Velin Sean/C2 Sean
+ Add to Library
Velin Sean/C2 Sean
+ Add to Library

C2 Sean

"Bagaimana reunimu tadi malam? Berjalan lancar?"

Velin yang duduk di depan meja bundar beralas bantal kecil tidak menyahut sama sekali saat Mili–teman sekamarnya itu melemparkan pertanyaan tentang reuni yang ia datangi tadi malam. Velin terlalu malas untuk membahas, mengingat tentang reuni yang kembali membawanya dalam kisah luka masa lalu.

"Yak, pelan-pelan makannya. Tidak akan ada yang mengejarmu." Mili memukul kepala Velin menggunakan sendok makan. Tidak terlalu keras, tapi mampu membuat Velin melotot kepada Mili. Sedang Mili, perempuan berkacamata itu hanya tersenyum.

"Aish ... sial! Jangan menanyakan itu lagi, Mbak," pinta Velin dengan mimik memohon. Ia ingin melupakan apa pun yang berkaitan dengan reuni. Melupakan Arga, Sean dan yang lainnya.

"Kenapa? Burukkah?" Mili mengunyah sarapannya santai, tapi matanya begitu antusias kepada Velin.

Velin mengangguk.

"Wah. Apa mereka memamerkan apa yang mereka capai selama lima tahun terakhir?"

Lagi-lagi Velin mengangguk.

"Amazing." Mili terkekeh. Bukan menertawakan penderitaan Velin melainkan menertawakan kehidupan kejam yang menimpa mereka. Mili dan Velin tidak jauh berbeda. Mereka terlahir dari kehidupan yang pas-pasan. "Itu alasan kenapa aku tidak pernah mau menghadiri acara yang berkaitan dengan sekolah. Apa pun itu."

Velin mendengkus kasar. "Bukan hanya itu, Mbak, dua lelaki paling berengsek yang pernah aku kenal kembali lagi.”

"What?" Mili berteriak. Tangannya yang memegang sendok yang masih berisi nasi goreng itu menggantung di udara.

"Mereka mendatangkan bahaya masing-masing. Aish ... seharusnya aku tidak menghadiri reuni sialan itu." Velin menggulingkan tubuhnya ke lantai seperti anak kecil yang sedang protes kepada orang tuanya karena tidak dibelikan permen.

"Yak ... yak ... berhenti bertingkah seperti anak kecil. Ingat umur," protes Mili. Bibirnya tertarik membentuk segaris senyum tipis. "Cepat habiskan sarapanmu. Setelah itu berangkat kerja."

"Ya." Velin kembali membetulkan duduknya. Tanpa protes kembali mengunyah sarapannya yang tertunda meskipun dengan wajah kesal.

"Anak pintar." Mili mengacak rambut Velin. Ia gemas melihat tingkah kekanak-kanakan yang dimiliki oleh teman sekamarnya itu.

Velin tidak menyahut. Ia memilih menghabiskan sarapannya dan segera berangkat kerja.

***

Velin tersenyum ramah kepada siswi berseragam SMA yang berdiri di depan pintu, mencoba memberi layanan terbaik dari toko bunga 'Beautiful Flower' tempatnya bekerja. Sehingga langganan akan semakin bertambah. Dengan begitu semakin banyak bonus menanti dirinya dan siap masuk ke saku celana. Dan jika ia mendapatkan bonus lebih, ia ingin mentraktir Mili makan sepuasnya di restoran terbaik di kota Jakarta ini.

"Gue enggak memesan bunga sama sekali. Lo mungkin salah alamat." Siswi SMA itu berucap dengan nada dingin.

Velin mengernyit keningnya bingung. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan catatan kecil yang isinya adalah nama-nama beserta alamat tempat ia akan mengantar beberapa bunga.

"Seira Virza Nasution, 'kan?" Velin masih menatap kertas kecil itu.

Siswi SMA itu mengangguk.

"Nah, nama dan alamatnya sama. Mana mungkin salah alamat," tukas Velin. Ia menyodorkan bunga mawar merah yang terbungkus rapi kepada Seira.

Seira hanya menatap tidak tertarik pada bunga mawar cantik itu. "Setidaknya lo bisa kasih tahu ke gue siapa yang ngirim bunga itu."

Velin masih mencoba ramah meskipun hatinya mendidih melihat tingkah mengesalkan bocah SMA di depannya itu.

"Di sini tertulis, pengirimnya adalah Hafiz Altariksyah. Adik Seira bisa lihat lebih jelas di kartu yang terdapat di bunga itu." Velin menunjuk kertas yang terdapat di antara rangkaian bunga mawar.

"Buang saja. Gue enggak tertarik." Seira memutar tubuhnya. "Ah, ya ... kalau dia memesan lagi dan menyuruh lo mengantar ke sini, lo enggak usah repot-repot, buang saja di tengah jalan."

Tidak lama setelah itu suara bantingan pintu mengalun terlalu buruk di telinga Velin. Ia mendengus kasar, menatap sendu pada rangkaian bunga mawar yang ditolak mentah-mentah.

"Uh ... mengerikan sekali," gerutu Velin. Dengan gontai ia kembali ke motornya yang sudah terparkir di luar pagar rumah besar itu.

Namun, langkahnya memburu saat mata tajamnya menangkap seseorang sedang memperhatikan motor matic dengan sangat saksama. Perasaan Velin semakin buruk apalagi orang yang memperhatikan motornya berpakaian sangat aneh dan pantas dicurigai.

Jaket kulit hitam, celana jeans hitam, topi hitam, masker hitam bahkan sepatu yang dikenakan pun warnanya hitam. Ya ... manusia dengan warna serba hitam. Perasaan mencurigai semakin menjadi di hati Velin.

"Yak! Kamu maling motor, ya?" teriak Velin begitu nyaring memekakkan telinga.

Orang yang diteriaki sebagai maling itu terkejut. Ia menggelengkan kepalanya, tapi Velin yang dari awal memiliki firasat buruk tidak percaya begitu saja.

"Mana ada maling mau ngaku. Kalau ngaku mah, jaksa pasti kelelahan menangani kasus itu terus menerus di pengadilan," ketus Velin.

Dan satu tendangan mendarat di tulang kering orang yang dicurigai Velin sebagai maling itu.

"Sakit, bodoh." Suara bariton itu terdengar tidak asing di pendengaran Velin.

Dan ya ... pemilik suara itu membuka masker serta topi hitamnya. Spontan Velin mundur beberapa langkah. Otaknya kembali bekerja tidak karuan saat lelaki yang dicurigainya itu sangat ia kenal.

"Sean ...." Velin menatap gugup ke arah lelaki itu.

"Hai, kita bertemu lagi. Takdir selalu berpihak kepada lelaki tampan seperti gue." Sean maju selangkah, dan Velin mundur selangkah.

"Ngapain kamu di sini?"

Sean kembali maju selangkah, dan lagi-lagi Velin mundur selangkah.

"Seharusnya gue yang nanya, kenapa lo ada di depan rumah gue?"

Velin menatap sekilas kepada Sean lalu menatap rumah besar yang ada di belakangnya. Velin rasanya ingin menenggelamkan diri di lautan karena terlalu takut berurusan dengan Sean.

Kenapa otak kecilnya sama sekali tidak bisa menyadari jika rumah itu milik keluarga Sean. Bukankah nama siswi SMA tadi memiliki kesamaan dengan nama Sean? Sean Varza Nasution dan Seira Virza Nasution.

"Lo rindu sama gue, ya? Aish ... padahal kita baru ketemu tadi malam. Dan bukannya tadi malam gue yang mengantar lo pulang? Atau lo merindukan ciuman dari bibir seksi gue ini seperti tadi malam?" Sean menunjuk pada bibirnya.

Velin mendorong Sean kuat. Sean benar-benar gila! Membahas ciuman yang ia rebut dari Velin dengan paksa.

"Minggir. Aku harus mengantar bunga-bunga ini lagi." Velin meletakkan bunga milik Seira kembali ke keranjang bunga.

Namun, dengan cepat Sean meraihnya bunga itu. "Ini untuk gue aja."

Velin tidak menolak. Ia ingin segera menyudahi berurusan dengan Sean. Masih banyak hal yang lebih penting dari pada berurusan dengan manusia absurd seperti Sean.

"Nanti malam gue jemput, ya? Gue mau ngajak lo jalan. Mungkin sewa kamar juga."

Velin mendecit seperti anak burung. Otak Sean perlu dibersihkan dari pikiran-pikiran mesum yang luar biasa.

"Jangan menolak!" teriak Sean ketika motor Velin meninggalkan halaman rumah besar milik keluarganya.

Sean tersenyum tipis. Ia mencium bunga mawar itu. Kemudian membuang kartu yang ada. Dengan santai masuk ke dalam rumah besar dan siap menghadapi kenyataan baru.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height