+ Add to Library
+ Add to Library

C2 2

Make up, cantik.

Softlens, oke.

Rambut, membahana.

Gaun, sip ini mah, menutup aurot sampai mata kaki. Kalah empok-empok mau ke pengajian.

Haha aku tertawa jahat dalam hati. Bayangin rencana beberapa menit lagi. Buat bikin si bandot tua Salman itu kapok sampai tujuh turunan.

Udah deh mari berangkat membuat perhitungan sama kakek-kakek mesum itu.

Kring....

"Hallo?"

"..."

"Sure, ini sudah di jalan."

"..."

"Oh pasti, oke terimakasih ya?"

Ku selipkan nada penuh kesopanan dan senyum yang kentara. Agar si penelpon tau aku begitu menghargainya.

Begitulah aku, dulu sebelum jadi Personal Asistan Bu Anisa 6 tahun lalu, aku adalah sekretaris biasa. Baik sekretaris maupun asisten, dua profesi ini menuntut diriku untuk selalu bersikap ramah kepada siapapapun.

Betewe, itu tadi seseorang dalam rencanaku buat ngasih pelajaran sama si bandot Salman. Lagi - lagi aku tertawa jahat dalm hati, membayangkan bagaimana nanti wajah si tua itu.

Pernah juga dua tahun aku menjadi asisten salah seorang pengacara terkenal, meski gajinya tak sebesar yang diberikan Anisa Handoko, tapi atasanku adalah seorang bapak-bapak bersahaja yang baik banget.

Aku mengenal Bu Boss dari sana, saat dia sering wira-wiri ke kantor pengacara tempatku bekerja. Ketika itu, dia yang butuh asisten cekatan melirikku dan menawariku bekerja padanya. Katanya dia suka performaku saat menangani klien. Tentu iming-iming yang diberikan begitu menggiurkan dengan syarat jam terbang yang padat. Tak masalah, toh apartemen mewah yang aku tempati sekarang sudah resmi jadi milikku tiga bulan lalu.

Dan tiga bulan ini gaji empat kali lipat dari yang bisa ku dapat di firma hukum tersebut, utuh masuk ke rekening tanpa potongan apartemen lagi. Coba kalo aku bertahan di firma hukum tempat ku bekerja sebelum ini, mana bisa aku bayar kreditan apartemen meskipun tidak terlalu mewah. Belum lagi kebutuhan tas, sepatu, baju dan make up serta minuman bergizi untuk tunggangan warna silverku.

Ku akui dampak negatif bergaul dengan sosialita sekelas Anisa Handoko adalah rentan terkena penyakit hati dan darah tinggi akut, mengingat betapa banyak maunya sekali wanita itu.

Siapkan pula batin dan jiwamu akan kebutuhan barang mahal, pesannya waktu itu.

"Seriously Bella? Kamu mau ngikut saya?"

Matanya yang mirip elangnya penyihir dalam cerita Maleficent, meneliti pelukanku dengan penghinaan.

"Mau ada dibelakang saya sepanjang hari hanya dengan tampilan murahan kamu ini?"

Kejam mulutnya, sekejam matanya yang jelalatan dari ujung kaki ke ujung rambutku.

"Kamu memang cantik ya, tapi kecantikanmu akan terlihat seperti bunga bangkai liar diantara onggokan sampah busuk kalau kamu bertahan dengan penampilan menggelikan macam itu."

Hinanya penuh dengan decakan dan cibiran menusuk kalbuku, tanpa jeda tanpa koma apa lagi titik.

Sejurus kemudian mobilnya masuk ke pelataran butik elit di Jakarta ini. Memborong pakaian kerja, tas, sepatu dan make up untuk ku pakai ke kantor. Dan katanya lagi,

"Ini potong gaji juga, sisa gajimu masih cukup buat beli sarapan nasi pecel sama makan malam mie instan."

Bushet mulutnya! Batinku terluka mendengar rentetan cibiran ya.

"Because, kamu harus nabung. Nggak perlu makan mewah dulu sekarang. Yang penting buat semua orang terpukau sama tampilan kamu yang kece badai kayak Syahrini."

Kata wanita yang nggak mau disebut tua ini cerewet, lebay juga khas emak-emak.

Cih, kalo nggak gajinya selangit aku mana sudi dengerin kuliahnya.

"Ingat ya Bel, kalo mau jadi bayang-bayang Anisa Handoko, kamu harus sepadan dengan saya." Tekannya mengintimidasi.

Tapi jangan pikir itu mempan untukku. Cuma mulutku ini waktu itu masih diam saja, berharap janjinya yang hilang bakal memberiku gaji gede itu bukan omong doang. Padahal aslinya kagak nahan udah mau nyablak.

Apa katanya tadi, bayang-bayang? Ninja kali. Hugh!

Tintin. Jerit klakson mobil dibelakang menyadarkan dari lamunan panjangku.

Aku berbelok memasuki restoran karena sampai di tempat janjianku dengan Salman si abg tua.

"Hai darling." Pria tua itu mengerling mesum padaku saat pertama kali menyadari keberadaan ku.

"Oh sayang sekali kaki indahmu tertutup longdressmu sayang." Katanya.

Cuiiih!!! Mana sudi aku nontonin kakiku sama dia. Tapi bibirku cuma bisa memamerkan senyum terpaksa.

Sementara dengan kurang ajarnya si bau bangke ini malah nyuri cipika-cipiki yang terlambat ku hindari.

Sialan bener! Lihat saja ya bentar lagi, masih bisa senyum nggak dia.

"Hehe pak salman, sudah malam kok masih cakep aja pak?" Kataku jijik tapi mimik mukaku mode senyum memuji.

"Ah. Dek Bella, bisa aja bikin saya salah tingkah." Sahutnya berbinar-binar.

Apa katanya, dia manggil aku "Dek"? aku mendengus, tapi segera mengganti dengan hiasan senyum manis yang lagi-lagi terpaksa. Kalo bukan karena kerjasama itu mana Sudi aku sih buang-buang waktu begini, gelay tau!

"Jadi pak, deal ya proyek Pulau Bidadari?" Segera aku masuk pada topik pembicaraan.

"Kalau resort itu sukses kita bangun, bapak harus ajakin saya berjemur matahari sore yang romantis di pantainya ya pak?" Rayuku mengiming-imingi. Ini adalah proyek pribadi Bu Anisa untuk mewujudkan mimpinya memiliki resort nyaman di pinggir pantai untuk dia dan keluarga beristirahat di kala hati penat.

Pak Salman mengangkat sebelah alisnya, seolah keberatan dengan topik berat yang langsung ku ambil.

"Dek bella, pesan minuman dulu aja ya..." Ujarnya, sedetik kemudian Salman mengangkat tangannya memanggil pelayan agar aku memesan. Sedangkan pria tua itu sudah memiliki segelas minuman di depannya.

"Tidak usah Pak Salman, saya lagi diet, cukup air putih saja." Tolakku halus, tapi seorang pelayan tiba-tiba datang bersiap mencatat pesanan kami. Aku tak peduli, pria tua bersemir hitam di rambutnya itu memesankan banyak makanan sepertinya.

"Emmm, pak... Mengenai planing kerjasama kita, bapak juga bisa ajak salah satu istri muda bapak menginap di resort yang nantinya dibangun khusus untuk pasangan kencan." Lanjutku terus mengusahakan agar apa yang diinginkan Bu Anisa tercapai, dan Pak Salman akhirnya setuju dengan kesepakatan yang diajukan.

"Itu potensi lo pak, dimana orang-orang lagi trend sekarang buat ngetrip. Nah sisi kanannya itu menyediakan cottage dengan tema petualang dan adventure, yang mana sesuai presentasi bu Anisa tadi siang. Cottage itu dibangun dengan material dan prabot kayu. Saya yakin, akan banyak stasiun Tv yang bakalan tertarik buat ngulas bangunan ini, nantinya Pak. Usaha kontruksi bapak bakal melejit lebih dari sekarang."

Yakinku syarat akan rayuan manis yang ku sampaikan dengan bahasa tubuh gemulai, bahkan aku sampai harus ngelus punggung tangan keriput mengerikan ini. Ih, jijay!

"Ok, Deal." Ucapnya mengulurkan tangan untuk ku jabat.

Akhirnya, baru kali ini suara laki-laki tua ini terdengar menarik. Walau sebelum ku jabat tangan itu, Salman melanjutkan tawarannya yang membuatku ingin muntah.

"Syaratnya, kamu harus nginep seminggu disana sama saya."

Helloooo gimana kabar 4 istrinya dong! Kalau ini orang ngajakin aku. Masa iya dia mau jadiin aku simpenan? Kagak sudi!

"Ah bapak, 4 istrinya dikemanain pak? Saya nggak mau loh kalo cuma jadi simpenan aja." aku berkedip manja. Menyugesti diri agar kuat menghadapi kenyataan kejam ini, Ya Tuhan.

"Saya nggak puas kalo dapat jatah cuma seminggu." Ucapku tetap tersenyum 5000 watt, tak lupa menyodorkan map terbuka yang harus di tandatangani bandot tua ini.

Liat ya, setelah proses pembubuhan tanda tangan ini sukses, bakal aku potong tuh burung keriputnya, ihhh!!

"Saya bakalan ceraikan mereka, Bella darling." Katanya, tangannya mulai bergerak lamban ngambil pena.

Duch lelet banget ngambil pena aja. Batinku berteriak-teriak tak puas.

"Beneran pak..?" Timpalku sok imut, berusaha memunculkan binar-binar ceria dimataku, aslinya aku mengeluh, iyuuuhh.

"Sure, everything for you baby." Pria itu tersenyum manis padaku.

Jari-jari keriput itu bergerak luwes sembari menggengam pena mahal import.

Dan....

y

Yesss!!!

Tanda tangan selesai.

Adegan dimulai, bisikku pada diri sendiri. Senyumku merekah, setelah dengan cepat memasukkan dokumen berharga itu pada tasku dengan hati-hati.

"Kalomau mereka nggak mau gimana pak, secara bukan rahasia umum istri pertama, ke dua, ketiga dan keempat pak salman cantik-cantik. Nggak sayang tuh pak?!"

"Kalau gitu saya ceraikan yang pertama saja, dan kamu bakal saya jadikan prioritas menggantikan yang pertama, toh yang pertama udah nggak bisa dipake lagi." Lirihnya penuh keyakinan padaku.

Sedetik kemudian terdengar suara melengking yang memekakkan telinga.

"APA!!" Kamu mau ceraikan saya? Saya udah nggak bisa dipake lagi?"

Seorang wanita paruh baya berdiri dari kursi yang berada tepat di belakang Pak Salam duduk. Tangannya auto menarik telinga pak Salman dengan brutal plus tenaga ekstra emak-emak yang lagi kerasukan.

Benar, dia istri pertamanya yang tadi ku hubungi.

"Aku sudah ijinin papa kawin lagi, dengan syarat bisa ngelola harta keluargaku dan kita nggak cerai. Tapi apa yang aku dengar ini, Pa? Kecewa aku!" Katanya dengan wajah garang dan sakit hati.

"Oke, kita cerai. Dan keluar dari rumahku tanpa membawa apapun. Aku bisa ngehandle semua perusahaan ini sendiri, pa. Toh dulu papa nikah sama mama cuma bawa burung aja. Kita cerai!" Kata istri pak salman penuh emosi. Sementara sekuat tenaga aku menahan tawa pada kata wanita baya itu yang bilang Pak Salman cuma bawa burung saja.

Kalian tahu apa yang tua bangka itu lakukan?

Dia berdiri gemetaran, sambil bilang, "Jangan ma... Jangan. Papa nggak seriusan kok. Mama cuma salah denger." Dan blablabla... Hahaaa rasain tuh!

Aku mundur teratur bersamaan dengan telp dari bu Anisa yang sedang meritih di seberang sambungan. Hell no! Kenapa lagi si nyonya cerewet ini.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height