+ Add to Library
+ Add to Library

C3 Dua

"Bagaimana proses proyek pembangunan gedung Apartemen yang di Kalibata?" ucap Rafka sambil menyetir mobilnya menuju kantor.

Ia menggunakan earphone bluetooth untuk menelpon rekan kerjanya yang tengah meninjau proyek pembangunan Apartemen.

Wiguna Construction adalah kantor arsitek dan konstruksi yang dibangun oleh Rafka dan beberapa rekannya yang lain. Tak hanya itu adik kembarnya Rafli pun ikut membantu di bagian design interior dan eksterior.

Siapa sih yang tak mengenal si kembar keluarga Wiguna yang berotak cerdas, tampan dan mapan. Tentunya kedua orang tua mereka amatlah sangat bangga.

Terutama sang bunda Maribell Andriana yang amat sangat bersyukur, kepintaran sang suami menurun kepada ketiga buah hatinya. Kenapa cuma tiga? Bukankah dulu sempat ada kabar kalau Abel kembali mengandung anak keempat?

Ya benar. Abel sempat mengandung anak ke empat saat ketiga buah hatinya beranjak dewasa, tapi ternyata Allah lebih sayang kepada calon anak ke empat mereka. Abel keguguran karena usianya yang harusnya tak lagi mengandung.

Maka dari itulah ia kehilangan buah hatinya yang masih sangat kecil itu. Tapi untungnya kesedihan yang dialami sang bunda terkikis sedikit demi sedikit dengan hadirnya seorang cucu perempuan yang lucu dari Putri pertama mereka Renata.

Kembali ke topik masalah.

"Aku sudah mengkoreksi data yang kalian ajukan kemarin. Ada beda hitungan yang cukup besar. Aku ingin itu dirubah. Aku tak mau ada masalah dikemudian hari." ucap Rafka serius.

Rafka si pria dingin tak tersentuh itu amatlah sangat perfectionist. Segala hal yang ia kerjakan harus 100%. Ia rela bertengkar hebat dengan klien atau kontraktor lain tiap kali melakukan kerja sama. Ia tak ingin asal-asalan dalam bekerja.

Tanggung jawabnya sebagai pemimpin menjadi taruhannya. Kantor yang ia bangun susah payah dari nol tak mau hancur begitu saja karena hal kecil.

"Koreksi lagi perhitungannya. Ku tunggu hingga jam makan siang." ucap Rafka mengakhiri pembicaraannya.

Ia segera memarkirkan mobilnya di parkiran khusus karyawan. Jika petinggi petinggi lain ingin hak special dengan memiliki lahan parkir terpisah, tapi tidak dengan Rafka.

Rafka tetap parkir diarea parkir karyawan. Meski pun ia juga petinggi disini tapi ia juga tetap karyawan yang digaji. Ia lebih suka berinteraksi dengan pegawai pegawainya. Low profile seperti pesan sang bunda.

'Setinggi apapun jabatan mu, jangan cepat terbuai. Ingatlah saat dulu masih dibawah. Jangan pernah sungkan bergabung dengan yang berada dibawahmu.'

Itu pesan yang selalu dan selalu diingatkan oleh sang bunda kepada buah hatinya.

***

"Kalian tidak masuk? Sudah waktunya bekerja kan?" ucap Rafka saat masuk ke dalam lift. Sementara karyawannya yang lain malah berdiam diri di depan lift.

Mereka sungkan untuk satu lift dengan bosnya.

"Kami tunggu lift berikutnya saja pak. Silahkan bapak naik duluan." ucap salah satu pegawainya.

"Oh begitu. Baiklah kalau mau menunggu. Aku akan laporkan nama nama kalian yang telat pagi ini untuk mendapat pemotongan gaji karena telat bekerja dengan alasa tak logis."ancam Rafka.

Para pegawainya takut. Mereka tak ingin dipotong gaji karena hal sepele. Alhasil mereka pun berbondong-bondong masuk kedalam lift yang sama dengan Rafka.

Rafka tertawa dalam hati.

Suasana dalam lift sangatlah tegang dan kaku. Tapi Rafka terlihat cuek dan sibuk dengan gadgetnya. Satu persatu karyawan pun tiba dilantai tempat mereka bekerja. Sedangkan Rafka naik sendirian ke ruangannya.

"Duh... Deg degan ngga sih satu lift ama Pak Rafka?! " ucap seorang wanita berhijab sambil mengelus elus dadanya.

"Iya tau mba. Deg-degan banget. Pake diancem potong gaji segala. Kenapa sih dia ngga pake lift khusus aja." gerutu wanita disebelahnya.

"Iya nih bikin jantung dag dig dug kek abis lari marathon aja." keluh yang lainnya.

"Sebenernya pak Rafka itu ingin dekat dengan karyawannya, tapi berhubung orangnya dingin kayak es batu ya gitu deh pada takut ama die." celetuk seorang pria ikutan nimbrung.

"Selain Pak Rafka mana mau direksi yang lain gabung ama karyawannya. Iya kan? Yang ada minta perlakuan khusus. Mending kalo kerjanya bener. Lah kerjanya cuma ongkang ingkang kaki doank. Kita yang kerja rodi tapi mereka yang digaji gede. Setidaknya pak Rafka ngga seperti yang kita pikirin selama ini. Dia baik banget justru ya cuma udah kek gitu bawaannya mw gimana lagi."

"Iya juga sih." Mereka tertawa.

"Kerja kerja." Mereka pun berpencar menuju meja dan kursi masing-masing.

***

Sementara itu, Ririn tengah menyiapkan sarapan untuk Angga putranya. Bocah tampan berpipi gembul itu, sangat menikmati sarapan nasi goreng buatan bundanya.

"Unda... Yayah Ana unda?" tanya Angga kepada Ririn. Ririn tersenyum sambil mengelus rambut putranya.

Ini bukan pertama kalinya Angga bertanya tentang keberadaan ayahnya, Ririn bahkan sudah memberi tahu kalau ayahnya sudah tinggal bersama Allah SWT. Ririn juga sering mengajak putranya berziarah ke makam ayahnya tapi lagi lagi bocah gembul itu tetap bertanya.

"Dedek kangen ayah sayang." Angga menganggukkan kepalanya.

"Dedek mau ikut bunda ke rumah ayah?"

"Mau unda..." seru Angga senang.

"Yaudah dedek abisin maemnya ya. Abis maem kita jengukin rumah ayah. Kirim doa biar ayah tenang disana."

"Iya unda."

"Dedek kangen ayah unda."

"Bunda juga kangen ayah nak." Marinka mencium dahi putranya.

Seperti yang sudah dijanjikan, Marinka mengajak Angga ke makam suaminya. Disana Marinka kembali menangis sembari melantunkan ayat-ayat suci al-qur'an. Sedangkan Angga masih belum mengerti tiap kali ia ingin bertemu ayahnya, mengapa ia selalu dibawa ke makam. Tapi bocah kecil itu tampak tenang di pangkuan bundanya.

***

Entah mengapa hari itu Angga sangat rewel. Ia menangis mencari cari ayahnya. Marinka kebingungan. Tak pernah Angga rewel seperti ini. Biasanya cukup dengan ditunjukan foto atau video kebersamaan dirinya dan ayahnya Angga akan kembali tenang. Tapi kali ini bujuk rayu seperti apapun tak mempan.

"Yayah unda

"Yayah unda... Mau yayah..." rengeknya. Mata bundarnya semakin basah dengan air mata. Ririn ikutan menangis.

"Jangan nangis dek. Ayah udah sama Allah nak. Dedek sama unda ya."

"Ndak... Ndak. Mau yayah. Mau yayaah huaaa...."

"Astagfirullahaladzim. Ya allah beri hamba kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi hal ini."

Bocah tampan itu pun akhirnya tertidur karena lelah menangis.

"Maafin unda ya dek. Unda ngga bisa kasih yang adek mau. Unda pun ingin ayah kembali nak. Tapi kita harus ikhlas. Ayah udah ngga sakit lagi. Dedek yang ikhlas ya." ucap lembut Ririn sambil mengelus rambut putra tampannya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height