+ Add to Library
+ Add to Library

C7 7

Pagi itu aku terbangun saat matahari mulai tinggi. Jam dinding menunjukkan pukul 7 a.m. Aku mengerjapkan matanya dan tersadar bahwa apa yang kini ia rasakan bukan mimpi. Menoleh ke samping, dimana Princessnya masih terlelap damai memeluk guling berbau maskulin milik pria itu, Bryan Walter. Seluruh kamar ini berbau maskulin, bantal, guling, selimut. Dan sialnya tubuhnya pun kini berbau pria itu. Membuat jantungnya memompa darah kian cepat tiap detiknya. Aneh, apa interaksi yang tergolong minim itu membuatnya jatuh pada pesona Bryan?

Aku segera mengenyahkan pikiran-pikiran konyol itu dan berlalu ke kamar mandi. Dan sayangnya kamar mandi ini pun tentu lebih maskulin dari pada bagian lainnya. Bahkan dia mau tak mau harus mengenakan segala peralatan mandi milik Bryan Walter. Aku akan segera berbelanja setelah ini, ingatkan untuk itu.

Segera aku memulai ritual membersihkan diri dengan malas - malasan. Tapi sekali lagi aku membutuhkan sikat gigi baru dan handuk bersih. Sayangnya semua sabun dalam segel semua milik pria yang wanginya lagi-lagi maskulin.

Tentu saja, pikirnya. Ini kamar pribadi si Bryan. Segala yang ada disini tentu tidak mungkin kecewek-cewekan. Ah tubuhku semakin berbau Walter, frustasi sendiri aku rasanya. Dan dia mulai sadar, kata maskulin benar-benar ku ucapkan puluhan kali. "Issshhh..." desisku.

Aku membebatkan salah satu handuk yang ku temukan di kamar mandi luxurius ini. Namun handuk berwarna putih itu hanya mampu menutupi sebagian tubuh saja. Dada ini menyembul sempurna. Setengah paha hanya tertutup sebagian saja. Tapi aku sedang tak ingin ambil pusing. Toh aku sudah mengunci pintu rapat-rapat. Tak akan ada yang bisa masuk. Cherry juga masih bergelung nyaman dalam bed warna hitam ayahnya.

Aku keluar dari kamar mandi. Satu tangannya memegangi untaian handuk di dada agar tidak jatuh. Tangan lainnya memegang handuk kepala untuk menyeka rambutku yang basah. Taman di bawah kamar ini terlihat indah, sayangnya itu kurang terawat menurutku. Aku terus menggosok rambut basahku berkali-kali. Tak ada hair dryer yang bisa ku temukan dalam toilet mewah Bryan. Ya sudahlah, sambil menunggu Cherry bangun pikirku. Lagi pula rasanya sudah terlalu lama aku tak merasakan terpaan matahari khatulistiwa yang memancar hangat seperti ini. Ah, ternyata sudah lama sekali aku meninggalkan Jakarta, ya.

Tapi, aku merasa ada yang memandangiku dari belakang, mungkin itu Cherry yang sudah terbangun, jadi aku menoleh. Dan... jederrrr!!!

Bryan ada disini? Dia melihat penampilanku yang begini, oh my good!

Matanya menangkap gerakan gemulai ala perempuan yang alami ku lalukan. Bolehkan ku bilang Bryan terkesima dan nampak bergairah. Bodohnya aku yang tidak tahu sejak kapan Bryan ada di sana memandangi punggungku.

Aku melangkah mundur saat tiba-tiba saja Bryan mendekat ke arahku dengan tanpa suara. Pelan tapi pasti akan segera mengikis jarak diantara kami. Tangan besar Bryan menggapai perutku, dan aku tidak bisa menghindar. Hanya bisa terperanjat tegang. Tubuh ini menjadi kaku tanpa kuinginkan. Tak berkedip tak bergerak. Tubuh setengah telanjangku menempel sempurna ke dada bidang pria itu. Indranya mengenali, ada yang salah dengan dirinya pada Bryan Walter.

"Bry...apa yang kau lakukan disini?! Kenapa kau bisa masuk?" ucapku lirih, tak peduli apabila terdengar ketakutan.

Bryan tersenyum miring. Ia diam tak menjawab. Tangan satunya meraih handuk yang ku pegang. Mengusapnya sepelan mungkin ke rambut hitamku.

"Bry....hentikan. Jangan mempermainkan ku." suaraku mulai bergetar. Aku ingin lari kemanapun asal di luar jangkauan Bryan, tapi kakiku terpaku, aku seperti terkena hipnotis mata dalam pria ini.

"Bry, aku malu keluarlah. Aku akan segera berpakaian." Aku hendak melipir cepat, bisa ku bayangkan betapa merahnya seluruh kulitku karena malu. Detik berikutnya Bryan memojokkan ku ke sudut tembok. Mengukung posesif lalu menyambar bibir ini penuh hasrat tertahan. Aku juga merasakan sesuatu yang mendesak di bawah sana menempel.di perutku. Astaga.

"Bry..." ucap aku berusaha melepas ciuaman bryan.

"Shut up Nia, biar begini dulu." pria sensual itu masih saja menjilati dan melumat bibirku. Aku ingin meronta, tapi apa daya aku terdesak tubuh besarnya, kedua tangannya memegangi dada Bryan. Karena takut dadanya jadi menempel pada pria itu. Aku juga mengusahakan untuk mendorongnya sekuat yang aku bisa. Tapi rupanya itu tak berarti apa-apa bagi Bryan.

"Bry..." ucapku terengah berusaha menghentikan invasi Bryan pada bibirku. Bryan yang sepertinya luap daratan, mana peduli pada keluhanku. Ah, bagaimana ini, jantungku sudah maraton sepanjang 30 kilo meter.

"Bryan, bag..." Belum selesai aku mencoba berbicara diantara julukan bibirnya, suara lain yang ku takutkan memergoki kami mendendangkan iramanya.

"Momy, Daddy, how do you do?!" Aku shock, Brian juga shock tapi segera berbalik. Reflek aku memeluk Bryan dari belakang. Takut Bryan beranjak dari hadapannya dan menampakkan aku yang telanjang di depan Cherry.

Ah sial, apakah Bryan melupakan fakta bahwa ada si kecil di kamar ini? Aku mengumpat marah bukan hanya dalam hati, tapi dengan suara meskipun begitu lirih, karena takut Cherry mendengarnya. Lalu kedua tangan ini mencubit pinggang Bryan sekuat tenaga, yang berujung pria itu mendesis karena kecilnya himpitan jari yang ku bentuk.

"Aku-marah-padamu-Bry...!! Benar - benar marah!" Imbuhku.

Bryan yang berjengkit kesakitan, menolehkan kepalanya kepada ku. Tepat di telinga ini, lelaki ini berbisik.

"Pakai bajumu, sayang, jangan menggodaku lagi di depan putri kita." katanya melahirkan senyum di sudut-sudut bibirku. Aku senang Bryan mengakuiku sebagai ibunya Cherry, tapi apa dia tidak berpikir bahwa aku bisa saja jatuh cinta padanya dengan perbuatannya yang kurang ajar itu. Ah, kenapa pula aku justru menikmati keintiman yang dia tawarku. Apa lima tahun dalam kesendirian membuatku merindukan dicintai lawan jenis. Ya ampun Nia, keluhku pada diri sendiri.

Aku menghentakkan kaki, bergerak menuju kearah koper berada. Menyeretnya ke kamar mandi mewah Bryan Walter dan mencoba menutupi rasa malu dari mata Cherry yang kentara sangat ingin tahu.

"Daddy hanya membantu Momimu membersihkan bibirnya, honey" aku mendengar Bryan menjelaskan demikian pada Cherry dengan tenang.

"Tumben sekali, biasanya momy membersihkan bibirnya dengan lap atau tisue. Mami juga akan membersihkan mulutnya dengan sikat gigi, Dady." c

Cherry yang begitu polos pasti memikirkannya sungguh - sungguh.

Terdengar Bryan yang tergelak. Dadaku menghangat, cermin memantulkan senyumku yang merekah. Dia merasa utuh pagi ini. Ada dirinya, Cherry dan Bryan Walter. Aku ingin memiliki keluargaku sendiri seperti ini, bukan keluarga milik pria kurang ajar yang mungkin saja hanya mempermainkan aku atau paling bagus dia sedang berusaha berterima kasih padaku karena sudah merawat putrinya sepanjang lima tahun ini..

Ah hati, tolong jangan jatuh cinta padanya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height