Wedding Deadlines/C5 Kapan dilamar?
+ Add to Library
Wedding Deadlines/C5 Kapan dilamar?
+ Add to Library

C5 Kapan dilamar?

Lewat pukul tujuh malam, Amadea sampai di depan rumah. Gibran tidak mengantarnya pulang hari ini karena katanya harus mengantar mamanya membeli keperluan untuk acara di akhir pekan. Jadi, Amadea bisa pulang baik ojek online. Lagi pula, dia masih ada pekerjaan setelah pemuda itu pulang.

Dia bergerak masuk ke dalam rumah dengan titipan totebag di tangan. Karena tenggorokannya kering, dia langsung bergerak ke dapur. Mamanya yang sedang mempersiapkan makan malam kini menoleh padanya.

“Baru pulang, De?” tanyanya.

“Iya, Ma.”

“Sendirian atau sama Gibran?” tanya Mama lagi.

“Sendirian, Ma. Gibran ada acara di rumah jadi sibuk anter mamanya gitu.”

Mama hanya menjawab dengan ‘oh’ pelan lalu mengangguk paham. Mungkin tidak ingin menanyakan lebih lanjut soal ini. Namun, pandangannya kini beralih pada totebag yang dibawa oleh Amadea.

“Itu apa, De?” tanya Mama begitu aku menaruh totebag titipan dari ibunya Gibran di meja dapur, sementara Amadea meraih gelas untuk minum.

“Rendang dari mamanya Gibran, Ma,” sahutnya setelah menuangkan air ke dalam gelas dan bersiap untuk minum.

“Oh.

“Lumayan Ma, buat tambahan lauk,” katanya sambil bersiap-siap untuk minum.

“Iya sih, cuma kalau calon mertuamu saja sering nitipin makan begini kapan kira-kira kamu dilamar?”

Air di dalam mulut Amadea nyaris menyembur keluar. Dia hanya bisa menahannya sedikit karena air putih itu meluber di permukaan mulutnya. Amadea terbatuk dan hidungnya mendadak pengar. Dia menaruh gelas dengan tangan gemetar dan mengusap permukaan bibirnya yang belepotan.

“Hubungannya apa coba, Ma?” protesnya.

“Ya, ada dong hubungannya. Masa nitip makanan terus, tetapi enggak melamar?”

Amadea mengembuskan napas berat. Ini bukan pertama kalinya mamanya membahas soal kebiasaannya calon mertuanya ini. Meski begitu, dia tetap saja takjub dengan cara perempuan itu mencocokkan setiap kejadian menjadi lamaran dan penikahan. Mungkin itu sejenis usaha agar dirinya segera menikah, tetapi mamanya mungkin lupa kalau dirinya tidak bisa menikah sendirian dan tidak gunanya mendesaknya lebih jauh karena kendali bukan di tangan perempuan.

“Mama tahu juga kan kalau aku juga mau nikah?” ucapnya dengan suara parau.

“Tahu.”

“Nah.”

“Tapi, mau nunggu sampai kapan, De. Sebenarnya Gibran serius enggak sih?”

Gibran serius, dia yakin itu saat hubungan ini berjalan lebih dari satu tahun. Namun, menginjak tahun ketiga, Amadea mulai tidak yakin. Dia juga mempertanyakan hal yang sama. Lalu pertanyaan itu mengendap di benaknya hingga beberapa tahun belakangan. Sayangnya, pertanyaan itu tidak pernah menemukan jawaban. Dia serius dengan hubungan ini dan Gibran mungkin juga sama. Namun, kembali lagi semua ini hanya perkiraannya saja. Bukankah hubungan percintaan itu dilakukan oleh dua orang dan orang-orang yang terlibat harusnya memiliki pemikiran yang sejalan?

“Serius dong, Ma,” kata Amadea akhirnya. Mungkin ini hanya salah satu dusta untuk menyelamatkan muka, tetapi dia tidak punya pilihan lain.

“Kalau serius kenapa enggak buru-buru dilamar?”

“Mungkin Gibran masih pikir-pikir, Ma. Kan nikah itu enggak gampang, banyak hal yang harus dipertimbangkan.”

“Memangnya mikir apalagi, kalian sudah pacaran delapan tahun jadi mau nunggu sampai kapan?”

Kali ini Amadea terdiam. Dia tidak menemukan alasan yang tepat untuk berkelit karena pertanyaan itu seperti bergema di dalam pikirannya dan memberikan tamparan telak pada semua hal yang diyakininya soal Gibran. Benar kata mamanya, sudah pacaran lebih dari satu windu, tetapi hubungan itu tidak pernah dibawa ke mana-mana. Jadi, layakkah dia mengatakan kalau Gibran memang serius dengan perasaannya? Bagaimana kalau selama ini hanya dirinya yang menganggap hubungan ini dibangun dengan tujuan membangun masa depan bersama, tetapi Gibran tidak memiliki harapan yang sama?

“De?”

Amadea menarik napas lalu mengembuskannya lagi. “Aku enggak tahu, Ma.”

“Kalau kamu enggak tahu maka kamu bisa tanya langsung ke Gibran.”

“Tanya soal apa?”

“Ya, soal hubungan kalian mau dibawa ke mana?”

“Iya sih.”

“Kamu sudah coba tanya Gibran soal ini?”

Amadea menggeleng, dia memang belum menanyakan soal hubungannya dengan pacarnya itu. Bukan karena tidak punya keberanian untuk menanyakan soal ini, tetapi rasanya aneh saja. Kalau diumpamakan hubungannya dengan Gibran itu mirip kereta yang akan melewati jalur tertentu tanpa berpindah lokasi tujuan. Jadi, akan sangat aneh kalau tiba-tiba ada yang bertanya apakah kereta itu akan berpindah rel.

“Tanya dong, De!” desak mamanya lagi.

“Aku coba tanya nanti, Ma.”

“Jangan dicoba, tapi beneran tanyain. Kalau kamu enggak bisa tanya maka biar Mama yang tanya langsung sama Gibran.”

“Iya, iya, nanti aku tanya. Mama jangan ngomong apa-apa sama Gibran, oke?” ucapku mencoba bernegoisasi.

“Oke. Tapi, nanti kasih tahu Mama hasilnya!” sahut Mama masih dengan nada memaksa.

“Pasti, Ma.” Amadea kini menatap mamanya lekat-lekat. “Tapi, aku gak janji bisa menghasilkan apa pun dari pertanyaan itu, ya.”

“Kenapa?”

“Mama kan juga tahu kalau kendali soal pernikahan itu enggak pernah ada di tangan perempuan. Aku cuma bisa nanya, tapi enggak bisa lebih jauh.”

“Iya, tanya dulu, De.”

“Oke. Sekarang, aku mau mandi dulu, lengket dan bau ini,” keluhnya sembari mengangkat lengannya sedikit dan mengendus ketiaknya.

Perempuan itu mengangguk. Setelah mendapatkan persetujuan dari mamanya untuk naik ke kamar, Amadea bergegas menjauh. Berada di dekat-dekat mamanya yang sedang bersemangat membicarakan hubungannya bukan pilihan yang bijak. Perempuan itu pasti akan mendesaknya lebih jauh dan membuatnya merasa jika hubungannya dengan Gibran tidak benar-benar baik-baik saja. Padahal dia sendiri tidak merasa memiliki masalah. Kadang pengaruh orang luar ini membuat seseorang merasa kalau dirinya, hubungannya atau pilihannya jadi terasa sangat salah. Salah juga jika terlalu memikirkan pendapat orang lain, hanya saja pertanyaan yang dilontarkan mamanya membuatnya memikirkan ulang banyak hal.

Amadea bergerak menapaki anak tangga dengan cepat kemudian mendorong pintu kamarnya. Setelah menaruh tas kerjanya, dia membanting tubuh di atas permukaan ranjang. Dia membiarkan kakinya menjuntai ke lantai sementara separuh tubuhnya di atas permukaan kasur. Amadea menarik napas berat lalu mengembuskannya dengan sangat perlahan, benar-benar berharap kalau dengan cara ini maka rasa sesak di dadanya akan sedikit berkurang. Matanya menatap langit-langit kamarnya, mengamati hiasan yang bentuknya mirip dengan kupu-kupu raksasa di permukaannya. Dulu dia memilih motif itu ketika kamarnya direnovasi karena hewan ini cocok untuk menggambarkan dirinya yang terus berjuang untuk mendapatkan hal yang dia inginkan.

Tangan kirinya terulur ke atas. Dia mengamati jari-jarinya yang kosong tanpa satupun perhiasan. Dia memang tidak begitu suka memakai barang berharga, tetapi dia berharap ada satu barang berharga yang tersemat di jari manisnya. Barang berharga yang mengikat jari manis teman-teman sejawatnya, tetapi tidak kunjung didapatkannya. Dia mungkin hanya memilih untuk diam saja, tetapi sebenarnya dia juga berharap kalau cincin itu segera melingkari jarinya. Masalahnya kalau Gibran tidak segera memberikannya untuknya maka dia jelas tidak bisa memaksa. Namun, benar seperti kata mamanya, mau menunggu sampai kapan?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height