+ Add to Library
+ Add to Library

C4 Tiga

Hari minggu ini Ririn mengajak putranya main di taman kompleks sambil berolah raga. Angga seneng banget diajak olah raga. Dengan menggunakan skuter kecilnya ia mengejar bundanya dengan tertawa riang.

"Unda lariii

"Unda lariii... Dedek kejar." teriaknya sambil mendorong kaki kecilnya agar skuternya melaju.

"Ayo dek sini kejar unda." sahut Ririn sambil berlari lari kecil.

Angga sempat terjatuh beberapa kali dan membuat bunda khawatir tapi bocah itu malah semangkin semangat ingin mendahului bundanya.

Tanpa disangka sangka dari arah kiri taman, sebuah sepeda melintas dan dikagetkan dengan kemunculan Angga yang tiba-tiba. Tabrakan pun tak terelakan. Si pria pengendara sepeda tersungkur di rerumputan sementara Angga tertindih skuter dan sepeda yang dipakai oleh pria itu.

"Angga." teriak Marinka saat mendengar suara putranya yang meraung raung keras.

Ia segera berlari dan menyingkirkan sepeda yang menimpa tubuh putranya. Di rangkulnya tubuh Angga yang sudah lecet dan berdarah di beberapa tempat.

"Astagfirullahaladzim. Maafin saya mba. Saya kaget melihat anak anda melintas tiba tiba." ucap seorang pria yang menabrak putranya. Ia adalah Rafka.

"Maaf maaf. Makanya bawa sepeda itu pelan pelan. Anak saya jadi korban kan." omel Ririn sambil mencoba mendiamkan putranya.

"Saya yang salah. Saya minta maaf. Saya akan bertanggungjawab atas luka anak mba. Kita bawa ke dokter ya."

"Ngga usah. Saya bisa sendiri." ucap ketus Ririn sambil melangkah pergi meninggalkan Rafka yang semakin bersalah.

Baru beberapa langkah pergi, Ririn dikagetkan oleh muntahan darah yang keluar dari mulut putranya. Angga tiba-tiba batuk dan muntah darah. Ririn panik. Rafka yang melihatnya segera membawa bocah itu ke mobilnya.

Ririn mengikuti saja. Ia menangis memeluk putranya yang masih terbatuk. Angga pun ikutan menangis dan mengeluh dadanya sakit. Rafka tak tenang. Ia berkali kali memandang ke kursi belakang dimana bocah kecil itu dipangku oleh ibunya.

Rafka membawa mereka ke rumah sakit tak jauh dari taman. Rafka menggendong bocah kecil itu lalu berlarian menuju IGD. Tak lupa ia juga menelpon kakaknya Renata yang kebetulan sedang bertugas hari itu.

***

"Kakang ada apa? Siapa yang sakit?" tanya Renata saat tiba di IGD. Ia melihat seorang wanita duduk disamping Rafka sambil menangis.

"Kak tolong lihat kondisi anak yang kakang tabrak tadi. Dia batuk berdarah gitu."

"Astagfirullahaladzim. Yaudah tunggu disini. Kakak lihat dulu ke dalam."

Renata pun masuk kedalam ruang obrservasi. Sementara Rafka dan Ririn menunggu dengan cemas lorong IGD.

Suasana kembali hening. Hanya ada isakan tangis seorang ibu yang menyayat hati seorang Rafka. Ia perlahan mendekat dan menyerahkan sapu tangannya kepada ibu satu anak itu.

"Apa?!" ucap Ririn ketus saat melihat uluran tangan berisi sapu tangan kearahnya. Rafka terlihat kikuk.

"Em... Pakai sapu tangan saya mba." ucap Rafka hati hati.

"Ga usah sok perhatian. Gara gara kamu anak aku seperti ini." Ririn menepis tangan Rafka.

"Saya akan tanggung jawab. Saya akan membiayai seluruh pengobatan anaknya mba hingga sehat seperti sedia kala." janji Rafka.

"Tentu saja kamu harus tanggung jawab. Aku bakalan laporin kamu kalo berani kabur dari tanggung jawab!"

Rafka diam saja. Percuma menanggapi omongan wanita yang sedang tersulut emosi. Ia mencoba tersenyum menanggapinya.

***

Hampir satu jam menunggu, akhirnya dokter dan Renata pun keluar dari ruangan. Marinka dan Rafka pun mendekat. Marinka sempat menatap sebal saat Rafka ikut mendekat, tapi ia mengurungkan diri.

"Dokter bagaimana keadaan anak saya dok? Apa ada yang parah?" tanya Ririn kepada dokter Ashilla.

"Ibu orang tuanya. Bisa kita bicara diruangan saya?" Marinka mengiyakan.

Ibu satu anak itu mengikuti dokter Ashila. Sementara Rafka menunggu disana dengan Renata.

"Gimana ceritanya sampai kamu ketemu anak itu?" tanya sang kakak kepada Rafka.

Rafka pun bercerita dari awal hingga akhirnya ia membawa bocah lucu itu ke rumah sakit.

"Apa ada masalah kak? Aku takut banget dia kenapa kenapa." ucap Rafka khawatir.

"Lumayan mengkhawatirkan. Ada cairan di paru parunya yang menekan rongga thorax sewaktu tertimpa sepedah makanya membuat si anak muntah darah. Tapi untungnya cairan di paru paru bisa keluarkan. Tinggal pemulihan aja."

"Alhamdulillah kak. Aku seneng dengernya." Rafka terlihat lega.

"Terus sekarang gimana?" tanya Renata.

"Yang pasti aku bakal biayain semua biaya rumah sakit sampai si anak sehat kembali. Aku ngga tenang kak kalo ngga sampe beres."

"Kenapa harus? Kamu ngga kesengsem sama mama si anak kan." goda Renata.

"Hush kak. Nanti didenger suaminya gimana. Ngga enak. Lagian aku tulus mau tanggung jawab bukan karena ada maksud apa-apa."

"Iya iya. Becande kakang. Duh susah banget becandain kamu. Ga asyik."

"Abis ini kakak mau kemana?"

"Balik lah. Elo yang bikin gue molor jam pulangnya. Kasian anak ama suami gue. Kalo pada mau nyusu gimana." kerling Renata menggoda sang adik.

"Ck... Wong edan. Udah sono balik susuin tuh laki loe."

"Owh... Pastinya. Udah ah gue balik dulu yak. Bye..."

Rafka memperhatikan sang kakak hingga hilang dari pandangan. Ia masuk ke ruangan dimana bocah tampan nan gembul itu berbaring.

Matanya tertutup. Selang infus dan selang oksigen menempel ditubuh mungilnya.

Rapuh.

Sangat rapuh.

Rafka menyesal telah melukai bocah tak berdosa itu hingga seperti ini. Ia mengulurkan tangannya mengelus rambut

***

Ririn terus mendampingi putranya. Setelah dijelaskan tentang kondisi putranya oleh dokter Ashilla, Ririn tak sedikitpun beranjak dari sisi putranya.

Saat ini bocah lucu itu sudah dipindahkan ke ruang perawatan anak VIP. Tentu saja bukan Ririn yang membayar tapi pria yg bernama Rafka lah yg membiayai seluruh biaya pengobatan putranya.

Ririn tak banyak protes dengan pilihan kamar untuk putranya yg penting putranya cepat sembuh.

Tok tok tok

"Masuk." ucap Ririn. Pintu kamar pun terbuka dan masuklah pria tadi yang menabrak putranya.

"Ada apa lagi?" tanya Ririn ketus. Rafka menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Em... Saya cuma mau mengantarkan ini." ucapnya sambil menyimpan keresek berisi nasi boks untuk Ririn.

"Saya lihat mbaknya dari tadi disini menemani Angga. Mbanya pasti laper belum makan. Diterima ya mba. Kalau begitu saya pamit dulu besok saya kesini lagi sepulang kerja. Permisi." pamit Rafka. Ririn termenung. Ia memang kelaparan tapi ia bingung karena tak mungkin meninggalkan putranya.

"Terima kasih." ucap Ririn lembut membuat tubuh Rafka menegang. Ia langsung membalikkan badannya dan menatap senyuman Ririn sangat tulus.

Tanpa sadar ia pun ikut tersenyum lebar. "Sama sama mba. Dimakan ya. Saya ngga tahu mba sukanya apa jadi mohon maaf kalo mbanya ngga doyan." Ia pun berlalu meninggalkan ruang rawat inap Angga.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height