+ Add to Library
+ Add to Library

C11 11

Seperti dugaanku, pilihannya jatuh pada sate kambing yang baunya memang menggoda. Aku bahkan tidak menyangka, si Zach langsung memesan sendiri tanpa menyuruhku. Gantle sekali dia malam ini. Benar-benar memposisikan diriku sebagai pasangannya. Tanpa memikirkan aku hanya mengajaknya main drama. Atau memang beginilah caranya biasa memperlakukan wanita-wanita di dekatnya. Sontak aku tersadar, aku hanyalah satu dari teman wanita yang hanya hingga sejenak di hidupnya. Ah, Bella kamu seperti punguk merindukan bulan. Sadar dirilah, Zach Abraham tidak tergapai untukmu, Dewi batin memukulku telak dengan kenyataan itu.

Setelah mengatakan pesanannya, Zach mengajakku duduk di kursi panjang dari bahan kayu yang muat untuk 5 orang sekaligus. Sepanjang jalan daerah togasari ini memang di buka khusus untuk para pedagang kaki lima. Dimana retribusi dari mereka digunakan untuk membangun taman kota yang berlokasi tepat di depan kami duduk sekarang. Meskipun dengan makan disini kamu butuh beruyelan, tapi udara sejuk dari pepohonan taman kota lumayan membantu.

Di depanku beberapa pasangan juga meramaikan tenda sate khas Madura ini. Hanya saja penampilan mereka tak semencolok kami, mengingat kami baru saja menghadiri kondangan. Ada juga muda-mudi mencuri-curi pandang pada kami, utamanya pada Zach. Tentu saja, jarang sekali ada bule yang memiliki selera rakyat seperti dirinya.

Zach yang tiba-tiba melepas jasnya, menyisakan kemeja berwarna biru slim fit yang memperlihatkan otot-otot kencang di seluruh tubuhnya. Dia menyampirkan jas mahal tersebut untuk menutupi sebagian pahaku yang terekspos. Susah tak jatuh cinta kalau setiap saat dia bikin aku baper setengah mati begini. Warna wajah ku bisa dipastikan bersemu memalukan. Ya ampun, Zach... Teganya kamu.

"Makanya lain kali jangan pakai busana yang sopan."

Salah siapa sih, ngajak makan dipinggir jalan begini alis ngemper?

"Emang ada lain kali?" jawabku. Lagi-lagi, Zach hanya menjawab dengan sedikit tarikan miring di bibirnya. Mirip bapaknya kali dia ya, kalau gen Bu Anisa jelas dia bakal jadi pria cerewet yang setiap kalimatnya bakal panjang sepanjang gerbong kereta Manggarai.

"Duile... Senyummu bang, irit amat!" sindirku.

Setelah itu obrolan ringan menemani kami menyantap daging kambing bakar dengan saus kacang kata Zach, menyebutnya dengan bahasa yang ribet.

"Waktu kecil dulu aku sering diajak mama makan di daerah sini. Tapi penjualnya sudah berbeda. Favoritku sate kambing seperti ini."

"Lebih enak mana sama kambing guling?" Tanyaku sekedar meramaikan suasana yang sudah ramai dengan obrolan para pembeli warung tenda.

"Lebih kuat ini bumbunya. Kayak kamu menarik saya kuat buat mandangin kamu terus."

Ya ampun, serangan hawa panas menyerang seluruh wajahku.

"Gombal banget, ih!" Ku buang mataku jauh dari Zach mana netranya tak pernah berpaling padaku. Semua mengalir begitu saja, percakapan penuh roman itu yang sayangnya terjadi di bawah tenda biru, bukan pelaminan tapi tenda terpal penjual sate. Wkkk... Dasar si Zach mah.

Hingga saat kami menghabiskan santapan receh tapi nikmat itu, Zach menaruh 4 lembar uang seratus ribuan.

"Banyak amat mas? Selembar aja cukup." Protes ku, maklum kaum dhuafa teraniaya bos laknat seperti diriku ini wajib menguasai ilmu ekonomi terutama debit kredit.

"Oh ya, katanya tak yakin?"

"Berapa pak?!" tanyaku pada bapak penjualnya yang beraksen madura.

"120 ribu, neng" katanya. Jadi kuserahkan 2 lembar uang Zach tadi.

"Kembaliannya buat bapak aja ya." Imbuh ku.

"Banyak amat neng?" tanya si bapak bingung.

"Hitung-hitung kami udah numpang ngobrol sekalian tadi, pak." aku tersenyum riang, beranjak berdiri dan memindahkan jas si Zach ke lenganku dengan hati-hati.

"Terima kasih ya neng, semoga segera dapat momongan, yang laki ganteng yang cewek cantik, serasi."

Si bapak justru ngelantur bikin si Zach tersedak ludahnya atau angin atau apalah, aku tak tahu.

Mana mungkin pak, saya dan dia bagai langit dan bumi. Tapi aku iseng menggoda si Zach dengan beberapa improvisasi.

"Doain ya pak, semoga bayi dalam perut saya tumbuh baik." Hahaa, batuknya Zach makin kencang.

"Minum lagi mas." Ku serahkan gelasnya yang masih terisi air jeruk padanya, yang berdiri menjulang tepat di sampingku. Tak lupa ku tepuk punggungnya yang padat dan singset. Pasti rajin latihan kardio nih orang, aku berkedip-kedip mupeng kan jadinya, jiwa liar dan haus belaian dalam diriku meronta-ronta. Huhuu

"Jadi, kamu sudah terbiasa dengan sentuhanku?!"

Eh?

Aku menghentikan aksiku menepuk punggungnya yang kenapa jadi elus-elus manja. Duh, malunya.

Kami keluar dengan dia yang sigap menggandeng ku, lagi. Mataku memandang kearah tautan tanganku, terasa hangat dan pas. Apa kabar hatiku kalau sampai ada cinta diantara kita?

"Ayo chek-in?!" katanya tanpa beban.

"Ngapain?" sahutku sok cool, pantang bagiku memperlihatkan ketertarikan pada lawan jenis.

"Bikin bayi diperut kamu biar tumbuh baik."

"What!!!!" ucapanku tadi itukan?

Zach tergelak lalu memelukku singkat, mendorongku masuk ke mobilnya kemudian. Aku jadi was-was sepanjang jalan. Aduh ini bukan jalan pulang kan? Kalau beneran dia serius ngajakin chek-in gimana?

"Mas."

"Apa? sudah nggak sabar mau chek-in?!"

Zach tersenyum mengejek kali ini. Aku bergidik ngeri membayangkannya dia mau nganu.

"Mas pulang ya? Bukannya besok mas Zach balik ke Amrik?" ucapku lemah lembut, Zach menaikkan sebelah alisnya, jelas paham gaya lemah lembut itu adalah caraku merayu.

"Jangan bertingkah kayak perawan sayang."

Dasar bule, dia pikir aku salah satu dari sekian cewek-cewek Jakarta penganut free hohohihe.

"Mas Zach sayang...." aku menggigit bibirku, koq aku malah panggil dia sayang ya.... Sebodo amat.

"Ini indonesia mas, bukan muhrim namanya kalo chek-in tapi nggak ada surat dari KUA?!" Aku kembali menggunakan nada biasanya aku.

"KUA?" Zach kelihatan bingung.

"Dimana KUAnya? Yuk, ke KUA kalau begitu."

Wajah polosnya bikin ketawa dech. Aku benar-benar tergelak kali ini, sampai air mataku merembes sangking hebohnya aku tertawa.

Zach berdehem bingung.

"Bella sayang." Zach meminggirkan mobilnya dan mematikan mesin mobil tanpa menghiraukan tanda dilarang parkir di area itu. Aku memundurkan kepalaku menyadari Zach yang melepas sabuk pengamannya dan mendekatkan wajahnya kepadaku.

"Mas." Ku gigit bibirku, kaget? Jelas aku kaget dengan reaksinya yang jadi agresif. Apa efek makan sepiring penuh daging kambing ya?

Zach memiringkan wajahnya semakin mendekat. Aku tidak yakin kalau Zach tidak mendengar detak jantungku sangking dekatnya posisi kami.

"Kamu mau ke KUA dulu sebelum chek in?! Katanya, yang angguki tidak yakin.

"Oke, sepulang aku dari Amrik." Ucapnya, setelah itu mencecap bibirku cepat. Aroma sate kambing dan air jeruk menyatu dengan aroma kopi pengharum mobi. Setelahnya dia tersenyum setan dan memundurkan kepala kembali. Suasana jadi mendadak canggung setelah ciuman manis rasa kuliner itu.

Dadaku bergemuruh tanpa bisa dibendung. Semoga Zach nggak ngeh apa itu KUA. Bahkan aku yakin dia bakalan lupa soal ini setelah pulang dari Amrik yang tidak tahu kapan itu.

Hati, apa kabar mu? Apa masih bertahan atau sudah menyerah pada pria hot ini? Bisikku pada hatiku sendiri.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height