+ Add to Library
+ Add to Library

C2 Satu

Dipagi hari yang cerah, seorang pria keluar dari kamarnya lalu berjalan kearah sudut rumah. Ia berdiri di depan cermin tinggi sambil menyimpulkan dasi.

Pria tampan berambut rapi itu memutar badannya, mematutkan dirinya sekali lagi. Memeriksa apakah ada yang kurang atau tidak sempurna pada penampilannya pagi itu.

"Udah ganteng kakang. Anak bunda satu ini kalo ngga disamperin ngga akan turun buat sarapan." ucap Abel muncul dari balik tembok.

Ia merapihkan penampilan putra tertuanya. Rafka tersenyum. Ia segera membalikkan badannya kearah sang bunda. Rafka paling suka jika bundanya turut merapikan penampilannya sebelum berangkat bekerja.

"Gantengnya anak bunda." puji Abel sambil menepuk nepuk pundak putranya.

Rafka menarik bundanya lalu memeluknya erat. Abel memejamkan mata menikmati pelukan hangat putranya. Sama hangatnya seperti pelukan sang suami.

"Makasih bunda. Maaf kalo Kakang suka repotin bunda tiap pagi. Doakan Kakang ya semoga segera dapat jodoh yang bisa mengurusi keperluan Kakang. Yang pasti sayang sama bunda, papa dan keluarga kita." ucap Rafka.

Entah mengapa Abel sedih mendengar putranya bicara seperti itu. Tak terasa air matanya keluar.

Rafka tersenyum melihat bundanya melow. Ia menyeka air mata bundanya, "loh kok bunda malah nangis sih?!"

Abel pun menyeka air mata yang terus membasahi wajahnya.

"Jangan bilang kayak gitu ih. Bunda ngga suka. Bunda belum rela anak bunda jadi milik orang lain lagi. Cukup kakak aja yang jadi milik suaminya, Kakang sama adek jangan dulu."

Abel memeluk putranya erat. Seolah belum ikhlas kehilangan putrinya yang hampir setahun itu menikah dengan kekasih hatinya.

Rafka tertawa.

Bundanya selalu seperti ini jika dirinya membicarakan masalah wanita. Jangankan bawa pacar, bawa rekan kerja wanita saja sepertinya sang bunda udah langsung pasang badan tak terima anak lanangnya membawa wanita kerumah.

"Lah... Masa iya kakang ga boleh nikah bund. Sudah cukup bunda membesarkan Kaka, Kakang dan adek dari kecil. Bunda dan papa tinggal melihat kebahagiaan kami anak-anak bunda dan papa."

"Bunda masih sanggup ngurus kamu sama adek nak. Jadi jangan tinggalin bunda ya."

"Bunda, kalau pun Kakang menikah, Kakang masih tetep anaknya bunda. Ngga akan berubah. Makanya bantu doa semoga Kakang dapat istri yang sholehah dan sayang sama bunda."

"Amin... Tapi tetep aja bunda belum rela kalo Kakang nikah."

Belum sempat Rafka bicara, sang adik Rafly memotong kegiatan haru ibu dan anak tsb.

"Ck... Malah mesra mesraan disini. Bunda Kakang buruan turun. Papa udah tunggu buat sarapan bareng. Malah mesra mesraan segala." gerutu Rafly sambil berjalan turun dari tangga.

Rafka dan bundanya tertawa.

Rafly tuh emang ngga bisa lihat kakak dan bundanya mesra dikit pasti aja ganggu. Rafka menggandeng sang bunda untuk turun ke ruang makan dimana papa dan Rafly sudah menanti mereka.

***

Sementara itu, kabut duka tengah menyelimuti rumah Marinka. Ia baru saja kehilangan suami tercintanya yang meninggal karena penyakit livernya.

Tak hanya kehilangan sang suami, sebelumnya Marinka pun kehilangan calon anak kedua mereka yang masih dalam kandungan. Marinka keguguran karena terlalu lelah dan stress menungguin sang suami dirawat sebelum akhirnya Allah SWT lebih sayang kepada sang suami dan calon anak keduanya.

Bagaikan jatuh tertimpa tangga.

Mungkin itulah peribahasa yang menggambarkan perasaan Marinka saat ini. Marinka duduk sedih sambil memeluk foto alm suaminya Ridwan.

Putra pertama mereka yang bernama Angga Wijaya anteng digendong oleh tantenya. Ia asik mengemut permen loli. Balita berusia 3.5 tahun itu belum paham tentang apa yang terjadi.

Raut wajahnya tampak ceria seperti biasanya. Tak ada raut wajah sedih ditinggal ayahnya untuk selama lamanya.

Mengingat suatu saat sang putra akan bertanya keberadaan papanya, Marinka kembali menangis. Tubuh lemahnya semakin lemah. Rasa nyeri akibat kuretase yang ia jalani sehari sebelum sang suami meninggal, semakin terasa nyeri.

"Rin... Mas mu mau dibawa ke mesjid untuk di sholatkan lalu didi kebumikan di pemakaman keluarga." ucap sang bunda.

"Ririn ikut Bu." ucap Marinka lemah. Ia mencoba berdiri dibantu sang bunda.

"Kamu masih lemes nak. Duduk saja ya."

"Ngga bu. Ririn kuat. Ririn mau anter Abang ke rumah terakhirnya."

Marinka mencoba berjalan tapi tubuhnya malah limbung. Untung saja bundanya memeganginya dengan erat kalau tidak ia bisa saja terjatuh.

"Tunggu aja Rin. Kamu masih belum sehat nak." bujuk sang ibu. Marinka menggeleng. Ia kekeuh pada kemauannya untuk mengantar sang suami menuju peristirahatannya yang terakhir.

***

Marinka keguguran saat tengah mengandung anak keduanya. Saat itu usia kandungannya baru menginjak 4 bulan 10 hari.

Sang suami dilarikan ke rumah sakit sesaat setelah mereka mengadakan pengajian 4 bulanan. Sang suami di vonis dokter mengidap sakit liver yang cukup parah.

Marinka kaget saat diberitahu sang suami koma dan diharuskan dirawat di ruang ICU. Marinka yang stress karena penyakit sang suami berakibat juga kepada jabang bayinya.

Selama sang suami dirawat, Marinka terus menunggu suaminya diruang tunggu ICU. Ia sedikit mengabaikan kondisinya yang tengah hamil.

Malam itu, Marinka akhirnya mau dibawa pulang oleh ibunya untuk beristirahat sejenak dirumah dan diperbolehkan lagi keesokan harinya untuk menunggui sang suami.

Namun sayang bukannya pergi untuk menunggu sang suami esok hatinya Marinka justru dilarikan kerumah sakit karena ia pendarahan cukup hebat.

Ia merasakan perutnya melilit sangat kuat. Rintisan Marinka seolah menguap begitu saja saat dokter kandungan mengabari kalau ia harus segera di kuretase karena janinnya tak mampu bertahan lebih lama didalam perutnya.

Hancurlah hati Marinka. Ia menyalahkan dirinya yang tak telaten dengan calon anaknya. Kebodohan dirinya mengakibatkan si kecil yang baru saja berkembang dan di beri nafas oleh Allah SWT itu kembali kepangkuan penciptanya.

Belum usai kesedihan Marinka akan kehilangan calon anak keduanya, Marinka mendapat kabar kalau kondisi suaminya makin menurun. Barulah keesokan paginya sang suami menyusul anak mereka menghadap sang pencipta.

***

Satu hal yang Marinka sesalkan adalah, ia tak bisa ikut menyolati alm suaminya untuk terakhir kalinya karena masih dalam masa nifas. Ia haya bisa menunggu keluarga, tetangga dan handai taulan selesai menyolatkan diteras rumah. Barulah ia dipapah berjalan ke makam sang suami.

Marinka menangis meraung-raung saat jenasah suaminya diturunkan ke liang Lahat. Bahkan Marinka sempat terkulai lemas saking tak kuasa menahan kepedihan ditinggal suami yang dicintainya.

Bahkan Marinka menolak diajak pulang setelah proses pemakaman selesai. Ia memilih diam disana menemani Almarhum agar tak kesepian.

"Istigfar Rin. Istighfar. Ikhlas kan kepergian suami mu nak. Kasian nak Ridwan disana kalau kamu kayak gini. Nak Ridwan sudah sehat lagi tak merasa kesakitan. Nak Ridwan sudah tenang bersama Allah SWT. Kini giliran kamu yang mendoakan almarhum agar mendapat tempat yang pantas disisi-Nya." ucap sang ibu yang ikutan menangis melihat kesedihan putrinya.

"Ririn mau sama Abang bu. Ririn ngga mau pulang. Ririn mau disini aja sama abang."

"Astagfirullah Rin. Kalo kamu disini Angga sama siapa nak. Angga butuh bundanya. Kasihan Angga sayang. Ayo pulang. Angga nangis tuh nyariin kamu." ucap Ibu sambil menunjuk Angga yang menangis dalam gendongan tantenya.

Marinka dihadapkan dengan dilema.

Disatu sisi ia masih rindu dengan suaminya. Masih tak percaya dengan papan nisan yang ia peluk bertuliskan nama sang suami. Tapi disisi lain sebagai seorang Ibu, ia juga sedih mendengar tangisan putranya yang mencari cari dirinya.

"Ayo kita pulang Rin. Besok kamu bisa ketemu Abang kesini sambil mendoakan. Sekarang kamu pulang ya. Angga kasihan nak." bujuk Ibunda Marinka.

Ia pun mengangguk.

"Assalamualaikum abang. Bang, Ririn pulang dulu ya. Besok Ririn kesini lagi jengukin Abang. Abag Angga rewel nyariin bunda. Abang istirahat ya. Adek rindu sama Abang." ucap Marinka sambil mengecup papan nisan Alm suaminya.

Dengan enggan ia pun perlahan pergi meninggalkan gundukan tanah yang ditaburi oleh bunga tsb. Ia lalu mendekap putranya yang menangis.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height