+ Add to Library
+ Add to Library

C9 Strange Power

Guncangan terasa dan Abigail mendengar Nina memintanya bangun untuk bergegas pergi. Abigail mengusap mata dan dengan lambat meraih ransel pinknya untuk mengikuti Nina yang sudah keluar.

“Kita menjauh dari pusat kota!” seru Nina dan masuk ke dalam mobil van tua. Nina membeli mobil itu dengan harga murah dan kini mereka akan memulai perjalanan untuk terus menghindar hingga kejelasan langkah berikutnya.

Nina membaca peta dengan cepat dan menemukan tujuannya yang segera dia tandai. Abigail duduk di depan dan memasang sabuk pengaman dalam diam. Nina melirik sekilas. Wajah Abigail terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sedikit rasa iba dalam hati Nina, namun segera ia tepis. Mengikuti perasaan bukanlah hal yang ia dalami selama ini. Mobil meluncur meninggalkan motel dan menuju Philadelpia.

Pagi mulai berganti siang dan setelah mengisi bensin juga bersantap, Nina melanjutkan perjalanan.

Dalam hati dia mengumpat karena Alter Fidelis tidak memberi kabar sedikit pun. Apa yang harus dia lakukan dengan gadis kecil ini? Selain merepotkan, Nina juga malas berhubungan dengan para pengejar yang tidak berhenti menyerang mereka. Energinya benar-benar terkuras. Sehebat apapun pelatihannya dulu, Nina masih manusia biasa yang tidak memiliki batas kekuatan. Dua minggu berlalu dan ia masih terjebak dengan Abigail.

“Aku tidak pernah keluar dari Roger Pass, daerah ini sangat hangat dan indah,” ucap Abigail. Nina menoleh dan terlihat Abigail menikmati pemandangan yang menampilkan rumput ilalang dan pohon yang rindang. Matahari bersinar hangat dan cuaca cerah.

“Aku tidak pernah mengenal siapa orang tua juga keluargaku. Aku dibesarkan oleh kelompok sindikat dan menjadi pembunuh sejak usia sepuluh tahun,” cetus Nina mulai membuka diri.

“Kamu pembunuh bayaran?!” pekik Abigail terkejut.

“Masa kecilku tidak seindah yang kamu miliki, jadi bersyukurlah atas kenangan yang memberimu kesan baik seumur hidup,” sahut Nina sambil melambatkan laju kendaraan. Abigail terdiam mendengarkan.

“Aku bukan anak kecil yang cengeng dan tidak bisa bersikap seperti anak besar, tapi kehilangan keluarga bukan hal yang sederhana, Nina,” tukas Abigail. Nina membenarkan dalam hati.

“Apakah kamu pernah membunuh anak kecil?” tanya Abigail dengan pelan. Nina terdiam.

“Tidak usah kamu ungkit dan tanyakan tentang pekerjaanku yang lalu. Semua sudah kutinggalkan,” sahut Nina kemudian. Dadanya terasa sesak dan rasa pahit menjalar di mulut.

“Nina, kamu menakutkan,” desis Abigail sontak merapatkan tubuh di pintu mobil.

“Ya, aku adalah monster dalam tubuh manusia,” gumam Nina kecut. Suasana hening dan mobil van meluncur di jalan aspal yang terlihat mulai panas. Hati Nina berdegub kencang. Dosa yang pernah ia lakukan mulai mengejar nuraninya yang kini mulai tergelitik untuk kembali ke jalan benar.

***

“Lari!!” teriak Nina sekuatnya. Anak lelaki kecil itu berdiri dengan tubuh gemetar dan raut pucat. Nina menarik pistol yang tadinya teracung ke arah kepala anak tersebut. Kedua orang tua bocah itu sudah terpenggal beserta seluruh pegawai mereka. Nina menemukan anak lelaki tersebut bersembunyi dalam kamar tidur. Tugasnya sudah jelas, membunuh seluruh keluarga kartel yang menjadi sasaran sindikatnya.

“Pergi, lari secepatnya!!” seru Nina dengan panik. Derap langkah pembunuh lainnya yang juga bertugas dengan Nina terdengar. Bocah itu mengangguk dan merayap naik ingin meloncat ke jendela. Pintu tiba-tiba didobrak dan segerombolan orang masuk.

“Cepat, selamatkan dirimu!! Lari!!!” teriak Nina dengan panik.

“Nina … Nina … Nina, bangun Nina!” suara Abigail menghentak Nina dan membuatnya terjaga. Peluh membanjiri tubuhnya sementara pendingin mobil menyala. Abigail menatap Nina dengan lekat.

“Kamu mengigau dan terus berteriak,” ucap Abigail dan beringsut ke tempat duduknya kembali. Mereka tertidur di mobil dan kini Nina mengalami mimpi buruk. Bayangan peristiwa tiga tahun lalu menyeruak ke dalam tidurnya. Mungkin obrolan tadi siang membuat Nina teringat kejadian tersebut.

“Berikan botol dalam kantung itu,” pinta Nina. Abigail meraih whisky dan memberikan pada Nina yang segera menenggaknya.

Waktu masih malam. Nina melirik jam tangan dan pukul dua pagi. Abigail menarik selimut dan siap untuk kembali tidur. Suasana pom bensin tempat mereka parkir tidak begitu ramai. Sepi dan begitu senyap. Hanya tiga truk besar parkir dan petugas mini market bertubuh kurus kering seperti pecandu obat yang berjaga.

Nina membuka pintu mobil dan melangkah menuju toilet. Dia membasuh wajah dan juga rambutnya. Nina menatap ke kaca dan melihat sosok wanita muda dengan kulit putih pucat. Itulah dirinya. Wajahnya memang sangat cantik, namun Nina tidak pernah merasa demikian. Dulu dia menjadi sasaran empuk pemerkosaan para seniornya saat kecil. Tidak ada yang menolong dan Nina hanya terkapar dengan perasaan terluka dan tubuh kesakitan. Mentalnya sangat rusak dan hancur.

Sejak dia bisa membela diri sendiri, Nina membunuh seluruh seniornya satu persatu dengan keji. Nina memutilasi secara perlahan dan membuat mereka tersiksa. Kematian menjemput pemerkosanya secara perlahan. Tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tahu jika Nina yang terbaik dan sulit dikalahkan. Tidak ada yang berani menyentuhnya, bahkan Katya. Satu-satunya manusia yang memiliki sedikit empati untuknya. Katya lebih mirip seperti kakak bagi Nina, walau mereka tidak memiliki hubungan hangat. Katya selalu bernyanyi untuknya saat dia terluka dan menerima hukuman. Lagunya terlontar dari balik dinding dan Nina merasa nyaman setiap mendengar senandung tersebut.

Suara jeritan kecil terdengar di telinganya yang tajam. Sebelum Nina bergerak, sebuah pistol dengan selongsong peredam panjang tertempel di kepala.

“Jangan mencoba atau kuledakkan isi kepalamu!” ancam seseorang dengan suara berat dan aksen Eropa. Para biarawan itu berhasil mengejar mereka!

Penodongnya mendorong tubuh Nina keluar dari toilet dan mereka menuju ke arah mobil van. Abigail telah di sandera dengan mulut terbekap kain. Pandangan Nina mulai menyesuaikan suasana gelap malam itu.

Abigail menatap Nina dengan putus asa. Sungguh dia tidak mengerti kenapa Abigail tidak mampu mengeluarkan kekuatannya saat ini. Salah seorang yang bertubuh tinggi bertanya apakah dia sudah menyuntik Abigail dengan sesuatu dan temannya menjawab sudah. Nina baru paham dan menduga jika itulah penyebab Abigail tidak mampu mengeluarkan kekuatannya.

Ada sembilan orang yang mengepungnya saat ini. Semua pistol telah terampas dan Nina tidak memiliki senjata apapun. Otaknya tiba-tiba buntu dan bingung apa yang harus dia pikirkan untuk lepas dari para biarawan sialan ini. Sebelum dia menemukan, seseorang bersiap menarik pelatuk ke arah Abigail. Rupanya mereka bersiap menghabisi nyawa Abigail sekarang juga. Nina tidak berpikir lagi, segera menendang penodongnya dan merebut senjata. Dengan kecepatan fantastis, Nina menembak orang yang siap menghabisi nyawa Abigail. Empat orang roboh seketika dan Nina menarik Abigail dengan cepat. Belum sempat melangkah jauh, sebuah tembakan mengenai perutnya dan Abigail terkejut serta jatuh tersungkur di belakang truk besar.

Nina terpojok dan tidak lagi mampu bergerak.

Saat gadis kecil itu melepaskan kain yang membekap mulutnya, Abigail tampak panik.

“Mereka menahan semua kekuatanku dengan cairan aneh, Nina. Bangun dan melawanlah!” seru Abigail gemetar dan panik.

Nina bangkit dan berusaha duduk. Lima orang mendekati dengan senjata teracung. Pistolnya jatuh terlempar dan dirinya mulai sulit bernapas. Rasa sakit di perut mulai terasa menguras konsentrasinya. Dua orang menyergap dan Nina merasakan kemarahan yang memuncak. Dengan sekuat tenaga, dia mengibaskan tangan. Entah kekuatan dari mana, namun dua orang tersebut terpelanting ke belakang hingga lima meter jauhnya. Nina dan Abigail terkejut. Kekuatan apakah ini?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height