+ Add to Library
+ Add to Library

C23 23

"Jadi apakah wajahku sangat mirip ibunya Nara?" Sahutku tenang walau sesungguhnya aku meradang.

Kok aku pengen teriak kesal ya?

Beruntung aku bisa mengendalikan diri, jadi masih menampilkan air muka baik-baik saja di depan semua orang yang menatap Rika membunuh. Yang mana gadis itu tengah menudukkan kepalanya dalam-dalam, dengan mulut ditutup tangan.

Nenek Ryu melotot, si obasan mendelik, Ryu berdehem mungkin jadi tak enak hati padaku. Hanya Zach yang menampakkan raut datar, namun aku yang paling tahu tatapan mengejek itu.

Hoh, bukan Bella namanya kalau tidak pandai membawa diri. Maka aku memecah keheningan ini dengan berucap kalem.

"Apa Nara-chan menyukai aku karena wajah kami mirip?" Sungguh aku tidak bisa menahan diri tidak mengatakan ini.

Nara mengangguk lalu menggeleng, kemudian isakan sedihnya memenuhi ruang makan klasik tapi tampak mewah dengan beberapa guci serta perkakas makan antik dari keramik.

"Aku hanya kenal mama saja, tidak kenal mama yang di foto itu, huaaa...!"

Ryu mengirimkan sinyal permohonan maaf dari gumaman di bibirnya yang ku balas senyum menenangkan.

"Oh, Nara-chan... Jangan menangis lagi, oke. Ayo kita makan, Nara mau ku suapi?"

Baiklah, mungkin Nara memang ditinggal ke alam lain oleh ibunya sejak anak itu masih bayi. Sementara ini dugaan ku ibu Nara sudah meninggal. Kita lihat nanti ke depannya, apakah Ryu akan menjelaskan sesuatu padaku soal ini.

Lebih baik aku menyuapi gadis yang membuatku kasian ini, sedangkan aku sendiri sudah tidak mood lagi. Memangnya siapa yang suka disamakan? Tidak membuang kemungkinan kalau nanti mereka akan membandingkan aku dengan ibunya Nara.

Zachy pasti sedang menertawakan aku sekarang, kalau melihat senyum kemenangan itu. Cihh, aku tetap tidak akan memilihnya. Walau Ryu seorang duda sekalipun, itu tidak akan mengubah penilaian ku padanya.

Makan malam canggung ini akhirnya berakhir setengah jam kemudian. Andai tidak memperhatikan etika, mungkin aku akan langsung pamit pulang. Apalagi si kecil Nara tidak mau jauh-jauh darimu.

Dengan antusias dia menanyakan banyak hal, sampai pada pertanyaan bernada polos yang keluar dari mulut imutnya membuatku tersedak.

"Apa mama dan papa sudah membuatkan aku adik?"

Astaga Nara ini sebenarnya dibesarkan dengan cara apa?

"Nara, kemasi barangmu secukupnya. Minta Nani membantumu ya?"

Suara lembut Ryu itu mengandung perintah. Nara dengan patuh beranjak dan meninggalkan kami para orang dewasa.

Aku sengaja mengikuti punggung Nara. Wanita yang disebut obasan itu menuntun si kecil. Apakah dia nani yang dimaksud oleh Ryu?

"Nona muda, apakah kamu serius dengan cucuku ini?"

Aku mengernyit atas pertanyaan neneknya Ryu. Wanita yang memperkenalkan diri sebagai nenek Mina ini meminta berbicara secara spesial denganku dan Ryu. Meninggalkan Zach yang maunya ngikut saja.

"Nenek, jangan membuatnya takut. Pertanyaan nenek itu simpan saja untuk nanti."

"Ryu, Biarkan nenek menjalankan tugas nenek sebelum nenek makin renta dan hilang dibawa dewa kematian."

"Nenek, aku dan Bella masih baru memulai, jangan terburu-buru."

"Kamu sudah tua, kamu sudah punya Nara. Sudah saatnya kamu menikah. Ini sudah lima tahun. Memangnya kamu akan menikah umur berapa?"

"Nek..."

"Ingat, kali ini menikahlah dulu. Aku tidak ingin mendengar pacarmu melahirkan cicit yang lain tanpa pernikahan seperti kejadian Nara."

Astagah, aku terperangah. Langsung menundunduk demi menyembunyikan wajahku yang pasti akan terlihat aneh.

Ouh, jadi dia memang lajang dalam arti status di KTP?

Ku pikir, semua pria sama saja. Selangkangan jadi prioritas nomor satu. Sayangnya di dunia ini, jumlah pria dan wanita adalah satu banding empat. Kami para perempuan bisa apa dengan kenyataan itu. Walau potensi si pria celup sana sini sangat besar.

"My Belle, jangan dengarkan nenekku. Memang salah membawa kamu masuk ke duniaku terlalu dini."

Ryu meremas jemari ku diatas pangkuan, ada gelayar hangat yang merambat tembus ke hatiku. Mirip saat Zach melakukannya namun bersama Zach, gelayar itu lebih meletup-letup.

"Nenek, semoga semua perkataanmu tidak membuat dia mundur." Imbuh Ryu sebelum menangkap putrinya yang tiba-tiba duduk diantara kami.

"Mama, ini untukmu." Nara menarikku dari kebimbangan perasaanku sendiri. Menarik senyum simpul, aku menerima dua bulatan kecil cantik yang ku terka berisi coklat. Manis sekali anak ini.

"Apa ini Nara-chan?" Ku lirik wajah Ryu yang selalu teduh, sementara si nenek lagi-lagi memasang senyum hambar tanpa emosi berarti.

Meraba arah pembicaraannya tadi, apakah dia mengira aku dan Ryu sudah tinggal serumah? Iya pasti begitu.

"Nenek," ku tarik Nara duduk dalam pangkuan sebelum melanjutkan.Gadis kecil ini perlu ku amankan dulu sebelum aku menegaskan sesuatu pada Omanya. Walau terselip pertanyaan, kok Nara memanggil Oma bukan nenek dalam bahasa Jepang kalau melihat betapa kentalnya budaya yang mendaging dari si nenek. Kimono dan aksesori rambut si nenek serta bagaimana penataan dan perabot yang Jepang sekali isi rumah ini.

"Saya baru mengenal Mister Ryu, saya juga belum memiliki komitmen apapun dengannya. Benar seperti yang dia katakan bahwa membawa diri ini kesini untuk bertemu anda memang terlalu dini. Tapi saya tidak masalah, setidaknya saya menyukai di mana Nara menyukai saya. Maka saya akan mempertimbangkan dan menjalani hubungan ini. Semoga anda mengerti."

Ah panjang sekali, tapi aku lega. Setidaknya nyonya tua itu tidak perlu berpikir terlalu keras apalagi dengan menaruh harapan terlalu tinggi padaku. Walau apa yang aku tuturkan baru saja membuat wanita itu terdiam.

"Mama, aku ngantuk..."

Lenguhan Nara sungguh efektif mengembalikan nada atas kesunyian canggung sesaat yang tercipta.

Bahkan aku sendiri tidak berani terlalu berharap pada hubungan seumur jagung ini. Maka aku juga tidak akan memberi harapan pada orang lain.

"Nara-chan ingin tidur?"

Gadis itu mengangguk, aku menoleh pada Ryu yang justru memandangku nanar. Dahiku mengernyit halus, apakah aku sudah salah bicara?

Tapi Ryu segera sadar, aku tak pernah meragukan kemampuan pria itu soal urusan pengendalikan diri. Meskipun sekali aku berpikir, Ryu yang seperti ini sesungguhnya karakter yang menyenangkan, cocok untuk pribadi sepertiku yang sedikit suka di manja dan cerewet.

"Ayo kita pulang. Papa gendong Nara, dan mama akan berjalan bersama kita." Pungkasnya ketika Nara hendak menolak papanya.

Maka sebelum kami benar-benar pergi dari hadapan si nyonya tua, aku membungkuk sebagai tanda pamit. Namun seolah ada yang mengganjal karena kalimatku tadi, maka aku meminta maaf.

"Nenek, saya mohon maaf kalau selama saya bertamu sikap dan ucapan saya tidak sopan. Selamat tinggal."

"Jangan ucapkan selamat tinggal. Katakan sampai jumpa, menantu."

Apa?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height