Velin Sean/C5 Memori Kepahitan
+ Add to Library
Velin Sean/C5 Memori Kepahitan
+ Add to Library

C5 Memori Kepahitan

mengerjap pelan saat bias cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan mendera di penglihatannya. Sudah terlalu pagi! Velin meregangkan otot kakunya, ternyata tidur dengan posisi duduk menekuk membuat seluruh tulang dan sarafnya kaku.

Sejenak, ia berjalan ke depan cermin panjang yang berdiri tegak di dekat lemari. Menatap wajahnya yang sungguh tidak baik-baik saja. Daripada disebut manusia, Velin malah lebih pantas disebut sebagai Zombi! Wajah sembab dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Rambut yang berantakan karena Velin terus menjambak tanpa henti ketika emosinya meluap mengingat Sean.

Semua karena Sean! Lelaki itu benar-benar lebih mirip Iblis daripada manusia.

Dari dulu, Sean adalah masalah yang tidak mampu Velin atasi dari hidupnya. Sekuat apa pun ia menyingkirkan lelaki itu, sialnya ... Sean tetap berdiri kokoh di depannya.

Mengerikan!

Entah alasan apa yang membuat Sean begitu semangat mengganggu dirinya?

Suka? Tidak mungkin! Jika Sean menyukainya, lelaki itu tidak mungkin menyakitinya. Jika menyukainya sudah pasti Sean akan memperlakukannya dengan baik dan mungkin akan memberinya kasih sayang yang pantas.

Namun, Sean?

Masih jelas di ingatannya kejadian saat masih SMA dulu, saat Sean dengan sengaja mengguyurnya menggunakan air yang dicampur adonan telur busuk. Kemudian menyeret paksa ke gudang dan mengurung semalaman. Bayangkan bagaimana mentalnya saat itu.

Kacau parah!

Minta maaf? Jelas tidak!

Sean malah dengan bangganya menyebar foto Velin yang seperti anak kucing jatuh di got. Bahkan saat satpam sekolah menemukan Velin esoknya dan dia dalam keadaan pingsan, Sean sama sekali tidak merasa bersalah.

Sean seperti tidak melakukan kesalahan apa pun padanya.

Apa lelaki itu pantas disebut manusia?

Tentu saja tidak!

Bukan hanya itu yang dilakukan Sean padanya. Masih banyak lagi. Dan Velin tidak ingin mengingat akan itu, karena terlalu banyak kepahitan di dalamnya.

Velin kira semuanya akan baik-baik saja setelah lulus dari SMA. Kehidupannya yang normal kembali, tanpa ketakutan, tanpa penindasan dan tanpa air mata. Namun, nyatanya itu hanya berlaku sementara. Sepertinya, takdir buruk masih terlalu nyaman berada di garis sisinya.

Sean adalah takdir buruknya!

Seharusnya, Velin tidak perlu menghadiri reuni itu, sehingga ia tidak perlu bertemu dengan luka masa lalu. Seharusnya! Sialnya, semua sudah terlanjur, dan Velin menyesal akan itu, sangat menyesal.

Pertemuannya kembali dengan Sean setalah 5 tahun membuka luka lama dan membentuk luka baru yang jauh lebih mengerikan dan perih. Lelaki itu jelas seorang iblis! Reuni itu petaka!

Bagaimana tidak? Di malam reuni itu, Sean memaksa Velin pulang bersamanya tanpa peduli penolakan. Menyeret paksa tanpa memberi kesempatan untuk melarikan diri. Dan mengerikannya, di tengah jalan nan sepi, Sean dengan kejinya mencumbuinya. Ya, memperlakukannya dengan sangat tidak pantas. Melecehkannya tanpa tahu malu, bahkan saat Velin menangis dan memberontak, Sean sama sekali tidak peduli.

“Lo milik gue!” Suara bariton itu masih terngiang di telinga. Dan lidah yang bercampur saliva masih terasa di seluruh tubuhnya. Mencap seseorang sebagai milik tanpa membutuhkan persetujuan.

“Jika menolak, orang-orang terdekat lo bakal dalam masalah.” Itu ancaman yang membuat Velin diam tanpa perlawanan saat itu.

Sean bukan manusia, jelas bukan manusia.

***

“Berengsek!” Teriakan menggema di dalam kamar bersamaan dengan vas bunga yang melayang tepat di cermin. Hancur berkeping! Meluapkan amarah seperti itu sedikit mengurangi beban pikiran.

Velin terduduk di lantai dingin. Menangisi takdir yang bermain terus menerus tanpa henti. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya tampak memutih. Kebenciannya pada Sean semakin besar! Lelaki itu perlu dihindari agar dunianya tidak miris dan tragis.

Ia harus ingat itu.

Ketukan di pintu kamar refleks membuat Velin mengarahkan pandangannya ke sana. Namun, ia tidak memiliki niat untuk membukanya. Sungguh, ia sangat tidak ingin diganggu setelah apa yang terjadi padanya dan terus terang ia tidak ingin teman sekamarnya itu khawatir padanya.

Namun ....

Lagi, seseorang di luar itu kembali mengetuk dan sedikit brutal. Velin yakin itu Mili! Dengan cepat ia menghapus air mata. Alasannya sederhana karena ia tidak ingin Mili tahu apa yang menimpanya.

“Vel, buka pintunya!” Suara Mili terdengar lantang. “Ini sudah siang. Sumpah, mbak khawatir.” Kemudian nada suara itu berubah menjadi pelan. Jelas, si empunya suara sangat khawatir padanya. Velin hanya menatap pintu yang tertutup.

“Baiklah, mbak tidak memaksamu keluar dari kamar. Tapi, usahakan untuk makan meskipun sesuap. Makanannya mbak letak di kulkas, nanti kamu panasi. Mbak pergi.”

Tidak ada lagi suara setelahnya. Mili sepertinya benar-benar pergi.

Sepi!

Sunyi!

Velin masih menatap pintu dan itu berlangsung beberapa menit. Kemudian mendengus kasar sebelum memutuskan memaksa kakinya untuk berjalan ke luar kamar.

Ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak ingin Mili semakin khawatir padanya.

Saat tiba di ruang tamu yang berhubungan langsung dengan dapur, kaki Velin lemas seketika. Sosok yang ingin ia hindari, yang memberi luka begitu perih sedang duduk beralas bantal kecil sembari menata rapi makanan di atas meja bundar.

Satu pertanyaan menyeruak di otak Velin, kenapa Sean ada di flat mereka?

Velin memutar tubuhnya. Kembali ke kamar adalah jalan terbaik untuk saat ini sebelum Sean sadar akan kehadirannya. Ia tidak ingin terus berurusan dengan Iblis yang sewaktu-waktu menyeretnya dalam masalah yang lebih mengerikan.

Cukup!

Sialnya, sebelum kaki melangkah, lelaki itu telah menyadari kehadirannya. Kemudian bangkit menuju ke arahnya lantas membawanya menuju meja.

“Lo harus makan,” ucapnya lembut. Velin sempat terkejut akan nada itu tetapi kemudian menggeleng, ia tidak boleh terhanyut.

“Mili bilang, lo belum keluar kamar sejak pagi dan belum sarapan.” Sean mendudukkan Velin di bantalan sofa, kemudian menyodorkan semangkuk bubur ayam.

“Kenapa kamu di sini?” Pelan tetapi terdengar dingin.

Sean tersenyum simpul. “Gue khawatir.”

Velin menggigit bibir bagian dalamnya saat mendengar kalimat itu. Khawatir? Persetan dengan itu!

“Pergilah! Aku tidak butuh kamu, apalagi kekhawatiranmu.” Sekuat tenaga Velin menahan agar air matanya tidak jatuh.

“Gue pergi, tapi itu nanti.”

Velin menepis tangan Sean yang berusaha menyendokkan bubur ke mulutnya, sehingga jatuh mengotori lantai.

“Aku mohon, pergi!” Bulir-bulir air mata jatuh tanpa bisa dibendung. “Aku membencimu!” pekik Velin bersamaan dengan mangkuk bubur yang melayang ke sembarang arah.

Sean menggeram tertahan. Tangannya mengepal sempurna. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak meluapkan kemarahannya karena sikap Velin yang menurutnya terlalu berlebihan.

“Enyahlah ke neraka!” Velin berlalu menuju kamar, meninggalkan Sean yang mematung dan kekacauan di ruang tamu.

Velin menjatuhkan dirinya di lantai, menekuk kedua kakinya dan menyusupkan kepalanya, menjadikan kedua lengan sebagai bantalan.

Rasa sesak menggerogoti hatinya, terisak tanpa henti. Entah seperti apa lagi takdir yang menghampirinya. Mungkin akan ada yang lebih gila dari sekedar apa yang ia alami beberapa hari ini!

Skenario yang tercipta begitu apik!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height