+ Add to Library
+ Add to Library

C8 Behind The MIssion

Markus menutup pintu ruang kerjanya di salah satu kantor di Vatikan, Roma. Sebagai kardinal yang baru terpilih, dia harus bekerja lumayan berat. Beberapa urusan yang berhubungan dengan dokumen rahasia dan juga barang bersejarah yang memiliki unsur ajaib, menjadi tanggung jawab Markus. Dengan pelan dia menekan telepon dan nada sambung terdengar.

Begitu selesai menelepon, pintunya diketuk dan Markus menjawab lantang untuk masuk. Seorang frater, atau calon pastor, masuk. Wajahnya sangat tampan dan menawan. Rambutnya sedikit ikal berwarna cokelat tua dengan mata hijau lumut dan tubuh tinggi tegap. Jubah warna hitam dengan collar putih menambah ketampanan dan membuat wajahnya bersinar. Seorang pemuda berhati bersih juga baik.

“Oliver, tahukah kamu jika keponakanku Abigail sedang dalam perjalanan menuju ke Vatikan?” tanya Markus sembari duduk di meja kerjanya. Oliver masih berdiri dan mengangguk.

“Ya, Kardinal Castain. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan keponakan anda dan mengatur penjemputan di Bandara yang bisa di siagakan setiap saat,” jawab Oliver dengan aksen Inggris yang kental.

Markus mempersilahkan Oliver untuk duduk.

“Menurutmu, bisakah kamu menambah penjagaan hingga aku merasa yakin dan aman?” tanya Markus kembali.

“Bisa, Kardinal. Aku akan segera melakukan itu,” jawab Oliver dengan cepat.

Markus Castain, pria berusia lima puluh lima tahun tersebut mengangguk puas. Oliver adalah orang kepercayaannya yang kedua setelah Coque (baca: Koke), pria yang dulu polisi korup dan memutuskan bertobat. Keduanya bekerja untuk Markus dalam mendapatkan dokumen selama ini. Jika Oliver adalah frater atau calon imam, Coque hanya warga italia biasa. Walau tidak menjadi imam, Coque tidak menikah dan menjalani hidup sendiri sebagai penebusan dosa masa lalunya.

Pria berambut sedikit pirang dengan beberapa corak putih perak yang menghiasi kepalanya tersebut tampak berpikir. Mata biru gelapnya terlihat suram.

“Kamu tahu, aku adalah putra dari seorang Castain yang memiliki sejarah keluarga terkelam,” ucapnya pelan. Oliver menundukkan wajahnya dan memainkan buku kukunya dengan gugup. Dia telah bekerja di bawah perintah Markus selama lima tahun, namun belum pernah mengalami obrolan mengenai keluarganya.

Markus sendiri menarik Oliver dari sekolah seminari (sekolah khusus calon pastor) karena Oliver memiliki kemampuan khusus dalam mengenali sebuah dokumen dan barang yang mengandung kutukan dan keajaiban. Oliver juga yang menuturkan sebuah ramalan kuno yang mereka temukan dan membuka mata Markus tentang apa yang telah adiknya, Jeany Castain, alami selama ini. Kematian kedua orang tua beserta adiknya membuat Markus terpuruk. Dia menempatkan Lexi di sana sebagai pelindung. Kedua orang tuanya tidak pernah tahu.

“Kedua orang tuaku merasa kecewa setelah aku memutuskan menjadi pastor. Mereka menikah sangat muda dan memiliki aku saat masih belasan tahun. Setelah dengan segala usaha, Jean, adikku, lahir. Aku sudah berusia tiga puluh tahun waktu itu. Ternyata melahirkan di usia yang sangat tua, membuat Ibuku menghasilkan bayi yang rentan penyakit. Jean menderita kanker saat usia dua tahun ….” Markus berhenti sejenak dan meraih gelas yang berisi wine serta menenggaknya. Oliver menelan ludah dengan gelisah.

“Mereka mengambil semua resiko untuk membuat Jean pulih dan akhirnya bersekutu dengan iblis, menjadi pilihan mereka. Sayangnya, saat Jean berusia enam belas tahun, iblis tersebut menagih janji. Adikku tercinta mengandung benih yang akan menjadi keturunannya dan sebagai alat untuk menguasai dunia.” Lanjutan kisah dari Markus membuat Oliver berkeringat.

“A-apakah itu berarti Abigail adalah putri dari iblis?” tanya Oliver tergagap.

“Berdasarkan ramalan salomo yang telah Kau terjemahkan, ya. Tapi ada juga darah Castain yang mengalir dalam tubuhnya. Aku percaya jika itu bisa dirubah!” jawab Markus seraya menandaskan harapannya.

“Maksud, Kardinal? Ramalan Raja Salomo?” tanya Oliver tersentak.

“Ya,” sahut Markus dengan cepat.

Suasana menjadi hening Oliver mampu mengingat dengan baik semua isi ramalan Salomo yang baru saja dia selesaikan. Semua tertulis dalam bahasa Ibrani atau Hebrew kuno yang hampir punah. Hanya beberapa orang saja yang bisa mengucapkan dan mengetahui bahasa dan tulisan tersebut. Oliver salah satunya.

“Jadi menurut Kardinal, Abigail bisa mengingkari takdirnya?” tanya Oliver hati-hati.

“Apakah ada keraguanmu, Oliver?”

“Ti-tidak, Kardinal. Selama kita berusaha pasti bisa.”

“Bagus, aku juga berpikir seperti itu.”

“Kapan Abigail bisa tiba di sini?”

Markus terdiam dan menarik laptopnya. Dengan cepat dia membuka email.

“Menurut Alter Fidelis, wanita yang membawa Abigail sedang berusaha untuk menuju ke Roma, tapi kumpulan biarawan tersebut terus memburu mereka. Bersabarlah, aku juga ingin menempuh caraku sendiri, tapi Fidelis rupanya memiliki rencana lain,” sahut Markus.

“Alter Fidelis memang bekerja dengan cara yang aneh, termasuk saat dia menghubungi diriku dan mempertemukan kita,” timpal Oliver. Markus yang sedari tadi muram, kini tersenyum.

“Tahukah kamu siapa dia?”

“Tidak, Kardinal. Aku tidak bisa mengetahui jati dirinya. Itu yang paling aneh,” jawab Oliver dengan wajah termenung.

“Sudahlah, kita tunggu kabar berikutnya,” pungkas Markus. Oliver mengangguk dan mohon diri.

***

Motel murah itu cukup bersih walaupun beberapa kecoak berlarian di beberapa sudut kamar. Nina melemparkan diri di kasur dan membuka ranselnya mengeluarkan laptop. Abigail memilih duduk di sofa kusam yang terletak di dekat pintu masuk.

“Kenapa kita harus lari terus?” tanya Abigail masih belum paham akan kejadian yang menempa dirinya saat ini.

“Jika masih ingin bernapas, kita harus berlari!” jawab Nina ketus.

“Belum mendapatkan jawaban dari penyelamatmu. Sekarang untuk terus bertahan hidup, kita harus pergi lagi. Jangan tinggalkan kamar, aku akan segera kembali!” cetus Nina dan menutup laptopnya.

Abigail terdiam dan mengusap air matanya. Pintu terbanting dan menutup dengan keras. Langkah Nina menjauh terdengar semakin pelan. Gadis kecil itu beranjak dan membaringkan tubuhnya di kasur.

Pikirannya belum bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Nina tidak pernah menjelaskan dan beribu pertanyaan mengisi kepalanya. Dia memang baru berusia sepuluh tahun, namun kecerdasannya menyimpulkan jika dia menjadi sasaran target pembunuhan dan Nina dikirim oleh seseorang yang selalu wanita itu sebut sebagai penyelamatnya.

Abigail bukanlah gadis cengeng, namun kehilangan keluarganya bukan suatu kejadian yang bisa ia tanggung dengan mudah. Kini dia sebatang kara dan tidak memiliki siapapun. Kenapa semua manusia berbuat jahat terhadap keluarganya? Abigail tidak berusaha mengusap buliran bening yang menetes di sudut matanya. Tubuhnya lelah dan perlahan matanya menutup, Abigail tertidur.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height