Wedding Deadlines/C6 Keputusan Papa
+ Add to Library
Wedding Deadlines/C6 Keputusan Papa
+ Add to Library

C6 Keputusan Papa

Pertanyaan dan desakan mamanya menyisakan banyak hal yang harus dipikirkan. Awalnya, Amadea tidak ingin ikut makan malam, tetapi dia lapar. Lagi pula, menghindari seseorang hanya karena tidak menyukai pendapatnya itu bukan solusi bijak untuk menyelesaikan masalah. Sikap semacam itu pengecut dan kekanak-kanakkan.

Saat dia bergerak turun setelah selesai membersihkan badan, semua orang sudah ada di meja makan. Ada Mama, Papa dan adik perempuannya, Amara. Mama mungkin tidak lagi memikirkan soal pertanyaan tadi, padahal Amadea sudah sangat pusing memikirkan semua tuntutan itu.

“Mbak Dea kok lama?” tanya Amara ketika Amadea menarik salah satu kursi untuk duduk.

“Iya, mandi dulu tadi.”

“Nah, ini ada titipan rendang dari Gibran,” kata Mama sambil menunjuk rendang yang kini sudah ada di piring.

“Kok Mas Gibrannya enggak ikut makan ke sini?” Amara menimpali sambil menyendok sepotong rendang dari piring.

“Katanya lagi sibuk acara di rumah, makanya enggak mampir,” tukas Amadea sembari memindahkan satu centong nasi ke piringnya.

“Oh.”

“Kamu sendiri enggak ajak Ibram ke sini?” tanya Amadea mencoba mengalihkan obrolan.

Kalau soal pacar kan Amara juga punya, jadi tidak harus pacarnya yang ditanyai keberadaannya. Lagi pula, Amara juga senang membanggakan pacarnya yang bekerja di perusahaan deodorant terkenal itu. Gajinya saja dua digit, padahal belum lama bekerja.

“Ah, soal Mas Ibram, katanya mau ke sini malam Minggu, Ma. Apa boleh?”

Mama yang tengah menyuapkan makanan langsung menatap Amara. “Biasanya juga enggak pakai izin. Kenapa harus izin segala?”

Amara kini tersenyum. Tangannya kirinya kini menyentuh pipi. Tindakan yang agak tidak umum dilakukan di meja makan seolah-olah gerakan itu memang ada tujuannya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Amadea untuk tahu tujuan adik perempuannya melakukan tindakan ganjil seperti itu. Ternyata Amara sedang memamerkan cincin di jari manisnya.

Melihat cincin itu membuat perutnya mendadak melilit, perasaannya jadi tidak enak. Selera makannya langsung surut seketika. Amadea kini mengalihkan pandangan sambil berdeham pelan. Kalau sudah membahas soal pernikahan maka dirinya yang akan dicecar oleh orang tuanya. Apalagi Amara sudah cukup dewasa untuk menikah, sedangkan dirinya sudah pacaran delapan tahun tetapi tidak kunjung dilamar.

“Mas Ibram mau bahas persoalan yang lebih serius, Ma.”

“Persoalan tentang apa?” Kali ini Papa yang menimpali.

Amara tersenyum simpul. “Mas Ibram mau ngajak aku nikah, Pa.”

Ah, sial. Bom akhirnya dijatuhkan, tinggal menunggu ledakannya saja. Amadea ingin pergi dari meja makan secepatnya, tetapi dia makanan di piringnya bahkan belum berkurang separuhnya. Dia makin tidak punya alasna untuk pergi. Karena kalau kabur sekarang maka buntutnya akan panjang. Dari dibilang menghindari masalah, sakit hati, tidak terima sampai marah. Tentunya dia malas berurusan dengan buntut yang panjang ini.

Papa dan Mama sendiri tidak langsung menjawab. Kalau Mama mungkin menunggu Papa untuk memberikan jawaban karena statusnya sebagai kepala keluarga. Sedangkan Papa tetap diam masih jadi misteri. Sedang memilih kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung Amadea yang kini membisu dengan kepala menunduk atau memang masih ingin makan dan belum mau bicara. Yang mana pun itu, Amadea tidak bisa memastikan jawabannya.

“Memangnya kamu sama Ibram sudah mantap buat nikah, kan pacarannya belum ada setahun?” tanya Papa akhirnya.

“Ya, sudah dong, Pa. Makanya mau nikah karena sudah siap. Pekerjaan Mas Ibram juga sudah mapan, aku juga sudah kerja, jadi mau nunggu apalagi?” Amara langsung sigap menjelaskan.

“Iya juga sih. Tapi, kamu kan baru dua puluh tiga tahun, Ra. Baru setahun lulus kuliah, kenapa enggak nunggu dulu?”

“Nunggu sampai kapan?”

“Nunggu sampai kamu siap.”

“Aku sama Mas Ibram udah siap, Pa. Jadi mau nunggu sampai kapan? Masa iya, kami diminta nunda sampai pacaran delapan tahun dan usia hampir kepala tiga?”

Perkataan Amara langsung membuat Amadea tersengat. Dia menatap adik perempuannya lekat-lekat. “Maksud kamu apa, Ra?”

“Gak bermaksud apa-apa, cuma kasih contoh saja soal efek buruk pacaran kelamaan dan nunggu lamaran sampai lumutan kayak Mbak Dea,” tukas Amara ketus.

Tangan Amadea meremas gagang sendok, napasnya tersengal. Dia ingin marah, tetapi masih mencoba menahan diri. Ada orang tuanya di meja makan, jadi rasanya tidak bijak kalau sampai bertengkar di sini.

“Kamu pikir, aku juga mau pacaran delapan tahun dan nunggu sampai umur tiga puluh tahun?” Amadea bertanya dengan suara tertahan.

“Ya, kalau begitu minta Mas Gibran buat lamar lah dong, Mbak!”

“Memangnya lamaran dan nikah semudah itu?”

“Nyatanya aku sama Mas Ibram sudah mantap mau nikah padahal baru pacaran setahun. Yang perlu dipertanyakan itu soal Mbak Dea dan Mas Gibran, bukan soal aku atau Mas Ibram,” tukas Amara sengit.

“Tapi—”

“Sudah, sudah,” potong Mama cepat. “Kita masih di meja makan, enggak baik kalau berantem di sini.”

Papa berdeham pelan kemudian menatap Amara lekat-lekat. “Gini Amara, Papa enggak masalah kalau kamu nikah secepatnya sama Ibram—"

“Kalau begitu, Sabtu malam nanti Mas Ibram bisa ke sini kan, Pa?” Amara langsung memotong perkataan Papa bahkan sebelum untaian kalimat itu selesai diucapkan.

“Boleh.”

Jawaban yang diberikan Papa membuat jantung Amadea mencelos. Kalau Ibram sampai datang ke sini dan bahas soal lamaran, maka entah apalagi yang akan terjadi padanya. Kepalanya menunduk dalam sementara matanya memandangi butiran nasi di piring. Tidak ada yang bisa dilakukan kalau Papa sudah berkehendak.

“Eh, beneran, Makasih, Pa.”

“Iya, tapi main biasa saja ke sini. Bukan bahas lamaran.”

Perkataan Papa membuat Amadea mengalihkan perhatian dari butiran nasi di piringnya. Kali ini dia kembali menatap Amara. Bibir gadis itu berkedut pelan sementara ekspresi wajahnya terlihat tidak senang dengan keputusan yang diberikan Papa barusan.

“Kok gitu? Ya, enggak bisa dong, Pa,” tukas Amara tidak terima.

“Ya, bisa. Buat kamu sama Ibram, kalau mau bahas lamaran atau nikah maka tunggu kakakmu dulu, jangan melangkahi!”

“Tapi, itu enggak adil, Pa. Mau nunggu sampai kapan?”

“Ya, tunggu sampai aku nikah dulu,” sahut Amadea mencoba memberikan serangan balasan karena merasa di atas angin.

“Gak bisa gitu dong. Masa yang mau nikah aku, tapi kudu nunggu yang gak nikah-nikah. Aneh banget!”

“Keputusan Papa sudah bulat. Kalau Amara mau nikah maka harus nunggu kakaknya dulu.”

Amadea tidak bisa menyembunyikan senyuman kemenangan meski wajah Amara kini menekuk. Matanya juga menyorot tajam penuh kebencian kepadanya.

“Tapi, Amadea juga harus secepatnya ngomongin soal pernikahan sama Gibran.”

Kata-kata terakhir Papa membuat senyuman Amadea langsung pupus. Sementara itu, Amara kini mengangkat kedua alisnya. Mungkin gadis itu sedang berpikir, kalau sekarang dirinya ada di kapal yang sama dengannya. Amara harus menahan diri untuk tidak segera menikah, sementara dirinya harus menahan kesabaran kalau desakan untuk menikah akan lebih gencar dari sebelumnya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height