+ Add to Library
+ Add to Library

C21 21

Mata anak perempuan itu terus menatapku penuh binar harapan. Air matanya sudah surut, aku menenangkannya dengan terus memeluknya walau kini aku memilih duduk di kursi dengan ukiran klasik berbentuk naga. Ryu berjongkok di depan kakiku, terus membujuk Nara untuk turun.

Sungguh aku tidak pernah menyangka situasi ini. Sekali lagi aku kaget Ryu ternyata bukan seorang lajang. Makin kaget bagaimana anak ini menganggap aku sebagai mamanya.

"Papa, mama sudah bersama kita, aku sudah bisa tinggal dengan kalian kan?" Harapnya dengan pendar bahagia yang tak akan tega jika ku sangkal.

Aku melotot menatap Ryu bertanya, warna merah di pipiku pasti terlihat jelas karena pernyataan si kecil Nara.

"Nara, sebelum itu kota butuh bicara, oke?"

Ryu menegaskan pada putrinya, tangannya masih berusaha mengambil Nara dari gendonganku. Sayangnya anak perempuan yang menurutku masih cocok disebut bayi imut itu menolak mentah-mentah. Dia terus bergelanyut pada leherku.

"Aku rindu mama, biarkan aku memeluknya." Sergah Nara keras kepala.

"Nara, dia bukan mamamu!"

Wanita setengah baya yang dipanggil 'obasan' oleh Ryu itu memang hanya berdiri beberapa langkah dari kami. Walau begitu bahasa tubuhnya terlihat anti pati, terutama pada diriku.

Aku ingin protes, aku kesini tidak datang sendiri. Apalagi menyodorkan diri. Kenapa dia harus menatapku demikian? Kok aku kesel ya melihat mukanya yang kaku itu.

"Dia mamaku. Huaaa."

"Shhh... Jangan menangis ya, sayang. Nara-chan boleh memanggil mama padaku." Gumamku di telinganya.

Mauku sih melayangkan lirikan tajam pada si obasan itu karena caranya menegur anak kecil benar-benar tak berperasaan. Walau aku sendiri jarang berinteraksi dengan anak kecil, setidaknya aku memiliki rasa simpati melihat situasi gadis cantik ini pasti tak menyenangkan.

"Mama...!" Nara makin memelukku erat. Matanya yang terpejam penuh dengan air mata, membuat siapa saja iba. Anehnya senyum tersungging di bibir Ryu melihat interaksi kami. Namun aku tak sempat mengartikan apapun dari ekspresinya, karena sibuk menenangkan Nara.

Sampai seorang wanita tua yang berkomunikasi dengan Ryu dalam bahasa Jepang itu datang. Ryu menciumnya sayang. Saat bersanding dengannya, Ryu terlihat jauh lebih muda karena aku yakin, wanita itu sungguh telah melalui tahun demi tahun yang terlampau panjang.

Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Hanya menduga-duga karena Ryu menyebut namaku beberapa kali yang diiringi pandangan menilai dari wanita yang beruban di seluruh helai rambutnya itu.

"Maafkan cicitku nona, merepotkan dirimu." Sapanya penuh kesopan, kepalanya mengangguk seperti orang Jepang pada umumnya saat menyapa tamu.

Oh, nenek ini bisa berbahasa Indonesia walaupun terlalu resmi dan kaku? Dan wajah dengan aura formal itu tak sedikit saja memperlihatkan ekspresi berarti. Seolah wanita ini memang tumbuh dan menua dalam istana kekaisaran yang dituntut selalu mengendalikan emosinya.

Aku mengangguk tak kalah sopan, "Tidak apa-apa, nenek." Aku merutuki diri sendiri karena telah lancang memanggil wanita itu nenek. Namun wanita yang belum memperkenalkan diri itu balas mengangguk. Aku tidak bisa memprediksi berapa usianya. Yang jelas bilangannya tak mungkin sedikit.

"Nara-chan, biarkan mama berdiri. Kamu sudah besar, pasti berat untuk mama." Ryu mencoba bernogoisasi dengan putrinya. Kali ini suaranya terdengar tegas.

"Benarkah, Ma?" Tanyanya dengan kerjap bulu lentik yang membuatnya mirip boneka.

Aku menggeleng, tak tega mengatakan kejujuran pada bayi imut itu. Jauh dalam hati bertanya-tanya, wanita seperti apa yang melahirkan gadis secantik Nara.

"Tapi papa benar, aku akan turun saja. Nanti mama tidak mau bermain denganku kalau mama kecapekan." Katanya menggemaskan. Aku ingin tertawa mendengar caranya berbicara sudah mirip orang dewasa seolah lupa, beberapa detik yang lalu dia menangis histeris dan sulit ditenangkan.

"Ayo ma, ke kamarku akan ku tunjukkan gambarku pada mama. Aku menggambar mama." Nara memegang telunjukku dengan jemarinya yang mungil.

Tanpa sadar aku memandang pada Ryu, yang pria itu tanggapi dengan senyum. Dia mendekat pada kami, meraih Nara dalam gendongan dan menarik tanganku untuk dia genggam. Kok perutku terasa bergejolak ya? Apa ini gambaran keluarga bahagia?

"Mari makan malam dulu. Berhenti membuat mama bingung Nara-chan." Sergah Ryu pada Nara yang jadi cemberut. Tapi pancaran kebahagiaan di wajah imut itu membuat siapa saja tahu, aku sudah diterima di hati Nara.

"Dia memang mama, Pa! Mulai sekarang mamaku hanya dia!"

Dua kalimat itu diucapkan dalam bahasa Inggris yang fasih oleh pasangan ayah dan anak itu.

"Apa mama tidak bisa berbahasa Inggris, Pa?" Kayanya memiringkan wajahnya, tatapannya terus padaku. Seolah takut aku lenyap ke dasar bumi lalu menghilang dari pandangannya.

Aku diam menyaksikan perubahan sifat Nara yang berlagak mirip orang dewasa walau di mataku terlihat sangat lucu.

"Mungkin saja? Jadi jangan membuatnya bingung, sayang. Kamu tahu dengan baik maksud papa." Ucap Ryu menjawab Nara.

"Mamaku sudah meninggal, itu kata papa. Tapi dimana makamnya? Mana foto pengantinnya. Aku tidak yakin wanita yang di foto itu mamaku. Aku lebih merasa wajahku mirip dengan mama yang ini." Kayanya menatap tajam papanya.

Aku berdehem membasahi tenggorokan mendengar rentetan kalimat Nara. Gadis antara empat sampai lima tahun yang ternyata tidak sepolos yang ku bayangkan itu membuatku makin terperanjat. Sebenarnya dia dibesarkan dengan cara apa? Kenapa aku merasa Nara hanya sedang bersandiwara menjadi imut hanya di depanku saja.

Tiba-tiba aku tak bisa menahan kekehan mendengar betapa dia belajar menjadi rubah kecil, membuat Nara penasaran. Itu terlihat jelas dari matanya yang berderak. Gadis kecil itu memasang wajah polos kembali.

"Nara-chan, bagaimana bisa bahasa inggris mu sebaik ini?" Ku tarik senyum tak percaya saat mengatakan ini.

Bola mata gadis kecil itu membulat, tak menyangka aku menyahutinya dengan bahasa Inggris juga.

"Mama, kau juga berbicara dalam bahasa Inggris?" Katanya tak menyangka. Sedetik kemudian dia kembali menangis dengan kalau yang bergerak liar.

"Mama pasti membenciku sekarang, bahwa aku tahu aku bukanlah anakmu, huaaa!!"

Astaga, drama sekali dia. Untung masih kecil, jadinya lucu. Untung juga, bapaknya ganteng, baik dan berduit. Coba tidak, aku pasti sudah terbirit pulang.

"Nara-chan!" Tegur Ryu pada putri yang masih di gendongnya.

"Mama!"

Terlihat Ryu menghembuskan nafas kasar. Telinganya pasti berdengung dengan tangis Nara yang histeris.

"Nenek terlalu memanjakan dia. Lihatlah sekarang."

Nenek Ryu hanya menggelengkan kepalanya menyikapi sikap cicitnya ini. Sedang si obasan itu terus memasang wajah kaku. Sudahlah, apa peduliku.

"Aku sudah menyuruhmu segera menikah. Dia butuh sosok ibu." Nenek Ryu menimpali.

"Mungkin sebentar lagi" jawab Ryu melirikku dengan senyum kecil yang membuatku tersipu. Bodoh namanya kalau aku tidak mengerti isyaratnya.

"Aku mau gendong mama." Nara membuka lengannya, meminta aku meraihnya.

"Nara-chan, bersikap manislah. Kita makan malam dulu." Ryu membelai punggung Nara sayang, walau suaranya masih setegas tadi.

"Papa, pokoknya aku tinggal sama papa saja." Rengeknya tak berhenti, walau topiknya baru.

"Nara-chan...!" Mungkin lama-lama Ryu tak enak mendengar permintaan aneh putrinya sampai sedikit menaikkan suaranya. Aku jadi tak tega pada si kecil imut itu.

"Sayang kemarilah, papamu benar. Anak perempuan itu harus bersikap manis, oke."

Nara melompat padaku, dan aku menyerahkan tasku pada Ryu yang diterima pria itu tanpa mimik keberatan.

Aku benar-benar mengalah, membetulkan posisi Nara untuk ku gendong di sebelah kiri tubuhku. Andai aku tak memakai sepatu tinggi, aku tak akan kesulitan menggendongnya.

Memangnya ini mau ke rumah tetangga atau ke ruang makan sih, kenapa tidak sampai-sampai? Keluhku jauh dalam hati. Betapa besar rumah nenek Ryu ini.

"Kenapa kita tidak makan di rumah utama saja, Nek?" Tanya Ryu.

"Karena kamu bilang akan membawa tamu spesial, maka aku mengundang beberapa orang. Rika-chan juga membawa pacarnya datang?" Sahut sis nenek berjalan pelan. Kimono abu-abu tubuhnya terlihat sangat elegan.

"Oh, ya?" Sahut Ryu terdengar biasa saja.

Aku tidak benar-benar ingin tahu siapa Rika-chan ini. Yang jelas aku sedang meresapi telapak tangan Nara yang membelai pipiku lembut. Matanya berbinar memandangku. Ada kekaguman dan pengharapan disana. Bagaimana bisa aku menolak gadis lucu ini, ku rasa aku tidak akan keberatan memiliki anak secantik dia.

Bunyi pintu yang digeser, menandakan kami telah sampai di tujuan. Saat Ryu membimbingku masuk mengikuti nenek dan wanita yang dipanggil obasan itu, aku berhenti. Merasa perlu melepas high heels ku, jadi aku mengatakan pada Nara untuk turun.

Dengan patuh, gadis itu menurut. Membantuku melepas sepatu dan menuntunku menggantikan papanya untuk masuk ke dalam ruang makan. Seperti akan menunjukkan padaku di mana tujuan kami.

Namun rasanya duniaku kacau balau, melihat siapa yang duduk di sana dengan gaya angkuh seperti biasa. Matanya memincing padaku penuh penghakiman.

Apa dunia sedang bercanda denganku?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height