timpal petugas itu dengan simpati.

“Bagaimana kalian akan meninggalkan kota ini?” tanya Bill turut memikirkan mereka. Nina menggelengkan kepala dengan sedih.

“Aku tidak sempat membawa dokumen apapun, tapi jika kalian ingin memeriksa DNA kami, silahkan. Aku tidak pernah ragu,” balas Nina memberanikan diri. Dalam hati dia berharap itu justru akan membuat mereka urung.

“Ah tidak perlu. Kami bukan FBI atau CIA yang akan berbuat sejauh itu. Lexi sudah menjadi saksi yang cukup untuk kami mendukung kalian, aku Riley dan kamu?”

“Nina, Nina Averin,” sahut Nina kembali pura-pura terharu. Dia bersumpah mungkin akan memenangkan piala Oscar untuk perannya kali ini.

“Aku mungkin bisa membantumu mendapatkan tiket tanpa tanda pengenal Abigail. Tapi hanya satu kali jalan. Aku mengenal petugas yang bisa memudahkan perjalanan kalian,” seru Bill dengan senyum tersungging. Tangannya meraih ponsel dan mulai mencari nomor.

“Sungguh? Kalian mau membantu kami? Oh Tuhan … terberkatilah kalian!” pekik Nina dengan senang. Kali ini wajahnya bersinar dengan tulus. Nina memeluk Riley dengan terpaksa dan menyentuh lengan Bill yang berada di sebelah Riley. Kedua petugas itu mengatakan hal yang sama. ‘senang membantu’.

Nina menunggu dengan hati berdebar. Selangkah lagi dan dia akan terbebas. Abigail keluar dan dokter menemui mereka. Dari hasil x-ray, tidak ada luka dalam atau patah tulang. Abigail aman dan mereka siap meninggalkan tempat bersama petugas.

“Ada penerbangan sekitar pukul lima pagi menuju New York,” ucap Bill dengan senyum gembira. Nina segera mengiyakan. Dengan antusias keduanya mengikuti Bill dan Riley menuju ke Airport.

Begitu tiba di bandara, seorang wanita ramah menjemput mereka. Setelah berbincang sebentar dengan Bill dan Riley, perempuan tersebut tampak prihatin.

“Banyak pria brengsek akhir-akhir ini. Ikutlah denganku. Ini sudah pukul empat lebih, kalian harus segera boarding,” ajak wanita itu dengan lembut sekaligus terlihat iba. Nina mendekati Bill dan Riley.

“Bisakah kalian kembalikan mobil ini pada Lexi? Dan sampaikan salamku untuknya. Aku berhutang budi pada kalian semua,” ucap Nina dengan raut penuh syukur. Riley mengenggam tangan Nina dengan hangat.

“Pasti. Hati-hatilah kalian berdua …!” seru Riley dan Bill melambaikan tangan dengan khawatir.

“Semoga suaminya tidak akan pernah bisa menyusul mereka,” harap Riley.

“Akan kupatahkan lehernya jika ada kesempatan,” ucap Bill dengan geram.

Keduanya merasa sangat lega dan puas serta meninggalkan airport dengan langkah ringan.

***

Hampir dua jam menempuh perjalanan dengan pesawat, mereka pun mendarat dengan selamat di New York. Dengan taxi mereka menuju hotel sambil memikirkan langkah selanjutnya. Tidak mungkin kultus aneh yang mengejar mereka sanggup mendatangi. Hingga pada titik ini, Nina merasa aman.

Begitu tiba di hotel, Nina mengeluarkan baju Abigail yang hanya sempat dia bawa beberapa potong. Dia sendiri hanya memiliki sepasang baju terakhir yang bersih. Nina selalu membuang bajunya tiap habis pakai. Dia tidak memiliki waktu untuk mencuci apalagi mengirim ke laundry.

“Kau tidak membawa celana dalamku,” ucap Abigail tanpa menyebut namanya.

“Kau tunggu di sini, aku akan membeli beberapa stok baju,” balas Nina tak acuh.

“Aku ikut! Perutku lapar dan aku tidak ingin kamu salah pilih memilih!” tukas Abigail keras kepala. Nina menghela napas. Mungkin itu pilihan yang tepat. Dia tidak pernah berbelanja untuk siapa pun. Kemungkinan salah akan sangat besar.

“Jangan cengeng, apalagi merengek!” ancam Nina tegas. Abigal membuang muka.

Keduanya segera meluncur menuju pusat pertokoan. Begitu mendapatkan semuanya, Nina mengajak Abigail untuk bersantap. Dia tidak peduli menu apa yang Abigail pilih, Nina sibuk memesan untuk dirinya.

“Apakah Anda yakin, anakmu boleh makan es krim sebelum makan siang?” tanya pelayan itu dengan ragu.

“Ya, dia bebas makan apa saja,” jawab Nina tanpa memalingkan wajahnya dari menu. Pelayan itu memutar bola matanya dan segera berlalu setelah mencatat pilihan Nina.

Suasana makan hening. Tanpa bicara lagi, mereka kembali ke hotel dan tidur. Mungkin karena semalam tidak tidur, keduanya pulas dan terlelap hingga larut malam. Seseorang menendang pintu kamar mereka dan menyerbu masuk. Nina sontak terbangun dan menyambar pistolnya yang selalu ada di pahanya. Abigail menjerit saat Nina dengan cepat menembak kedua penyerang. Mati dan roboh seketika.

“Sial!” rutuk Nina.

“Bereskan bajumu!” perintah Nina. Abigail terlihat gemetar dan memasukkan semua bajunya ke dalam ransel pink yang baru saja Nina belikan untuknya. Bukan karena simpati atau sebagai hadiah, tapi Nina tidak sudi membawa barang gadis kecil tersebut. Keduanya keluar kamar dengan cepat dan turun lewat tangga darurat.

Begitu sampai di bawah, terlihat beberapa petugas keamanan berlari menuju ke atas. Nina bersyukur dia cukup bergerak cepat. Kini mereka akan menjadi buron karena kejadian di hotel tersebut. Nina merapatkan ranselnya dan mencari hotel yang lebih kecil untuk menghindari pencarian.

“Mulai sekarang, hidup kita tidak akan pernah tenang!” ucap Nina dengan kesal. Abigail beberapa kali menoleh dan terlihat gugup. Keduanya berjalan melewati trotoar New York yang masih terlihat sibuk.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height