+ Add to Library
+ Add to Library

C22 22

Langkahku terhenti, masih tak percaya pada mataku yang menangkap sosok Zachy yang kini menatapku tajam. Postur tegapnya walau dalam posisi duduk makin menakutkan saat bersedekap begitu. Rahangnya mengeras tanda dia tengah menahan emosi.

Oh, jadi Zach adalah pacarnya gadis yang sama yang datang interview ke kantor tadi? Aku mendengus, dasar playboy.

Apa-apaan dia? Kemarin mengajak menikah, sekarang sudah jalan dengan kekasihnya yang lain.

"Mama... Ayo?" Rika menyadarkan aku dari pikiran yang akan membuatku cepat tua. Sudah benar aku memilih Ryu, pria dengan banyak pacar seperti Zach memang harus ku hempaskan jauh-jauh.

"Mama?" Tanya Zachy tak percaya pada pendengarannya akan cara gadis lucu nan imut ini memanggilku.

"Bukankah dia..." Si wanita berambut pendek yang duduk akrab dengannya itu menunjukku penuh kekaguman. Mungkin mengingat wajahku yang siang tadi dia temui.

"Wanita paling berpengaruh dan paling tau seluk beluk Womenize setelah mamaku, bahkan dibandingkan aku sendiri. Lalu sejak kapan dia menjadi seorang mama?"

"Nara? Mama?" Si Rika itu bergantian menatapku dengan Nara, mungkin dia bingung menebak hubungan di antara kami. Lalu matanya mengerling menggoda pada pria di sebelahku. Sesaat saja mata itu kembali sopan saat berpindah padaku.

"Halo, Bu. Aku Rika." Dia mengangguk sopan, yang ku balas anggukan profesional tanpa senyum. Bukannya aku cemburu karena dia menyebut Zach boyfriend. Aku hanya terlalu kesal merasa dipermainkan oleh si brengsek itu.

"Kak Rika, dia mamaku. Aku punya mama seperti teman-temanku. Aku mirip mama kan?" Nara berceloteh riang. Tak akan paham situasi orang dewasa di sekitarnya ini. Enaknya jadi Nara, tak perlu memikirkan hiruk pikuknya kehidupan yang penuh tipu-tipu ini.

Zach tertawa mengejek, tatapannya yang bertubrukan denganku itu melotot galak. Aku tak ingin tahu bagaimana reaksi Ryu Yoshinaga, tapi pria sopan nan berkharisma itu memilih bersikap gentleman dan terhormat.

"Hallo Tuan Abraham, sebuah kejutan melihatmu di sini bersama keponakan saya."

"Keponakan, gadis itu keponakannya Ryu?" Benarkah? Tapi kenapa wajahnya Indonesia sekali ya, tidak ada pula logat kejepangan pada intonasinya.

"Ibu, aku akan membantumu."

Auto aku melirik ke belakang pada arah Rika memanggil, si obasan menatap dingin pada Rika.

Jadi Rika adalah anak si obasan?

"Rika, kamu belum memberi salam pada Tuan Ryu-sama." Tegurnya tidak ada manis-manisnya.

"Tidak masalah."

"Maafkan aku, selamat datang Ryu-sama. Kenalkan dia temanku, dia yang ku sebut boyfriend saat aku kuliah di Stanford dulu." Katanya, memunculkan rona malu-malu yang cantik. Muda dan cantik adalah kekuatan, aku yang mendekati expired tentu kalah saing dengan perempuan itu.

"Duduklah My Belle."

Sengatan panas itu menerpa kulitku, malu dipanggil my belle, panggilan yang terlalu manis, di depan semua orang.

Melirik sekilas pada wajah angker Zachy yang seolah ingin menerkam diriku.

"Nara-chan, kemarilah bersama Oma." Nenek Ryu melambai sayang pada Nara.

"Tidak, aku duduk dengan mama saja." Rengeknya manja padaku.

"Apa kalian saling mengenal? Atau memiliki hubungan sebelum ini?" Nenek Ryu benar-benar tidak bisa berbasa-basi saat tahu Zach tak sedikitpun berpaling dari wajahku. Bahkan mengabaikan gadis yang menyebutnya boyfriend.

"Tentu saja, Tuan Zach Abraham ini adalah putra tunggal atasan saya. Bukankah hubungan kami sangat luar biasa?" Aku memang menjawab pertanyaan nenek Ryu, tapi mataku menatap kesal pada Zach. Apa maunya coba?

"Pantas kalian terlihat akrab, ku pikir kalian lebih dari itu." Sindiran nenek tua yang awet muda itu membuatku memejamkan mata. Inginnya aku menggerutu sebagai rasa tak puasku seperti saat aku melawan Bu Anisa. Tapi aku baru mengenal wanita itu hari ini, mana sopan sih melakukan itu.

"Aku ingin lebih dari itu, tapi dia..."

"Mas, please!" Lelah aku menanggapi pria tidak dewasa itu. Seharusnya Zach bisa melihat pandangan memohon dari mataku agar tidak melanjutkan apapun yang hendak dia katakan.

"Nanti, saat kamu menikah dengan Ryu, ku harap kamu bersedia mendedikasikan diri untuk Ryu dan anak-anak kalian, tidak perlu bekerja lagi."

Owh My...! Intervensi yang sangat luar biasa. Apa mertua pengatur di sinetron ikan terbang itu memang nyata?

"Nenek, kita bahas lain kali soal ini. Malam ini aku akan membawa Nara ke rumahku."

Wajah bayi imut di dekatku ini seketika tampak sumringah saat papanya mengatakan itu. Pipinya memerah sangking bahagianya.

Aneh, kenapa sih, Nara tidak tinggal dengan papanya saja? Aih, teka-teki yang malas ku cari tahu jawabannya. Aku kepo, tapi tak sampai membuatku sampai mati penasaran. Lagi pula aku baru saja memutuskan untuk menjalin hubungan dengan papanya.

Apa nanti Nara akan kecewa juga,saat tahu aku tidak tinggal di rumah papanya? Bukankah itu yang dipikirkan anak kecil ini?

"My belle, aku yakin kamu bisa mengatasi dia atau aku sekalipun. Aku percaya padamu."

Bisik Ryu adem pakai banget. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dari pria bule yang cakepnya tertutup kebrengsekan itu. Sungguh aku kesal padanya.

Rika membantu ibunya menyiapkan aneka hidangan, sebenarnya sudah ada dua pembantu yang mengantar aneka hidangan ala Jepang itu. Dua pelayan itu orang Indonesia yang mengenakan seragam pelayan resmi macam chef. Seharusnya tidak perlu si obasan itu merepotkan diri. Entahlah, bukan urusanku juga. Sampai sini aku masih belum paham hubungan obasan dengan neneknya Ryu. Jelas obasan ini bukan anaknya nenek, dia memanggil madam dan memanggil Ryu dengan akhiran -sama.

Seperti halnya akhiran chan pada nama anak perempuan atau seorang gadis, -sama adalah panggilan hormat pada seorang bangsawan. Mataku membola karena pikiranku sendiri. Jadi pria Jepang yang sedang mendekati diriku ini adalah seorang bangsawan?

"My Belle, kamu mau apa? Kamu punya alergi terhadap sesuatu." Tanya Ryu penuh perhatian. Matanya yang selalu tenang itu menatap teduh. Semoga saja dia jodohku, dan semoga saja aku tidak jadi bodoh dengan terus mengagungkan rasaku pada pria di depanku itu.

Aku menggeleng, senyum terima kasih aku hadiahkan padanya karena sudah berbaik hati memenuhi mangkuk ku. Bahkan Nara juga melakukan hal yang sama dengan papanya.

"Nara chan, kemarilah duduk dekat Oma," nenek Ryu memang tersenyum, tapi itu masih lah cara yang sama ketika menghadapi aku yang hanya tamu. Senyum itu tampak hanya sebagai formalitas belaka. Kasian sekali si kecil Nara.

"Aku mau duduk dengan mama." Setiap Nara memanggil aku mama, entah kenapa mata ini melirik pada Zach yang selalu memberi tatapan mencibir.

Ihh, memangnya kenapa kalau aku jadi mama. Bukankah aku untung banyak, sekali dayung satu dua pulau terlampaui. Enggak cuma dapat papanya yang hot dan potensial, tapi dapat anaknya yang lucu nan imut. Aku tidak perlu susah-susah hamil dan melahirkan anak sendiri tau.

"Nara chan, mama juga harus makan. Bisa kamu duduk sendiri?" Ryu memberikan pengertian pada Nara dengan sabar. Aku tidak tahu apa yang gadis kecil itu lihat dariku sampai-sampai lengket begini.

"Tapi aku mau duduk dekat mama."

"Tentu sayang, kamu bisa duduk disini." Karena ini adalah ruang makan orang Jepang yang mengusung budaya lesehan, maka aku bergeser. Tidak masalah tidak ada bantal tipis sebagai alas, aku wajib menghormati mau Nara sebagai tuan rumah kecil.

Tapi sikapku itu mengundang Rika untuk berkomentar, yang akhirnya aku pahami kenapa pasangan ayah dan anak ini begitu menyukai diriku.

"Sungguh Bu Bella terlalu mirip dengan mendiang Nona."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height