Velin Sean/C6 Cinta dan Rahasia
+ Add to Library
Velin Sean/C6 Cinta dan Rahasia
+ Add to Library

C6 Cinta dan Rahasia

Mencintaimu dalam diam adalah luka terindah!” –Velin Ashakira

***

Senyum tipis tercetak jelas di bibir tipis Velin setelah berhasil memoles liptint. Sentuhan terakhir untuk menyempurnakan penampilannya yang sebenarnya sangat sederhana. Pakaian yang digunakan hanya kemeja kotak merah tua lengan panjang, sengaja digulung untuk mempermudah gerak. Dan celana jeans biru tua yang menutupi kaki jenjangnya.

“Vel!”

Velin mendengkus pelan saat ketukan keras dan teriakan menggema bersamaan dari luar kamar. Pelakunya tentu saja Mili, si perempuan yang kata orang-orang lebih mirip seperti kakak kandungnya.

“Vel, sarapan.”

Suara itu kembali terdengar. Velin tidak menyahut, justru lebih memilih berjalan ke pintu, sebelum itu, ia sempat meraih tas selempang berukuran sedang yang tergeletak di atas ranjang.

“Kamu ... kerja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Mili saat kepala Velin menyembul dari celah pintu yang terbuka.

Hanya anggukan yang diberi Velin sebagai respons dari pertanyaan itu. Kemudian menggeser tubuh Mili ke samping dengan pelan agar ia bisa lewat.

“Kamu baik-baik saja?” Lagi, Mili sepertinya tidak puas hanya memberi satu pertanyaan kepada Velin. Bahkan ia terus mengekori hingga ke meja makan.

“Aku baik-baik saja, Mbak. Tidak perlu khawatir,” tukas Velin. Tangannya meraih mangkuk berisi bubur ayam yang sudah tertata di meja bundar itu.

Mili menghela napas pelan. “Bagaimana tidak khawatir? Kamu mengurung diri selama dua hari di kamar.”

Velin yang sibuk memakan buburnya hanya tersenyum tipis. Ia tahu, apa yang dikatakan Mili itu adalah sungguh-sungguh tanpa kebohongan.

“Apa sebenarnya yang terjadi?” Mili masih belum berhenti khawatir. Meskipun sendok sudah berada di tangan, dan bubur sudah di depan mata, Mili masih belum menyentuh sama sekali.

Terlalu berharga meluangkan waktu untuk berbicara daripada menikmati bubur sarapan pagi.

Dengan susah payah Velin menelan salivanya. Tatapan menunduk tidak berani mengarahkan pada Mili yang sudah setia menanti jawaban.

“Vel,” kata Mili lagi saat Velin masih terdiam.

Sejenak Velin menengadah. “Enggak terjadi apa-apa, Mbak. Percayalah.” matanya mengarah ke mangkuk bubur. Sedang tangannya sibuk mengaduk-aduk bubur itu menggunakan sendok.

Mili mengangguk. Sebesar apa pun keinginannya untuk bertanya, Velin belum tentu memberi jawaban.

“Makan yang banyak. Kamu butuh asupan untuk menghadapi hari yang keras,” celetuk Mili. Ia mencolek pipi Velin dengan gemas.

Dan kini giliran Velin yang mengangguk.

Persaudaraan tidak hanya terjalin karena hubungan darah, tetapi karena rasa sayang dan cinta. Orang asing pun akan menjadi saudara ketika Tuhan telah berkenan.

***

Jari-jari lentik itu sibuk menyusun bunga-bunga di atas keranjang, dan sesekali netra melirik buku kecil yang dijadikan catatan. Ini rutinitas yang dilakukan Velin setiap hari di tempat kerja. Sebesar apa pun kesedihannya, pekerjaan adalah tanggung jawab yang tidak boleh ia abaikan.

“Bagaimana? Sudah sesuai catatan?”

Velin mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Ela, teman kerjaannya yang membantunya menata bunga-bunga.

“Kamu langsung berangkat?” Ela kembali bertanya sebelum meninggalkan Velin yang sudah sangat siap berangkat mengantar bunga.

“Iya. Lebih cepat lebih baik, bukan?” Senyum tipis tertera jelas di bibir Velin. Tidak terlalu tulus, tapi setidaknya mampu menghilangkan rasa khawatir orang lain terhadapnya.

Velin menghentikan pergerakan tangannya memasang helm saat dering telepon terdengar dan memekakkan telinga. Segera merogoh saku celana dan meraih benda pipih berwarna hitam itu.

Nama Gafa tertera jelas di layar ponselnya. Velin mengernyitkan keningnya dan menatap ke arah pintu toko. Kenapa Gafa menelepon? Bukankah lelaki itu ada di dalam?

Masalah baru!

“Halo!” Velin dengan sangat malasnya melemparkan satu kata yang terkesan datar.

“Mas ingin bicara.”

“Bicara soal apa? Aku harus kerja!” tukas Velin, masih mempertahankan suara datarnya.

“Vel, ini soal dua hari yang lalu ... maaf.” Suara Gafa di seberang telepon terdengar sendu.

Velin mendengkus kasar. “Apa Mas Gafa ingin membicarakannya di telepon?” tanya Velin. Awalnya ia tidak ingin membahas apa pun yang akan mengingatkannya pada luka karena ulah Sean. Namun, ia ingin tahu alasan kenapa Gafa tidak datang malam itu.

“Kafe depan toko. Kita bicara di sana.”

“Baiklah.” Velin mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Gafa.

Cairan kristal dari netra itu meluncur tanpa bisa ia bendung. Sepertinya luka akan terkoyak lagi. Apa jatuh dan cinta itu tidak bisa satu padu? Setidaknya dengan begitu, ia tidak akan terlalu menderita!

***

Sudah terlalu lama keduanya terdiam, bahkan sarapan telah tandas habis di atas piring. Tidak ada yang memulai pembicaraan, mungkin tepatnya Gafa terlalu ragu untuk berucap, meskipun sejuta kata telah menumpuk dan berdesakan di bibirnya. Sedang Velin, ia memang sengaja diam, dan menunggu Gafa untuk menjelaskan alasan di balik tidak datangnya lelaki itu.

Velin melirik jam di ponselnya. Mereka sudah lebih 10 menit di kafe itu, dan rasa bosan telah menggerogoti tubuhnya.

“Jika Mas Gafa tidak berniat mengatakan sesuatu, aku akan pergi. Pekerjaan menunggu.” Velin berdiri dari duduknya. Tas selempang kecil miliknya sudah menggantung di pundak.

“Tunggu!” Dengan cepat Gafa meraih tangan Velin membuat perempuan itu kembali duduk. Tidak mungkin ia membiarkan Velin pergi begitu saja, sedang dirinya belum menjelaskan perihal tentang tidak datangnya menjemput Velin tadi malam.

Mata indah milik Velin beradu pada mata elang Gafa. Untuk waktu yang lama ia terhipnotis hingga lupa jika dirinya sedang kesal terhadap Gafa.

“Mas khawatir. Kamu tidak bekerja selama dua hari. Ada apa? Apa karena malam itu mas tidak datang?” Gafa menatap intens wajah Velin.

Velin hanya diam tanpa menyahut.

“Mas benar-benar minta maaf. Miska tiba-tiba menelepon, orang tuanya meminta datang untuk makam malam.” Gafa berucap lancar.

Hati kecil nan rapuh milik Velin seolah hancur dalam sesaat. Sial! Terlalu egois!

“Tidak apa-apa, Mas. Tidak perlu minta maaf. Aku tidak punya hak untuk itu. Tapi setidaknya beri kabar! Karena keegoisan Mas, aku hampir ....“ Velin menggigit bibirnya kuat. Hampir saja ia keceplosan tentang kejadian yang menimpanya di diskotek waktu itu.

Tidak! Gafa tidak boleh tahu soal itu. Velin akan menyembunyikan secara rapat.

Gafa mengernyitkan keningnya saat kalimat Velin menggantung. Demi apa pun lelaki itu sungguh penasaran.

“Hampir apa?” tanya Gafa. Menggenggam tangan Velin kuat.

Velin menggeleng. “Lupakan saja.” Tangan mengibas di depan wajah sendiri. “Sebaiknya Mas kembali ke toko. Aku juga harus mengantar bunga. Tidak baik menunda terlalu lama.” Velin menampilkan senyum manisnya. Percayalah, senyum itu malah terkesan menyedihkan.

“Kamu bisa menerimanya?” tanya Gafa sebelum keluar dari kafe.

“Menerima soal apa?” Velin menatap fokus pada Gafa.

“Alasan yang mas berikan.”

Velin menepuk pundak Gafa pelan. Senyumnya masih belum luntur. “Aku enggak punya hak untuk marah atau menolak alasan itu. Mbak Miska adalah tunangan, Mas. Sedang aku? Aku cuma rekan kerja.”

Velin berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban Gafa lagi. Ia sengaja mempercepat langkahnya agar Gafa tidak melihat bulir air mata yang jatuh di pipinya.

Ada rasa sakit yang tidak bisa ia ungkap untuk saat ini. Tentang perasaannya terhadap orang yang telah menjadi milik orang lain.

Egois, bukan!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height