Wedding Deadlines/C3 Pertanda
+ Add to Library
Wedding Deadlines/C3 Pertanda
+ Add to Library

C3 Pertanda

Setelah terkena semburan maut dari mulut Ifran, Amadea langsung mencuci muka. Sialnya, cipratan kopi bercampur liur itu juga mengenai kemeja putihnya. Padahal kemeja itu baru dibelinya dari uang gajian bulan lalu.Tangan mengepal, dia akan membunuh Ifran dan memultilasinya sesegera mungkin.

“Maaf, maaf, De. Aku enggak sengaja.” Ifran buru-buru meraih tisu dan menyodorkannya pada Amadea ketika dia baru saja sampai di meja kerjanya.

“Maaf, maaf, kotor ini, Fran!” sahutnya ketusnya, tetapi masih menerima tisu pemberian Ifran dan mengusap tangannya. Dia benar-benar mencoba mengabaikan keinginannya untuk menggulung tisu dan menyumpalkannya ke lubang hidung pemuda itu.

“Aku enggak sengaja, serius.”

“Kalau kamu sengaja maka kamu bakalan kucincang pakai golok milik Bapak tukang kebun.”

“Serem, De. Jangan gitulah, maklumi ya. Kan aku kaget sama pertanyaanmu.”

“Tapi, enggak perlu nyembur juga kali, Fran. Memangnya kamu ular!”

“Habisnya pertanyaanmu itu aneh. Aku sebagai pria tulen yang masih suci dan bersih ini jadi takut.” Ifran buru-buru merangkulkan tangannya di bagian depan tubuhnya. Entah apa yang ingin dilindungi olehnya mengingat hal paling vital bagi pria tidak terletak di sana, harusnya di lokasi lain.

“Kamu nga—ngapain ngelihatin ke sini?” Ifran langsung menaruh tangannya di area yang ada di antara dua kakinya.

“Hah?”

“Hah, apa? Jangan bilang kamu lagi nyusun rencana buat menodaiku,” tuduh Ifran berapi-api dan cengkeraman tangannya di area tersebut terlihat lebih erat dari sebelumnya.

“Geer!”

“Gimana enggak geer kalau kamu lihatnya ke sini?”

“Aku cuma lagi mikir bukan lagi ngelihatin kamu,” elaknya.

“Bohong!”

“Terserah kamu mau percaya atau enggak,” sahut Amadea sambil mengangkat bahu tidak peduli.

Dia memang tidak melakukan hal yang dituduhkan oleh Ifran, jadi tidak merasa harus menjelaskan lebih jauh atau meyakinkan pemuda itu. Toh, manusia itu makhluk yang memilih sendiri hal yang dia percayai. Meski dia menjelaskan sampai berbusa sekalipun kalau Ifran memilih percaya pada asumsinya maka semuanya percuma saja.

“Oke deh. Tapi, kamu serius sama pertanyaan yang tadi?” Ifran masih memandanginya dengan ekspresi takut-takut.

“Iya. Kan kamu percaya kesetaraan gender. Kan katanya jalan paling pintas untuk memaksa menikah itu dengan hamil duluan. Nah, aku enggak mau hamil duluan buat nikah.”

“Lalu, buat apa kamu memperkosa kalau enggak mau hamil?”

Amadea memiringkan kepalanya sedikit. “Aku pengen menodai Gibran hingga dia enggak punya punya pilihan selain nikah sama aku.”

Ifran awalnya mengerjap lalu tawanya meletup seketika. Pemuda itu bahkan tidak peduli kalau rekan kerja di ruangan ini terganggu dengan suara tawanya yang menggema. Tidak ingin mendapatkan lebih banyak perhatian, Amadea langsung menyumpal mulut Ifran dengan segulung tisu. Tindakan yang membuat pemuda itu tersedak dan tawanya terhenti seketika.

“Sudah berhenti tertawanya?” ucap Amadea begitu Ifran meremas tisu yang tadi disumpalkan paksa ke mulutnya.

“Kan kamu paksa, De.”

“Terus gimana menurut kamu soal tadi?”

“Soal kamu mau memperkosa Mas Gibran buat nikahin kamu?” tanya Ifran sembari membuang gumpalan tisu ke dalam tempat sampah.

“Iya.”

“Aneh tahu, De!”

“Kok aneh?”

“Kan kamu enggak mau hamil. Kalau kamu nekat memperkosa Mas Gibran yang ada kamu yang hamil, De. Kamu lupa kalau laki-laki enggak bisa bunting?”

Amadea mengangguk membenarkan. “Iya juga sih.”

Kalau dia nekat memperkosa Gibran maka yang ada dia yang mengandung. Padahal dia paling anti hamil duluan sebelum menikah. Dia memang mau menikah, tapi soal anak dipikir-pikir nanti.

“Kalau misalnya aku melamar duluan gimana?”

“Enggak jadi menodainya?”

Amadea menggeleng. “Sepertinya solusi itu enggak masuk akal.”

“Kamu segitu kebeletnya nikah ya, De?”

“Eh, enggak dong. Aku kan cuma nanya.”

“Tapi, pertanyaanmu ini soal pernikahan lho.”

Amadea menarik napas berat. Dia memang ingin menikah dan mungkin orang lain mengganggapnya kebelet kawin. Terserah orang lain bilang apa tentangnya, faktanya dia tidak ingin menyentuh kepala empat baru menikah. Menurutnya para pria itu mirip wine, semakin matang maka makin menarik dan menggoda. Jadi, tidak masalah jika Gibran ingin menikah ketika usianya mencapai kepala lima sekalipun. Sedangkan perempuan itu ibarat bunga yang mekar dan mengundang kumbang untuk datang. Masalahnya masa mekar bunga ini memiliki batas waktu. Makin lama maka akan semakin layu, tidak menarik lalu jatuh ke tanah sebelum akhirnya dilupakan. Jadi, sebelum dirinya layu dan terlupakan, dia harus segera menikahi Gibran.

“Dea!”

“Aku tahu kok, Fran. Kamu benar soal aku yang ingin menikah,” kata Amadea akhirnya. Dia menarik napas berat dan mengembuskannya.

“Wajar sih. Siapa juga ornag pacaran yang enggak pengen menikah.”

“Nah, iya. Apalagi aku sama Gibran sudah pacaran tujuh tahun, nyaris satu windu coba. Masa sampai sekarang Gibran belum juga melamar?”

“Iya, sih. Bagian ini agak aneh juga, De. Kalian enggak ada masalah, kan?”

Amadea menggeleng. “Aku enggak ada masalah apa-apa sama Gibran.”

“Agak aneh juga ya, De.”

“Entahlah. Makanya aku pengen ngajak Gibran nikah duluan.”

“Maksudnya kamu yang ngomong duluan?” Kali ini suara Ifran lebih antusias dari sebelumnya.

“Benar. Enggak masalah juga kan kalau perempuan melamar pria duluan?” tanya Amadea akhirnya.

“Kalau aku sih enggak masalah. Kan aku juga ingin nikah jadi yang ngomong siapa duluan bukan masalah, yang penting tujuannya.”

“Nah, iya. Benar begitu.” Amadea langsung menyatukan kedua tangannya. Benar-benar merasa kalau Ifran sepenuhnya ada di pihaknya.

“Lagi pula, kalau cewek yang melamar duluan aku jadi menghemat pengeluaran.”

“Yeee, bukan begitu, Fran. Jangan duit mulu dong!”

Ifran terkekeh pelan. “Just kidding, De.”

“Terus gimana?”

“Bukan masalah sih. Kamu bisa coba buat ngomong sama Mas Gibran. Siapa tahu tindakan kamu ini jadi solusi buat masalah pernikahan kamu.”

“Kamu benar. Aku akan coba nanti, kamu bantuin, ya!”

Ifran mendengkus lalu membuang muka. “Kan janjiannya minta didengerin doang, bukan minta bantu.”

“Jangan pelit gitu lah, Fran!” Amadea sekarang melingkarkan lengannya di leher Ifran untuk memaksa pemuda itu membantunya.

“A—aku bi—bisa mati—akhh—"

“Biarin. Pokoknya kamu bantu aku.”

“Bantu apa, Amadea?”

Amadea yang masih fokus untuk menganiaya Ifran langsung mendongak ketika mendengar namanya disebut. Matanya seketika membola ketika menemukan orang yang bertanya dan menyapanya. Gibran kini memiringkan kepala dan menatapnya lekat-lekat.

Ketika menemukan pacarnya kini sedang memperhatikannya, Amadea buru-buru melepaskan tangannya dari leher Ifran. Dia kemudian mencoba berdiri tegak dan menenun senyuman paling manis yang bisa dibentuknya.

“Bu—bukan apa-apa kok.”

Namun, sepertinya Gibran tidak percaya. Lelaki itu hanya mengangkat alis dan berdeham pelan. “Aku cuma mau nganterin ini.”

Amadea mengulurkan tangan ketika Gibran mengangsurkan totebag berwarna abu-abu padanya. “Apa ini?”

“Titipan dari Mama buat kamu.”

Eh, titipan dari mamanya Gibran?

Dari calon mertua dong. Tumben sekali. Apakah ini pertanda kalau ini lampu hijau untuk menikahi Gibran secepatnya?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height