+ Add to Library
+ Add to Library

C2 2

Aku sedang memeriksa beberapa persiapan pernikahan seorang pelanggan yang diadakan besok. Tim dekorasi telah datang ke lokasi untuk menatanya sementara Tim Catering juga telah mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu terkait tugas mereka menghidangkan makanan yang jauh hari telah di request si pelanggan.

Walau Event and wedding organizer tempatku bekerja bukanlah organizer kelas atas, tapi job yang kami terima termasuk lancar sepanjang minggu. Kalian tahu, tidak semua penduduk Manchester merupakan golongan atas apalagi bangsawan. Setidaknya harga yang kami tawarkan terjangkau untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Penghasil kami cukup untuk menggaji beberapa orang karyawan yang telah loyal pada EO tempat kami bekerja ini. Pemiliknya seorang wanita tua yang memilih melajang sepanjang hidupnya, dan memiliki asisten bernama Emily yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Nyonya Brigitte namanya, sangat senang dengan keberadaan Cherry. Terkadang nyonya tua tersebut berbaik hati menjaga Cherry ketik aku harus pergi untuk ikut terlibat langsung dalam acara yang tengah kamu garap.

"Momy... I'm home...!"

Suara ceria Cherry terdengar dari luar. Cherry datang bersama Emily, wanita yang sama yang menemukanku kedinginan dengan bayi di luar bandara, sementara Manchester sedang musim dingin. Benar, aku berada di negerinya para ratu sekarang. Bersembunyi dari seseorang yang terlalu sering membuatku parno bahwa dia akan menemukan kami.

Tapi mana mungkin sih, bisikku pada diri sendiri menepis kemungkinan itu. Bryan, papanya Cherry mana sempat memikirkan kemungkinan bayinya masih hidup. Orang-orang yang perlu ku hindari lainnya, juga sudah dua tahun ini tak lagi mengkhawatirkan. Kaus untuk apa aku was-was berlebihan.

"Mami lihat ini..." Cherry menunjukkan sekotak coklat besar coklat aneka bentuk yang menarik dengan tutup transparan. Membuatku menuduh Emily dengan tatapan, bahwa dia kembali tak tahan rayuan Cherry.

"No, I'm not. Dia dapat dari seorang uncle, katanya." Tampik Emily seketika paham tatapanku padanya.

"Siapa, Em?" Emily mengendik tanda dia tak tahu, kami berdua kompak mengarahkan bola mata pada Cherry yang tengah asyik menghitung jumlah coklat dalam wadah cantik tersebut. Pita warna pink menempel indah diatas tutup transparan, menambahkan kesan bahwa coklat itu memang sengaja disiapkan untuk seseorang.

"Cherry?" Tanyaku dengan menyebut namanya dengan intonasi tanya yang jelas.

"Mami, ini cantik bukan? Cherry mau ini, tapi ini bukan punya Cherry...." Rajuknya manja. Semakin besar pula tanya di kepala.

"Lalu punya siapa, sayang. Coba bilang mami."

"Punya mami."

Alisku hampir menyatu karena heran akan jawaban gadis kecil ini.

"Kenapa jadi punya mami?"

"Uncle baik memberikan ini untuk mami."

"Uwooo!! Siapa itu Cherry sayang. Em penasaran." Emily menjajarkan dirinya dengan Cherry yang tengkurap pada karpet bulu yang ku siapkan di sudut ruanganku, mata gadis kesayanganku itu terus menerus pada kotak coklat.

"Namanya Dady."

"Dady?"

"Iya uncle ini menyebut dirinya Dady. Katanya karena nama Cherry, mami dan Dady sama. Walter." Cherry memang sudah tak cadel lagi. Usianya 5 tahun, hanya untuk anak seusianya terkadang menjelaskan hal sederhana butuh waktu yang lama karena fokusnya kadang terbagi pada benda yang menarik perhatiannya.

Ku tutup mulutku dengan kedua tangan sebagai reaksi kekagetan. Bahkan kakiku sudah melangkah mundur, hanya untuk terantuk kaki kursi. Tak ku hiraukan rasa nyerinya, karena ketakutan yang membayang lebih dari apapun. Bahwa Bryan Walter akhirnya menemukanku, menemukan Cherry putrinya.

"Oh ya, mami. Sebenarnya ada note pink untuk mami dari uncle baik itu." Cherry meraba saku dadanya, lalu dia mengeluarkan secarik kertas yang dia maksud untuk dia ulurkan padaku. Aku yang masih shock, merasakan mata ini telah mengabur. Emily dengan sigap menerima note dari tangan Cherry yang masih saja tengkurap dengan kedua kaki menjulur keatas yang dia mainkan sesuka hati.

Apa kabarmu Ms.Walter? Temui aku di restoran Carl'Hotel pada 2 p.m. Jangan lari lagi, aku akan selalu menemukanmu.

Mr. Walter.

Suara Emily terdengar mengolok, padahal aku tahu dengan jelas dia hanya membacanya datar, tanpa intonasi apalagi irama. Aku seperti berhalusinasi mendengar suara Bryan Walter yang selalu terlihat tak menyukaiku dengan pandangan diliputi amarah.

Apa yang harus aku lakukan? Kalimat itu terngiang dalam kepala, berputar bagai garis tak berujung yang membuat kepalaku teramat pusing. Ku usap mata ini yang mengabur karena titik air. Aku harus lari kemana lagi? Sesungguhnya aku lelah bersembunyi, aku juga tidak mungkin lari lagi andai bisa. Bryan Walter adalah ayah kandung Cherry, satu-satunya orang tua yang tersisa. Yang berhak atas Cherry dan mungkin juga justru yang akan membuat si kecil tambatan hatiku itu lebih aman untuk menjalani kehidupan yang normal seperti seharusnya.

"Kamu baik-baik saja, Nia? Sepertinya suamimu menginginkanmu kembali. Apa kamu tak merindukannya?"

Emily tak pernah tau kisah yang sebenarnya ku jalani. Aku hanya bilang sedang bertengkar dengan ayahnya Cherry. Meski aku tahu, otak Emily yang kreatif mengartikan lain. Dimana ada pasangan orang tua yang bertengkar hingga berjalan selama lima tahun.

Aku sedang tak ingin menjawab Emily, mataku terus pada Cherry yang asyik sendiri dengan,

Dia punya pastel warna baru? Itu bukan aku yang membelikan, seingatku Cherry tidak punya yang seperti itu.

"Apa dulu dia selingkuh, atau melakukan kekerasan padamu, Nia? Sampai kamu terlihat ketakutan begitu?"

Aku menggeleng atas pertanyaan Emily.

"Apa kamu ingin lari darinya lagi?"

Aku mengangguk tapi segera menggeleng kemudian.

"Ayolah katakan sesuatu padaku Nia, aku sungguh mengkhatirkan dirimu."

Aku memang membuka mulut, tapi untuk bertanya padanya mengenai asal pastel warna baru milik Cherry.

"Apa itu kamu yang membelikan, Em?"

Emily berkedip tak mengerti.

"Apa, Nia?" Ujarnya mengikuti arah pandangku.

Kemudian, setelah Emily memahami maksudku, wanita berwajah cantik khas British ini menjawab.

"Sepertinya itu juga dari Dady yang dia sebut uncle, Nia."

Ku hela nafas atas jawaban Emily yang juga ku yakini. Wajah riang putriku terlihat antusias pada benda-benda yang dia jajar tak tapi di depannya. Kini tangan kanannya menggerakkan satu pastel warna pink untuk digoreskan pada buku mewarnanya. Bibir mungil merah mudanya bergumam nada-nada yang dia hafal, na na na... La la la .... Cherry terlihat bahagia berbanding terbalik dengan hatiku yang terasa hampa. Apa kini sudah saatnya aku mengembalikan dia pada tempat seharusnya, pada rumahnya dan keluarga yang sesungguhnya.

Lalu bagaimana denganku, apa nanti aku bisa tanpa Cherry? Apa Cherry masih akan memanggil mami padaku? Dan apakah hidupku bisa kembali seperti semula sebelum Cherry hadir?

Pertanyaan demi pertanyaan itu terus terngiang hingga malam menjelang. Sampai sebuah mobil yang jelas ku yakini siapa penumpang dengan wajah dingin itu parkir di depan rumah, mengawasi kami.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height