+ Add to Library
+ Add to Library

C25 25

Pagi ini Nara dan Ryu ada di depan pintu unitku. Dengan wajah memerah Nara memelukku, suhu panas terasa begitu menyengat kulitku yang bersentuhan langsung dengan kulit Nara.

"Sayang, kamu demam? Ryu, dia sakit? Apa sudah minum obat?"

Nara meringsek dalam pelukan ketika aku menanyakan keadaannya, yang kemudian mengarahkan pertanyaanku pada Ryu.

"Dia tidak bisa tidur semalam, terus mencarimu. Pagi ini dia tidak bisa minum obat karena tidak mau sarapan. Maafkan aku My Belle, kalau kami mengganggumu sepagi ini." Tuturnya hati-hati.

"Owh Nara-chan, kamu sudah merindukan aku, ya?" Aku menundukkan badan demi untuk meraih anak itu kedalam gendongan.

"Silahkan" sambutku pada pria yang tampak kusut walau rambutnya masih basah, mempersilahkan Ryu masuk. Ku bawa Nara ke dapur mini di unit sederhana ini, di mana meja makan empat kursi aku letakkan.

"Maaf rumahku terlalu sempit untuk disebut sederhana." Ini hanya unit dengan kapasitas 2 kamar tidur. Dengan luas kurang lebih 64 meter persegi. Jelas jauh berbeda dengan kata sederhana seorang Ryu Yoshinaga.

"Ini nyaman." Sahut Ryu mengekor di belakang ku. Pria low profil yang memiliki karakter jauh berbeda dari pria yang semalam meyakinkan aku untuk menjadi kekasihnya.

"Nara-chan, mama hanya punya sereal." Tukasku menyesal untuk gadis kecil itu. Ak memang bukan tipe yang senang memasak. Mie dan makanan instan lain, banyak. Tapi mengingat makan malam di rumah nenek Ryu semalam membuatku tidak yakin untuk menyajikannya pada Nara dan papanya.

"Aku tidak mau makan, aku mau mama saja, huaaaa"

Oh, bagaimana ini? Aku tidak punya riwayat jadi seorang ibu dan menenangkan anak kecil. Biasanya saat para keponakan berkumpul di rumah, aku hanya akan menghadiahi mereka dengan amplop karakter berisi uang. Mereka akan balas menghadiahi aku ciuman lalu asyik sendiri dengan dunia mereka. Jadi aku berpikir cepat untuk meredakan tangis si kecil imut ini.

"Nara-chan, kalau kamu sakit mama akan sedih. Kamu tega mama jadi sedih sepanjang hari?"

Dia menggeleng, "kalau begitu, makan sedikit ya?"

Tapi sebelum aku menuang sereal dan susunya, aku menoleh pada Ryu. "Ryu, Nara tidak memiliki riwayat alergi kan?" Yang Ryu jawab dengan gelengan, ada senyum kecil di bibir tipis pria itu saat menatapku. Menghadirkan rasa hangat yang entah bagaimana rasanya jauh lebih menenangkan dari pada saat bersama Zachy. Ada rasa meletup-letup di jantung, kemudian menyeruak rasa menggeliat di perut, bergejolak menjadi-jadi tiap Zach mendekatiku dengan cara yang intim seperti semalam.

"Anda juga belum sarapan? Mau kopi atau teh?"

Ryu menggeleng, "Teh saja, terimakasih." Katanya kalem.

"Apa tidak apa-apa kalau kalian hanya menemukan sereal? Aku belum sempat belanja, anda tahu bagiamana aku yang pergi pagi pulang malam." Kau terkekeh tka enka, hanya untuk menutupi rasa malu-ku pada Ryu.

Jadi sebelum aku menyuapi Nara yang terus menatapku seolah takut aku menghilang kapan saja, aku menjerang air dalam panci kecil. Biasanya aku meminum teh yang ku beli di mini market dengan merk pasaran. Tapi karena ini Ryu, aku mengeluarkan teh hijau mahal oleh-oleh mami alias Bu Anisa dari China beberapa bulan silam.

"Buka mulutmu sayang, sedikit saja oke?"

Nara membuka mulutnya dengan enggan, baru tiga suapan saja saat panci di atas kompor memperdengarkan suara air yang mendidih.

Maka akupun bangkit untuk menyeduh air dan mengaduk teh. Ku hidangkan tepat di depan Ryu bersama sereal yang sama yang ku berikan pada Nara. Ya ampun, mengapa aku merasa menjadi ibu yang tidak becus mengurus anak dan suaminya, ya? Roti saja tidak ada di meja makan ini. Eh, pikiranku!

"Kamu sudah sarapan, my Belle?"

"Kau baru saja selesai, jangan khawatirkan aku.

Nara-chan, satu lagi ya?"

"Mama... Aku kenyang" rengeknya hendak menangis. Sementara Ryu hanya mengamati kami dari balik bulu matanya. Gestur tenang pria itu sungguh membuatku iri. Andai saja aku memiliki separuh saja ketenangan Ryu saat menghadapi Zachy. Pasti aku tidak akan semudah itu mengangguk pada maunya untuk mengikatku dalam bentuk hubungan berlabel kekasih. Kita tunggu saja, sampai mana keseriusan Zachy padaku, saat aku bilang ingin dia serius memperjuangkan aku pada ibunya.

"Baiklah, sekarang waktunya minum obat." Aku melirik Ryu yang baru saja menyelesaikan sarapannya.

"Obatnya ada di ransel Nara." Ryu berdiri, ku pikir dia akan mengambil obat yang dimaksud dari tas punggung kecil berwarna pink yang lucu milik putrinya. Nyatanya, dia justru menuju kran tempat mencuci piring. Untuk mencuci mangkoknya dan mangkok Nara, setelah membuang makanan sisa Nara pada tempat sampah yang tepat berada di dekat tempat cuci piring.

Aku tertegun, bagaimana pria yang mencuci piring itu bisa terlihat begitu seksi. Sebelum melakukan itu semua, terlebih dulu Ryu menyingsingkan lengan kemejanya. Lalu tanpa kikuk apalagi canggung, si hot daddy itu bergerak natural tapi di mataku terlihat amazing.

"Mama,"

Oh, aku lupa ada makhluk kecil pemilik pria hot itu di sini. Aku nyengir, merasa tolol terpesona pada seorang pria tepat di depan putrinya.

"Oh, Nara-chan, mama akan mencari obatmu." Bergegas aku merogoh isi tas Nara yang hanya berisi mainan, beberapa permen dan coklat serta ponsel. Ini dia, botol sirup turun panas. Ku baca aturan pakaiannya sebelum ku berikan pada Nara.

"Hanya sepeluh mili ya, Ryu?"

Ryu menoleh, dehemannya menjadi jawaban atas tanyaku. Duh, mata teduh itu yang dulu ku hindari kenapa sekarang jadi salah satu favoritku ya?

Aku mengerjap, menggigit bibir untuk menetralisir betapa kacaunya pikiran dan perasaanku. Semalam aku berdebar-debar saat bersama Zach Abraham, sekarang aku tersipu-sipu saat bersama Ryu Yoshinaga. Ya Tuhan, andai perempuan bisa poligami.

Segera ku tuang sirup berbau apel itu ke dalam sendok takar untuk segera kuminumkan pada Nara yang tak menolak.

"Enak?" Tanyaku melihatnya tak rewel seperti sebagian anak sudah minum obat.

"Enak, tapi aku tidak suka itu ma." Katanya meletakkan kepalanya di pahaku, memelukku.

"Iya jangan suka obat. Suka yang lain saja. Misalnya, suka mama." Aku menimpali dengan tangan yang mengusap lembut rambutnya yang mirip sutra.

"Nara memang sukaaaa sekali mama." Nara menguap setelah mengatakan itu, tangannya memelukku mencari kenyamanan.

"Nara ngantuk ya?" Kasian sekali gadis ini. Kalau hubunganku dan Zachy berhasil, apakah berarti aku akan menyakiti gadis imut ini nantinya?

"Dia kurang tidur semalam." Ryu mendekat, membuatku bisa melihat jelas cekungan di bawah matanya yang selama kau mengenalnya tidak pernah ada. Aku memberikan senyum prihatin padanya.

"Nara tidur di sini mau?" Tawarku basa-basi.

"Mau."

Aih, kenapa dia tidak menjawab tidak mau saja. Ku gendong Nara yang segera memelukku untuk bersandar.

"Tapi mama tidak bisa menemani Nara, tidak apa-apa ya?"

"Aku mau mama?" Jawabnya sengau, apa dia terserang flu? Kenapa obat tadi hanya untuk penurun demam saja?

Aku mendesah, bagaimana ini? Aku harus berangkat kerja. Ini saja aku sudah terlambat dua puluh menit dari kebiasaanku yang datang jauh lebih awal sebelum Bu Anisa. Walau sekarang Bu Anisa tidak ada, tapi aku tidak menghilangkan kebiasaanku yang satu itu. Tapi aku tidak tega meninggalkan Nara, apa sopan meninggalkan tamu di rumah sampai jam makan siang nanti?

"Nara-chan, mamamu harus bekerja, jangan membuat masalah. Kita pulang ke rumah nenek, papa janji akan menemanimu hari ini."

Ya ampun badai matahari yang lebih mirip badai asmara menyerang wajahku. Pipiku pasti merona bagai kebanyakan pakai blush-on karena Ryu menyebutku 'mamamu'.

"Aku hanya mau mama." Sahut Nara samar, matanya telah terpejam. Maka saat Ryu hendak membujuk Nara lagi, aku membuat peringatan agar dia diam dengan telunjukku.

Menina-bobokkan Nara dengan tenang, sesekali membelai punggungnya, aku berjalan pelan kesana kemari.

Sementara Ryu memilih duduk sembari meminum tehnya dengan gaya anggun dan keren.

Bell yang ditekan tak sabar tiba-tiba membuat Nara berjengkit, namun segera saja ku tenangkan dengan menepuk-nepuk punggungnya. Beruntung aku kadang maraton drama Korea di mana sesekali akan ada adegan yang menenangkan seorang bocah. Jadi aku menirunya.

Lagi Bell berbunyi, "biar ku buka, my bell."

Aku ingin bilang, 'jangan, biar aku saja' karena aku sudah menebak siapa yang datang. Aih, hari-hari ke depan tidak akan lagi menjadi hari yang tentram Karen dua pria ini.

"Kenapa anda mendekati pacar saya menggunakan putri anda, Tuan Yoshinaga?"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height