+ Add to Library
+ Add to Library

C19 19

My boyfriend katanya? Ku putar bola mata lalu menggeleng pada kelakuan Zach yang brengsek banget.

Dari tempatku berdiri wanita yang kini sudah melepaskan rangkulannya pada Zach, tampak seperti pekerja pada umumnya. Dia mengenakan sepatu fantofel biasa celana hitam dan kemeja putih tanpa asesoris yang membuatnya bisa lebih menonjol. Sesungguhnya apabila wanita itu pandai berdandan wajahnya lumayan cantik sih ih.

Apa ini saingan cintaku juga? Dasar si Zach. Tidak salah kalau aku menyebutnya Playboy mesum doyan selangkangan.

Aku berjalan dengan anggun melewati pria itu beserta wanita yang tengah menatapnya berbinar, serta berapa karyawan HRD yang bertugas untuk menyelenggarakan wawancara ini. Mereka mengangguk sopan padaku. Tentu saja semua orang tahu apa posisiku di perusahaan berkembang milik Bu Anisa ini. Jadi wajar walaupun aku lebih muda dari mereka tapi mendapatkan penghormatan dari karyawan lain.

Lagi pula aku mendapatkan posisi ini tidak mudah. Suka duka menjadi bayang-bayang Bu Anisa telah ku alami 4 tahun ini. Mulai dari cercaan, hinaan, dan berbagai kesulitan. Tetapi sesungguhnya itu adalah tempaan dari Bu Anisa yang membuatku bisa menggantikannya saat ini.

Dan si brengsek Zach hanya melirik sekilas pura-pura tidak tahu bahwa akulah yang dia lewati. Dari gesturnya yang angkuh pria itu mengharapkan aku yang menyapanya terlebih dulu, cih jangan harap.

Padahal siapa sih dari pagi tadi yang mengirimiku pesan-pesan WhatsApp yang lebih cocok disebut spam itu, sangking banyaknya. Aishh, rasanya aku ingin mengumpat.

"Kamu makin cantik saja, my girlfriend."

What!! Apa Zach sedang mengatakan padaku secara tidak langsung kalau perempuan yang sedang tampak mengantri untuk wawancara editor baru itu memang kekasihnya? Moodku auto anjlok sekarang. Lihatlah betapa Zach menatap gadis itu penuh minat. Tangannya yang pernah memelukku itu kini menyampirkan anak rambut si gadis ke balik telinga. Dan kurang ajarnya, semua orang kini menatapku dengan berbagai cara. Ada yang iba, ada pula yang mencibir. Oh, peduli setan. Kalau mereka tahu pangeran tampan yang mereka kagumi hanyalah seorang brengsek yang mesum.

Aku menghela nafas, baiklah mister Yoshinaga aku akan menjadi nyonya Yoshinaga saja kalau begitu.

"Bisa kita mulai?" Ucapku dingin pada beberapa staf HRD yang sedang bertugas. Aku berdehem demi membawa raut normal pada gesture dan ekspresiku. Aku berharap aku akan tetap profesional seperti biasa walau perempuan yang nantinya akan ku wawancara adalah benar-benar kekasihnya Zachy.

Dua orang calon editor baru sudah keluar, giliran dua orang berikutnya. Dan aku terlalu muak pada senyum seorang pria yang tiba-tiba ikut masuk ke dalam ruangan. Zachy tersenyum lembut pada gadis yang menyebutnya my boyfriend. Jadi aku undur diri, mengatakan pada orang HRD untuk melanjutkan. Bahkan Zachy menawarkan diri untuk menggantikan aku. Serah deh, batinku. Perusahaan juga milik emaknya, apa peduliku dia bakal menerima gadis itu atau orang lain.

Setelah aku kembali ke ruangan ku sendiri, aku bergelung dengan banyak berkas yang perlu ku selesaikan. Setidaknya aku butuh dua bulan untuk bisa lepas dari perusahaan ini. Aku ada di titik jenuh sepertinya. Lagi pula, apartemen sudah lunas. Cicilan mobil dua bulan lagi juga sudah beres. Mungkin aku akan mencari suami kaya saja seperti Ryu Yoshinaga. Toh hati bisa dikondisikan, cinta karena terbiasa seperti yang dikatakan orang-orang tua jaman dulu.

Ku pikir kalaupun aku memaksakan diri menerima Zach, apa dia akan menjamin akan setia hanya padaku. Lalu bagaimana dengan Bu Anisa? Apa mungkin wanita cerewet pemilih itu akan merestui diriku dengan mudah. Beberapa tahun menjadi kaki tangannya, aku telah sangat mengenal tabiat wanita yang disaat santai ku panggil mami itu. Walaupun tak menyebutkan kriteria khusus calon menantu. Tapi beberapa kali aku mendengar Bu Anisa membicarakan kelemahan dan kekurangan menantu orang lain. Percayalah, itu ngeri kalau sampai ditujukan padaku.

Hingga pukul 6 sore aku baru bisa menegakkan badan. Berdiri untuk menarik persendian ke kanan dan ke kiri, kemudian ku hembuskan nafas lelah. Angel telah pamit pulang sejam lalu karena aku membebaninya juga untuk memeriksa banyak pekerjaan.

Diantara suasana lengang dan tenang ini, aku keheranan. Tumben pria yang biasanya merecokiku tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Telpon ataupun mengirim pesan juga tidak. Apa mungkin dia tengah bersenang-senang dengan gadis siang tadi? Jelas jawabnya, batinku mengolok. Meskipun ada rasa kecewa tapi siapa aku, hanya salah satu perempuan yang lewat dalam hidup Zach yang tak berarti. Buktinya dia hanya tertarik padaku karena fisikku saja. Bukan tidak mungkin dia akan membuang ku jika nanti sudah bosan. Maka sebelum itu terjadi aku akan menyelamatkan diriku.

Ponselku berdering, nama Ryu Yoshinaga terpampang nyata pada layar. Mau tak mau aku tersenyum, lebih baik pria ini kemana-mana. Mengapa aku musti galau pada si brengsek itu. Lihatlah sekarang, saat dia menemukan mainan baru seketika dia melupakan aku. Membagongkan sekali bukan?

"Hallo Ryu..."

"Senang mendengar suaramu, my Bell. Mau ku jemput?" Tanyanya dari seberang sana?

"Aku membawa mobil sendiri?"

"Apa tidak sebaiknya mobilmu ditinggal di kantormu saja? Bukankah apartementmu dekat dari sana, My Bell?"

Mataku membola, "Ryu, anda tahu?"

"Maaf, tidak bermaksud mematai, hanya saja aku ingin tahu kamu lebih baik." Ungkapnya lembut, tidak ku temukan nada lain yang mungkin saja bisa membuatku curiga bahwa Ryu adalah seorang stalker.

Nyatanya, aku merasa fine saat bersama pria yang beda usianya cukup jauh denganku tersebut. Setidaknya sikapnya santun, tatapannya sopan dan tutur katanya adem, tidak seperti si... Ah sudahlah. Mulai saat ini aku harus berhenti memikirkan dia. Karena cinta saja tidak cukup.

"Aku tunggu di lobi ya?"

"Tunggu baik-baik, jangan kemana-mana."

Aku tertawa mendengar peringatan Ryu seolah aku ini remaja tanggung yang tidak Jakarta.

Malam itu ku pikir Ryu akan membawaku ke salah satu restoran di Jakarta ini.

Ketika aku bertanya, Ryu justru memandangi diriku, seolah memastikan penampilanku masih stunning untuk makan malam yang dia rencanakan.

"Apa aku perlu mengganti busanaku dulu?" Tidak bisa aku tidak bertanya, walau sedikit menyesali kenapa mulutku lemes sekali. Sesungguhnya canggung ku rasakan. kami baru saja saling mengenal secara personal. Aku berusaha menempatkan diri seluwes mungkin, seperti yang diajarkan Bu Anisa selama ini.

"Tidak, kamu selalu cantik seperti biasa." Pujinya berhasil memunculkan rona di pipiku.

Ternyata dia membawaku ke sebuah rumah megah yang lebih pantas ku sebut istana. Dari luar rumah itu nampak bergaya modern dengan sentuhan teknologi sentuhan di beberapa dinding kaca. Ada sensor yang mengenali mobil beserta berapa jumlah pengendaranya.

Dasar aku yang tidak bisa tenang jika belum memastikan ini dimana, tidak lucu kalau Ryu membawaku masuk sarang penyamun.

"Ryu... Bisakah anda katakan, kita sedang dimana? Tanyaku setelah pria itu turun untuk membukakan pintu di sisiku dan membantuku turun selayaknya gentleman.

Ryu terkekeh dengan cara yang anggun. Menatap lekat padaku, kemudian secara cepat tiba-tiba sudah mengurungku yang jadi bersandar pada pintu mobil.

Kepalaku hendak menjauh demi menghindari hidung kami bersentuhan. Senyum simpul yang biasanya sopan itu tiba-tiba berubah menjadi senyum menggoda yang menawan. Astaga apa dia sedang menggodaku?

Lalu penuturan darinya setelah ini membuatku bertanya-tanya, apakah dia membawaku bertemu kedua orangtuanya?

"My Bell, kamu satu-satunya wanita yang ku bawa masuk kesini. Aku berharap kamu benar-benar mempertimbangkan aku."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height