C7 Ajakan untuk Menikah
Hari ini, Amadea memutuskan untuk menemui Gibran. Satu-satunya cara untuk lepas dari situasi ini adalah berbicara dengan pacarnya. Tekanan untuk menikah semakin tidak bisa ditahan. Selain itu, rasanya orang tuanya benar, di usia seperti dirinya sekarang lalu sudah lama pacaran maka setidaknya pernikahan harus dibicarakan. Kalau Gibran tidak membahasnya, maka tidak ada salahnya dirinya yang memulai. Bukankah tidak ada aturan resmi kalau pria yang harus melamar perempuan duluan? Kalau menikah itu harus dilakukan dua orang, maka melamar juga harusnya aturannya sama, bisa dilakukan oleh salah satunya.
Amadea meremas tangannya dengan gelisah saat menunggu Gibran datang. Biasanya dia tidak segelisah ini, tetapi hari ini rasanya berbeda. Dia benar-benar gelisah mungkin karena akan mengajak Gibran membicarakan hal yang penting. Hal yang mungkin tabu dan tidak masuk akal. Dia juga harus siap kalau Gibran nanti kaget atau memberinya tatapan aneh.
“Enggak masalah, Dea. Ini gunanya emansipasi. Tidak ada salahnya perempuan mengajak pacarnya menikah duluan.”
Matanya mengamati sekeliling. Beberapa pengunjung sudah duduk bersama pasangannya. Hanya dia seorang yang masih sendirian karena Gibran belum juga datang. Mungkin karena restoran yang dia datangi adalah restoran romantis dengan suasana yang hangat dan intim hingga membuat banyak pasangan memilih menghabiskan waktu di tempat ini. Selain itu, mungkin banyak pasangan merasa nyaman karena tempat ini menyediakan beberapa meja yang diletakkan dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain untuk memberikan privasi bagi para tamu.
Restoran ini terletak di sebuah gedung tua dengan dinding batu bata dan lantai kayu yang membuat suasana menjadi semakin klasik dan vintage. Terdapat beberapa lilin kecil yang diletakkan di atas setiap meja yang memberikan pencahayaan yang lembut dan romantik. Di bagian tengah restoran, terdapat sebuah lampu gantung yang besar dengan cahaya yang redup yang membuat suasana menjadi semakin romantis. Suasana restoran yang sepi dan tenang, diiringi dengan musik klasik yang lembut, memberikan suasana yang sangat romantis dan cocok untuk mempererat hubungan
Menu yang disajikan di restoran ini terdiri dari berbagai macam hidangan khas Italia dengan bahan-bahan segar dan berkualitas tinggi. Amadea memesan hidangan pasta favorit pacarnya dengan saus tomat yang kaya akan rempah-rempah, serta sepiring hidangan daging sapi panggang dengan bumbu rahasia dari restoran ini. Namun, Gibran belum juga datang.
Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan. Gibran hanya terjebak macet, pria itu sudah mengatakannya di telepon lima belas menit lalu. Selain itu, pria itu juga belum tahu topik obrolan yang hendak dibicarakan Amadea hari ini. Jadi, pacarnya tidak akan mungkin bisa membuat alasan di jalan hanya untuk menolaknya.
Sekitar dua belas menit setelahnya, Amadea menarik napas lega ketika Gibran muncul di pintu restoran. Pria itu melemparkan senyuman kemudian berjalan mendekatinya. Amadea juga langsung berdeham pelan dan mencoba ikut tersenyum meski perasaannya mulai tidak karuan. Padahal pria yang datang itu pacarnya sendiri yang ditemui hampir setiap hari di kantor dan berkencan saat akhir pekan tiba. Bukan seseorang yang baru dan aneh.
“Sudah lama nunggu ya, Sayang?” tanya Gibran sambil menarik kursi dan menaruh pantatnya di sana.
“Lumayan. Macet, ya?” tanya Amadea mulai berbasa-basi.
“Iya. Weekend jadi jalanan macet.”
“Ah, iya sih.”
“Ngomong-ngomong kamu romantis banget. Sampai ngajak makan di sini segala!” kata Gibran sambil mengamati sekeliling.
“Tumben ya?”
“Iya,” kata Gibran membenarkan.
“Ya, sekali-kali,” Amadea terkekeh pelan. Dia sangat berusaha menutupi kegugupan.
“Tapi, aku suka. Makasih ya, Sayang.”
Amadea hanya mengangguk lalu tersenyum. Dia juga menyelipkan helain rambutnya dengan gugup. “Makan dulu yuk, keburu dingin.”
“Iya nih, kebetulan aku lapar.”
Amadea menarik sendok dan garpu dengan tangan sedikit gemetar. Dia mencoba menikmati hidangan dengan santai dan tidak terlihat gugup. Iya, benar. Tidak ada yang perlu ditakutkan, dia hanya perlu menyenggol sedikit soal pernikahan, Gibran mungkin juga akan setuju. Sudah pacaran bertahun-tahun, masa tidak mau menikah.
“Sayang, aku mau ngomong,” ucap Amadea memulai.
“Ngomong apa?” Gibran yang tengah memuntir pasta di piringnya kini mendongak.
“Ini sesuatu yang serius,” ucapnya dengan suara serak.
“Oke, seserius apa?” tanya Gibran sambil tersenyum simpul.
“Tapi, aku takut,” gumam Amadea jujur.
“Kecuali besok dunia kiamat maka seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan.”
“Baiklah, itu membuatku merasa lebih baik.” Amadea tertawa pelan. Kecuali dunia kiamat kan, jadi hal-hal seperti pernikahan seharusnya bukan hal yang mengerikan.
“Jadi, mau ngomong soal apa, Sayang?”
“Ini soal hubungan kita.”
“Oke, kenapa sama hubungan kita? Kurasa tidak ada yang salah sejauh ini.”
“Bukan soal kita sih, tapi semacam faktor eksternal yang berkaitan.”
“Oke.”
“Ayah dan ibuku mulai mengomel tentang pernikahan lagi,” kata Amadea dengan raut wajah sedih. “Mereka ingin aku segera menikah dan memberikan cucu padanya.”
Gibran mengernyitkan dahi. “Tapi, kamu belum siap untuk menikah, kan?”
Amadea menggeleng. “Sejujurnya belum. Aku menyukai hubungan kita selama ini dan tidak menemukan alasan untuk menikah secepatnya.”
“Nah, ya sudah. Case closed. Kita nikmati hubungan ini saja asal kita bahagia dan abaikan saja omongan orang lain,” kata Gibran menimpali.
“Gibran, apakah kamu tidak ingin menikah denganku?”
Gibran terlihat terkejut. Pria itu berdeham pelan sambil mengamati Amadea lekat-lekat. “Apa? Maaf, aku tidak mengerti. Apa maksudmu?”
Amadea menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Seperti yang kubilang sebelumnya, orang tuaku terus-terusan meminta aku menikah. Dan, aku sadar bahwa aku tidak bisa menunda-nunda lagi. Aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku menghadapi mereka, dan aku percaya bahwa kamu bisa melakukannya. Kamu selalu ada untukku, dan aku yakin bahwa kamu adalah orang yang tepat untukku. Tapi, apa kamu enggak mau nikah sama aku?”
Gibran mengangguk perlahan-lahan, mencoba memproses kata-kata Amadea. “Ah soal itu. Sama seperti kami, sejujurnya aku enggak tahu, Dea. Ini terlalu tiba-tiba dan rasanya masih belum terpikirkan.”
“Tapi, tidak semengerikan kiamat datang besok, kan?”
“Ya, iya. Cuma masih membingungkan.”
“Kamu bingung mau nikah atau enggak sama aku?” tanya Amadea mulai tersengat.
“Bukan. Cuma, apa kamu yakin soal ini?”
Amadea mengangguk tegas, memandang Gibran dengan penuh keyakinan. “Kurasa. Kita sudah lama pacaran, sudah mengenal satu sama lain dengan baik, dan kita mungkin bahagia setelah menikah. Aku juga tidak bisa membayangkan akan menikah dengan orang lain, selain dirimu, Gibran.”
Amadea melihat ekspresi wajah Gibran yang terlihat sedikit bingung dan terkejut atas permintaannya. Namun, dia harus tetap mempertahankan keberanian untuk mengutarakan perasaannya. Gibran harus tahu kalau dia mencintainya dan ingin bersamanya. Dia juga berharap kalau Gibran akan memberikan jawaban yang sama.
“Maaf, Amadea. Aku enggak bisa menerima permintaanmu untuk menikah. Aku tidak merasa siap untuk itu,” kata Gibran dengan kepala menunduk.
Jemari Amadea terkulai lemas. Dia tidak pernah menyangka akan ditolak seperti ini oleh pacarnya sendiri. Dia hanya meresmikan hubunga, jadi seharusnya Gibran tidak masalah. Dia juga tidak meminta permintaan yang megah, sederhana juga tidak masalah asal bisa bersama. Dia hanya tidak paham alasan Gibran menolak. Memangnya mau menunggu sampai berapa lama lagi hingga Gibran mau menikahinya? Bukankah durasi hubungannya dengan Gibran sudah cukup lama?
“Oke,” kata Amadea akhirnya. Dia berusaha menelan kekecewaannya.
“Bukan berarti aku enggak mau nikah sama kamu, tapi waktunya kurang tepat,” ucap Gibran terburu-buru mengoreksi.
“Oke.”
Amadea memang kecewa dan sedikit kesal mendengar jawaban Gibran. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang dan menghargai keputusan yang diambil oleh Gibran.
“Kamu gak marah kan, Sayang.”
“Gak kok. Kamu berhak menolak dan aku juga tidak bisa memaksakan kehendak. Aku mengerti, Gibran. Tapi, apa kamu bisa kasih tahu alasan kamu tidak siap untuk menikah?”
Gibran mengembuskan napas, pria itu terlihat lega. “Sejujurnya, aku enggak ingin membuatmu kecewa, Amadea. Tapi, aku perlu lebih banyak waktu untuk merenungkan hubungan kita dan mempersiapkan diri untuk langkah yang besar ini.”
Amadea merasa sedikit lega mendengar jawaban Gibran. Pria iniadalah sosok yang jujur dan bertanggung jawab, dan ia sepenuhnya menghargai keputusan Gibran.
“Maksudku bukan hanya soal pernikahan, Gibran. Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama dan saling memahami lebih dalam. Aku merasa bahwa kita berdua saling mencintai, dan aku ingin kita membangun masa depan bersama-sama,” ujar Amadea dengan lembut.
Gibran mengangguk. “Aku paham, Sayang. Aku juga mencintaimu, Amadea. Dan, aku berjanji untuk selalu ada untukmu dan menjaga hubungan kita dengan baik.”
Amadea merasa sedih dan kecewa. Dia merasa bahwa hubungan mereka tidak akan pernah berjalan ke arah yang lebih serius jika Gibran tidak mau menikah. Namun, ia juga mengerti bahwa Gibran butuh waktu untuk mempersiapkan diri dan memikirkan masa depan mereka.
“Tapi, bagaimana dengan orang tua aku?” tanya Amadea. “Mereka pasti akan bertanya-tanya mengapa kita belum menikah setelah berpacaran begitu lama. Dan aku gak punya cara buat menjelaskan.”
Gibran menggeleng dan menarik jemari Amadea. “Kita bisa menjelaskan pada mereka bahwa kita ingin menunggu waktu yang tepat untuk menikah. Mereka pasti akan paham keputusan kita, kita sudah dewasa.”
“Iya sih. Aku akan akan nunggu karena aku memahami keputusanmu. Tapi tolong, bantu aku menjelaskan.”
“Kalau kamu takut, nanti aku temenin ke rumah.”
“Beneran?”
“Iya, nanti aku yang ngomong sama orang tua kamu. Aku janji, aku akan segera menikahimu jika sudah siap dan waktu yang tepat telah tiba
“Makasih, Sayang.”
“Apa sih yang enggak buat kamu, Dea.”
Tetapi buat menikah secepatnya tetap gak bisa, kan?
Namun, Amadea tidak mengucapkan gagasan dalam pikirannya. Kalau dia bicara begitu pasti Gibran akan berpikir kalau dirinya tidak dewasa. Apalagi Gibran sudah janji untuk menikahinya. Mungkin begini saja dulu lebih baik, seperti kata Gibran untuk jujur saja pada orang tuanya. Meski dia hanya tidak yakin apakah orang tuanya akan memahami keputusan mereka untuk menunda pernikahan.
Apalagi Amara sudah ingin menikah dan di keluarganya yang tua harus menikah duluan. Dia mungkin akan dipaksa kalau Amara memang harus secepatnya menikah. Namun, dia tahu bahwa dia harus mempercayai Gibran dan menghormati keputusannya. Dia juga tidak bisa memaksakan kehendak. Jadi, mungkin Gibran benar. Dia hanya perlu menjelaskan semua ini bersama Gibran dan seharusnya mereka akan mengerti dengan keputusannya.