Wedding Deadlines/C2 Kesetaraan
+ Add to Library
Wedding Deadlines/C2 Kesetaraan
+ Add to Library

C2 Kesetaraan

Melamar Gibran lebih dulu katanya.

Usulan yang diberikan Tania masih bergema di dalam pikiran Amadea. Idenya tidak buruk. Bukan hal yang aneh juga untuk wanita modern untuk memulai langkah lebih dulu. Katanya kan perempuan dan laki-laki itu setara. Lelaki bisa membantu mengurus rumah dan perempuan bisa bekerja kantoran sekarang. Lalu soal lamaran, menurutnya kedudukan lelaki dan perempuan masih ada di titik yang sama. Orang tua zaman dulu selalu bilang kalau lelaki itu bisa maju duluan untuk mengajak menikah, sementara perempuan punya wewenang untuk memilih calon menurutnya tepat.

“Fran!”

“Ya?”

“Lihat dulu sini!” Amadea nyaris mendesis ketika lelaki yang duduk di sampingnya tidak juga menoleh. Lelaki itu masih asyik menekan tetikus dan menggencet tombol keyboard komputernya dengan ujung jari.

“Aku sibuk, De. Kamu ngomong saja, aku dengerin.”

“Sebentar saja, Fran.”

Lelaki itu mendengkus lalu membenahi letak kacamata sebelum akhirnya menoleh. Ekpresi masam menempel di wajahnya. “Mau ngomong apa? Minta beliin pembalut?”

“Dih, kok pembalut sih!” Rasanya aku ingin menyumpal mulut Ifran yang ember setengah mati itu.

“Ya, apalagi memangnya?”

“Kamu juga cuma dimintai tolong sekali saja segitunya. Diungkit-ungkit terus,” gerutu Amadea tidak terima.

“Wow, wow, wow, tahan dulu!” Ifran langsung menoleh. Terlihat benar-benar tidak terima dengan tuduhan Amadea barusan. Tangannya terangkat dan tertuju langsung pada Amadea. “Kamu lupa berapa kali kamu tembus kalau lagi menstruasi?”

“Diam!” pekik Amadea tidak terima dan langsung mengulurkan tangan untuk meraih kepala Ifran. Dia menjambak rambut pemuda itu hingga kepalanya miring dan nyaris melintasi pembatas kubikel.

“Kamu enggak boleh lupa kalau nyaris tiap bulan kamu tembus, Dea!” kata Ifran masih mencoba bertahan dari serangan yang dilancarkan Amadea.

“Iya, iya, aku tahu. Sekarang kamu diem!”

“Koreksi dulu statement kamu itu, baru aku diem.” Ifran ternyata tidak mau mengalah.

“Enak saja!”

“Kalau tidak mau maka aku enggak akan dengerin apa pun curhatan kamu sekarang dan bakalan nolak kalau kamu minta tolong beli pembalut nanti,” ancam Ifran.

Ancaman yang dilancarka Ifran membuat Amadea berpikir sejenak. Kalau sampai bocah tengik ini melakukan semua hal yang dia katakan maka dirinya yang akan bermasalah. Selain dia tidak akan memiliki lagi telinga yang mau mendengarkan, kehilangan seseorang yang bisa dimintai tolong beli pembalut itu agak mengerikan. Amadea memiringkan kepala dan melonggarkan cengkeramannya. Tetapi, mana mungkin Ifran berani melakukan semua ini padanya.

“Itu cuma gertakan,” tuding Amadea cepat.

“Kalau begitu aku akan sebarin kalau kamu sering maksa aku beliin pembalut di grup divisi kita lalu divisi lain agar semua orang tahu, terutama Mas Gibran biar sadar kalau pacarnya model begini.”

“Diem!”

Ifran kini mencoba mendongak dan menatap Amadea. Kelopak matanya melebar dan matanya memelotot seketika. Sudut bibirnya juga tertarik sedikit membentuk seringai. “Lepasin atau aku teriak sekarang juga.”

“Teriak saja!”

“Pemb—Argggghh!”

Tangan Amadea yang bebas langsung menarik daun telinga Ifran sebelum pemuda itu melanjutkan kata-katanya. “Diem enggak atau kupuntir.”

“Gila ya, jangan dong!”

“Makanya diem!”

Ifran akhirnya mengangguk pasrah. Setelah pemuda itu mengangkat dua tangan dan memohon untuk dilepaskan serta memberikan janji suci untuk mendengarkan cerita, Amadea melepaskan cengkeramannya.

“Kupikir bakal putus ini telinga,” ucap Ifran sambil mengusap daun telinganya yang memerah akibat kebrutalan Amadea beberapa menit lalu.

“Kan tinggal dijahit,” tukas Amadea ringan.

“Sembarangan!” Ifran mendengkus sebal. “Lagi pula, kalau aku enggak punya telinga maka siapa yang bakalan dengerin keluh, kesah dan sambatmu itu.”

“Kok kayak lirik lagu sih,” gumam Amadea.

“Buruan, kamu mau cerita apa. Aku sibuk, De.”

Amadea berdecak, tetapi tidak tersinggung dengan perkataan Ifran barusan karena dia memang membutuhkan pendapat pemuda itu. Selain itu, dia paham kalau Ifran tidak akan benar-benar marah padanya. Amadea berdeham pelan lalu menggeser kursinya hingga mendekati Ifran. Saat mereka berdesakan di kubikel sempit itu, Ifran mulai memberengut.

“Kamu harus gitu sampai geser ke sini?” tanyanya.

“Harus, karena ini top secret yang menyangkut hidup dan matiku.”

“Kamu sakit berat, sebentar lagi mati?” Ifran menutup mulutnya dengan satu tangan.

“Hush! Sembarangan!” Amadea ingin menjitak kepalanya, tetapi gagal dilakukan karena Ifran sangat sagap melindungi kepalanya.

“Kamu jadi cerita enggak sih?”

“Jadi dong, ini baru mau cerita,” tukas Amadea sambil memaksa bibirnya membentuk senyuman yang paling ramah.

“Ya, buruan.”

“Iya, iya, bawel!” Amadea menarik napas pelan lalu mengembuskanya. “Menurut kamu, cewek yang menyatakan cinta lebih dulu itu gimana?”

Mata Ifran langsung membola. “Kamu selingkuh dari Mas Gibran?”

“Ya, enggaklah. Sembarangan!” pekik Amadea.

“Lalu, kenapa nanya kalau kamu enggak selingkuh?” Ifran kembali bertingkah menyebalkan.

“Akukan belum mulai ceritanya, Fran—”

“Itu nanya, kok bisa belum mulai ceritanya?” potong Ifran cepat.

Gigi Amadea bertaut, makhluk satu ini memang paling pintar membuatnya sebal. Meski dia berulang kali membisikkan mantra untuk dirinya sendiri agar bersabar, tetapi Ifran ini tetap saja membuatnya stok kesabaran yang susah payah disimpannya langsung menipis.

“Kamu tinggal jawab saja kok ribet bener sih, Fran. Kan ini nanya dulu nanti aku lanjutin ceritanya.”

“Sabar dong, kamukan butuh telingaku yang berharga ini,” katanya sembari sok-sok menyelipkan rambut ke daun telinga. Tingkahnya itu lagi-lagi sukses membuat Amadea sebal.

“Jawab yang tadi, kamu keberatan enggak kalau cewek menyatakan lebih dulu?”

“Enggak lah, itu hak dia untuk menyatakan cinta.” Ifran kemudian mengulurkan tangan untuk meraih mug di pojok meja.

Meski sudah menduganya karena dia tahu kalau Ifran lebih terbuka pikirannya dan tidak kolot, tetapi pernyataan langsung dari bibir pemuda itu tetap membuatnya sedikit lega. Artinya tidak masalah kalau perempuan menyatakan cinta lebih dulu dan seperti kata Ifran, setiap orang berhak menyatakan cinta. Terlepas dari gender atau status sosial atau apa pun. Sekarang bukan waktunya lagi untuk malu menyatakan perasaan, apalagi malu karena menyukai seseorang lebih dulu. Katanya manusia tidak bisa mengatur perasaan dan cinta jadi seharusnya memang tidak masalah.

“Oke, enggak masalah kan buat menyatakan cinta duluan?” ulang Amadea.

“Iya, enggak masalah.”

“Kamu percaya kesetaraan gender, kan?” ucap Amadea melanjutkan pertanyaannya.

“Enggak terlalu sih.”

Amadea mendecakkan lidah. “Pria dan egonya.”

“Ya, enggak perlu ngehina juga, De!”

“Maaf-maaf.”

“Buruan, jangan bertele-tele!” sahut Ifran sambil menempelkan mug ke bibirnya.

“Kalau pria bisa memaksa menikah dengan menghamili cewek duluan, maka enggak masalah kan kalau perempuab menodai pria duluan biar bisa nikah?”

Rasanya seperti mengalami de javu ketika Ifran menyemburkan cairan yang masih ada di mulutnya langsung ke wajahnya. Dia mengerjap dan menatap Ifran yang kini juga terlihat sama shocknya dengan dirinya. Cairan bercampur air liur kini menetes melewati dagunya saat Amadea mengusap pipinya. Setelah satu usapan, dia menurunkan tangan. Tatapannya kini tertuju pada cairan lengket yang kini menempel di telapak tangannya. Amadea langsung memelototkan mata dan memandangi rekan kerjanya.

“Ifran—"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height