+ Add to Library
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 1

Happy Reading ??❤️

"Cherry sayang, tak apakah kalo Cherry membeli satu atau dua saja buku gambar itu nak?" rayuku lembut kepada gadis cilik bermata coklat terang di sisiku.

"Hmmm, mommy. Aku menyukai semuanya..." rajuk gadis kecil berumur 5 tahun itu manja, jari telunjuk kanan dan kiri disatukan dengan bibir yang mengerucut lucu.

"Sayang, bukankah di rumah ada banyak yang belum kamu beri warna. Bagaimana kalau kita beli cupcakes saja setelah ini." Bujukku sekali lagi. Bukannya aku tidak ada uang, tapi hidup di negara orang berdua saja, harus pandai mengatur poundsterling.

"Baiklah mommy, aku ingin yang coklat dan blueberry." ucapnya riang sambil bertepuk tangan. Matanya berbinar-binar, bagai manik berlian.

"C'mon sayang." setelah merangkulnya gemas, aku menggandengnya untuk berjalan ke arah toko kue di pusat perbelanjaan ini.

Kebetulan yang bagiku adalah dukungan takdir, kami memiliki warna bola mata yang sama. Siapa yang sangka bahwa kami bukanlah darah daging sesungguhnya.

Nama asliku Tania Puspita, dikarunia tubuh tinggi yang berhenti pada angka 160 cm, berat badan 50 kg. Bukankah seharusnya cukup ideal. Mereka bilang aku memiliki kecantikan asia, berhidung mancung, serta bentuk mata hampir sama dengan mata belo cherry.

Selain itu, dagu lancip dengan rahang tirus menambah efek dramatis di wajahku. Kulit kuning langsat ini sungguh mengundang perhatian penduduk inggris yang nyaris semua berkulit putih pucat. Terimakasih ibuku dan ayahku, yang mewariskan gen yang baik. Bukan bermaksud tinggi hati, aku bersyukur atas kelebihan-kelebihan fisikku dengan menjaga dan merawatnya. Sementara orang-orang di luar sana berlomba-lomba demi penampilan fisik yang sempurna dengan mengeluarkan banyak sekali uang bukan.

Sementara Cherry mewarisi kulit putih bak pualam perpaduan Vivian Walter dan Bryan Walter. Bryan Walter, aku menggeleng kecil mengingat nama ayah Cherry, lalu helaan nafas keluar dari lubang hidungku begitu saja. Nanti saja ku ceritakan tentang dia.

Vivian Walter, bagiku adalah ibu peri, dimana diriku yang menjadi cinderrelanya. Andai saja aku tak berhutang budi padanya, mungkin diri ini akan menempuh dunia yang berbeda dari yang sekarang harus ku jalani.

Sudahlah, untuk apa berandai-andai, pikirku mengusir bayangan-bayangan tentang bagaimana jika, jika dan hanya jika, dan lain sebagainya. Toh tidak ada penyesalan sedikitpun menjadi ibu tunggal untuk darah daging ibu Vivian ini.

Dulu sekali Vivian adalah kakak seniorku di UI. Wanita itu pernah menyelamatkan aku dari John Senggiling, saat pria sinting itu mulai menelanjangi dan hampir memperkosaku ramai-ramai bersama teman satu gengnya yang sama-sama sedang mabuk.

Siapa yang tidak menyukai model kampus seperti diriku, bolehkan aku bilang begitu? Setidaknya waktu itu aku memiliki fans sendiri yang sering memberi hadiah, walau sekedar coklat atau bunga.

Sekali lagi, aku bersyukur mendapat wajah cantik dan bentuk badan proporsional. Aku tahu kekurangan dan kelebihanku, termasuk cara memanfaatkannya untuk menghasilkan pundi-pundi uang demi membantu pengeluaran ibu pasca ditinggal wafat ayah.

Meskipun hanya model kampus, beberapa kali fotoku wira-wiri di majalah dan tabloid kampus. Sesekali aku akan dipotret dan fotoku dipajang sebagai pemanis poster atau baleho promosi jurusan baru. Terkadang mahasiswa jurusan seni fotografi atau pariwisata akan membawaku ke Monas untuk mengambil foto demi foto dalam berbagai pose dengan latar pemandangan menara tinggi itu sebagai kelengkapan tugas.

Hanya saja cita-citaku bukan di depan kamera tapi duduk manis di balik meja. Menggambar garis dan desain interior rumah masa depan adalah impian yang sesuai dengan jurusan pilihanku, arsitektur interior.

Sayangnya, setelah lulus kuliah bukannya menjadi seorang desaign interior, aku justru menjadi asisten pribadi Vivian Walter ketika secara khusus wanita itu meminta. Vivian adalah designer fashion khusus baju pengantin sekaligus WO ternama. Namanya begitu meroket tahun itu, bersanding dengan Anne Avansa.

Semua keberuntungan Vivian di mulai saat beberapa teman kuliahnya, yang terjun ke dunia entertainment mulai menggunakan jasanya. Pengaruh latar belakang keluarga juga ikut mendorong keberuntungan karier pilihannya. Tentu saja ada campur tangan keluarga sang suami yang kaya raya. Lagi-lagi aku mendesah, tak menyangka terlibat dalam lingkaran keberuntungan itu. Beruntung karena diwarisi seorang bayi lucu yang aku besarkan dengan kedua tanganku sendiri selama lima tahun ini.

"Mommy... Kita sudah sampai." Celoteh Cherry membuyarkan lamunan panjangku.

"Baiklah sayang, pilihlah yang kamu suka." Mata besar Cherry berbinar, dia begitu antusias memilih.

Beberapa pegawai di stand cupcakes begitu terpukau memandang sosok anak kecil menggemaskan ini, ditambah gaun lucu yang melekat di tubuhnya sungguh menambah kesan imut.

Tentu itu kreasiku yang mengolah kain brokat dan bordiran anime jepang di dada yang nampak kekinian. Bekerja dengan Vivian, tentu membuat aku jadi akrab dengan kain, benang, dan perca. Meski tinggal di negara orang, tak menyurutkan keterampilan memadupadankan kain menjadi barang lucu untuk Cherry. Serta jangan lupakan rok mengembang bak princess dan flatshoes imut yang cherry kenakan. Semua itu menambah betapa lucu dan cantiknya dia.

"Woah, your so beautiful honey...." seorang wanita setengah baya menyapa gemas Cherry.

"Kapan putraku akan menikah dan memiliki yang sepertimu sayang?" Imbuh wanita tersebut menangkupkan kedua tangan di depan dagunya sendiri. Senyum kagum terus melekat di bibirnya yang berlipstik keunguan.

Aku tertular senyum itu, anak Vivian selalu jadi pusat perhatian. Gadis imut yang menjadi duniaku sekaligus sumber kekalutan yang sebisa mungkin ku singkirkan jauh dari dalam hati. Ku pandangi Cherry yang berbinar kala menatap deretan kue bertoping manis. Mengabaikan si ibu yang masih mengaguminya. Aku mengangguk kecil pada wanita setengah baya itu, yang ditanggapinya dengan lambaian tangan ringan serta senyum hangat.

Lagi-lagi kilatan perjalanannya untuk menyembunyikan gadis itu membayang. Satu tahun pertama bersama Cherry adalah tahun yang paling menyedihkan. Tak ada kawan, tak ada saudara, aku yang belum pernah berpengalaman merawat bayi menuntut diri untuk terbiasa.

Teringat kala bayi mungil itu terjangkit DBD, lagi-lagi keberuntungan berpihak pada kami, dimana kami memiliki golongan darah yang sama. Hingga Cherry dapat pertolongan cepat dan tepat. Itu di Singapura, ketika bayiku belum genap 6 bulan. Otak ini yang tersetting untuk menyembunyikan Cherry tak mengijinkan untuk tinggal di daerah yang lebih baik. Kesalahan memilih tempat tinggal yang tidak terjamin kebersihannya membuatku menyesalinya sampai kini.

Pernah juga Cherry harus kembali rawat inap karena tidak cocok susu formula, hingga sesak nafas dan diare berkepanjangan. Dokter menyalahkan aku karena hampir terlambat membawa Cherry untuk mendapat pertolongan pertama.

Kala itu, air mata sudah tak terbendung lagi sembari menyaksikan bagimana bayi mungil tersebut ditusuk jarum agar cairan infus bisa masuk. Terus-menerusan menyalahkan diri akan kemampuanku yang tidak becus merawat Cherry. Bagaimana kalau bayi titipan tersebut sampai kehilangan nyawa, keluarga kandungnya pasti akan memburuku hingga ke akhirat, itu yang terlintas dalam kepala waktu itu.

Setahun pertama aku mengandalkan uang tunai yang ku kuras dari semua ATM Vivian. Kemudian sebelum ia meninggalkan Singapura, uang 1M itu sebagian besar ku pindahkan atas nama adikku, Fabain Dimasetyo agar jejak kami tak mudah terendus.

Yang paling gila dari semua itu, Vivian telah menyiapkan paspor atas Nama Nia Walter dengan foto dan data diriku. Entahlah kenapa harus ada nama Walter dibelakangnya, aku hanya menduga bahwa itu semua demi bayi yang sekarang tengah gembira menikmati cupcakes di tangan.

"Mommy.... Ini enak." Katanya riang gembira.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height