+ Add to Library
+ Add to Library

C28 28

Tidak bisa tidak panik, bahkan aku katakutan. Angel sudah pulang. Bahkan aku tidak yakin beberapa karyawan yang ada di lantai ini masih ada yang tersisa mengingat lampu ruangan mati semua.

Aku berteriak meminta bantuan, tapi benar-benar tidak ada orang. Pria yang berusaha tetap berdiri yang kini ku topang ini terengah-engah.

"Ryu ada apa, kenapa anda bisa terluka?" Air mata meluruh begitu saja. Tapi aku berusaha tetap tegar. Aku harus kuat, itu yang terus ku rapalkan dalam hatiku. Berusaha sekuat tenaga membopong pria ini masuk ke dalam lift untuk segera turun dan mendapatkan pertolongan sesegera mungkin.

"Jangan menangis Bella, aku tidak apa-apa."

Bagaimana dia bilang tidak apa-apa, saat perutnya berdarah. Wajahnya sudah mirip warna tembok di kantorku, pucat pasi. Bahkan tenaganya berkurang banyak, aku hanya berharap Ryu tidak pingsan apalagi sampai kehilangan nyawa. Itu adalah hal terakhir yang aku harapkan.

"Ryu, anda masih kuat berdiri?" Ya ampun lama sekali lift ini. Padahal hanya tiga lantai tapi kenapa seperti kami turun dari lantai tiga puluh.

"Ya," katanya lemah. Lift berdenting yang ku syukuri karena akhirnya kami sudah sampai di lobi.

"Tolong Pak Satpam!"

"Bu, ada apa?" Tanya satpam itu terlihat kaget saat melihat darah pada perut Ryu yang ditekan telapak tangan.

"Aku tidak tahu!" Bentakku tak sadar, wajahku sudah penuh air mata. Aku memang cengeng dengan sesuatu yang berurusan dengan luka dan darah.

"Tolong suruh siapa saja membantuku membawanya ke rumah sakit."

"Baik, Bu!"

Lalu terdengar satpam bernama Hariadi itu berteriak memanggil orang-orang yang akhirnya mengerubungi kami. Beberapa diantaranya berinisiatif mengangkat Ryu, memasukkan dalam mobil kantor. Aku juga bergegas naik, duduk tepat disebelah Ryu yang duduk menyandar. Hebatnya walau darah di bajunya sudah begitu pekat tanda pendarahan sudah berlangsung lama, kesadaran masih saja dia miliki.

"Bella, jangan menangis."

"Aku tidak menangisi anda. Aku takut darah."

Bukannya tersunggung Ryu malah terkekeh rendah dan teramat pelan. Pria itu menarik diriku ke dalam pelukannya yang melemah. Tak mempedulikan kalau-kalau darahnya akan menodai pakaianku.

"Ryu, siapa yang menjahati anda?" Sumpah aku tidak lagi bisa menahan diri menanyakan ini. Siapa yang tega melakukan ini.

Bukannya menjawab dengan lugas, pria itu hanya berdehem. Dalam posisi ini, bau parfum maskulin bercampur darah menyatu membuat kepalaku pusing. Sementara tak ku rasakan lagi gerakan dari Ryu. Jadi bergerak menjauh hanya untuk melihatnya tertidur, lebih tepatnya pingsan.

"Ryu, sadarlah! Ryu!"

"Cepetan, Pak supir!"

"Iya bu, tapi di depan macet!" Jawab supir gusar.

"Ya ampun, bagaimana ini! Cari jalan tikus, Pak!" Histeris aku memerintahkan Pak Supir dan satpam tapi bukan Hariadi. Bagaimana ini, situasinya mengingatkan aku pada mami alias Bu Anisa waktu ku temukan pingsan dengan mimisan. Aku takut dan kalut, tidak siap apabila sampai menyaksikan kematian di depan mata.

"Jangan panik, Bu. Pastikan Tuan ini masih bernafas." Ujar satpam yang di dada kirinya bertuliskan Sugiarto.

Aku tak menanggapi si Sugiarto ini. Tapi diam-diam memegang tangan Ryu, memastikan seperti yang dikatakan satpam Sugiarto. Bahwa Ryu masih bernafas dengan suhu tubuh yang ku rasakan makin mendingin, wajahnya semakin pucat.

Air mataku mengalir menganak sungai, tak mau berhenti. Aku takut pria baik ini kenapa-kenapa. Bagaimana nasib Nara yang hanya memiliki dia sebagai orang tua. Tak punya mama saja membuat gadis itu nelangsa, apa jadinya kalau Ryu juga terpaksa pergi meninggalkan gadis itu.

Aku terus mengumandangkan doa dalam hati, agar Tuhan memberikan keberuntungan pada Ryu. Memejamkan mata sejenak, kenapa aku terlalu khawatir pada keadaannya? Terbit sedih yang tak terkira menelusup ke dada. Perlakuan baiknya, perasaan hangat yang ditimbulkan saat dia memanggilku 'my belle', dan usapan lembut jemarinya saat berterimakasih karena aku mengabulkan permintaan Nara untuk hal kecil seperti menyuapi si kecil itu. Semua itu tak pernah ku dapatkan dari Zachy, Rio atau pria-pria yang pernah dekat denganku sebelumnya.

Empat puluh menit yang cukup lama, cukup untuk mengikis harapan mengenai keberlangsungan kehidupan Ryu. Lihatlah saat perawat mengangkat Ryu dan memindahkannya ke brangkar. Ryu terkulai lemas, membuat tangisku makin sumbang.

"Tolong mas, segera lakukan tindakan yang membuatnya selamat. Bagaimanapun caranya." Ucapku memohon.

"Sabar mbak, kita usahakan yang terbaik. Sudah lapor polisi kan?"

"Mana sempat mas!"

"Silahkan lapor dulu mbak, ini terindikasi percobaan pembunuhan. Kami akan menangani sebaik yang kami bisa."

Perawat pria ini benar.

"Tolong ya mas." Mohonku sebelum benar-benar meninggalkan Ryu yang digeledek memasuki UGD.

Sedang aku menuju bagian administrasi, dan meminta tolong pada pegawai disana untuk melaporkan kejadian ini. Setelah beberapa saat pegawai itu mengatakan polisi akan segera datang, si pegawai itu bilang agar aku kembali lagi nanti setelah memastikan kondisi pasien butuh rawat inap atau hanya rawat jalan saja. Ku sampaikan terimakasih lalu bergegas menuju UGD.

Bertepatan dengan seorang perawat yang mengatakan dokter ingin bicara dengan wali pasien.

Maka aku masuk ke UGD, melihat pakaian Ryu yang sudah digunting di bagian luka. Di mulutnya terdapat oksigen yang menopang hidupnya. Mataku kembali memanas, ya ampun kasihan sekali pria itu.

"Dengan wali pasien?" Seorang dokter setengah baya menampilkan muka serius.

Aku mengangguk, "bagaimana dok?"

"Dia kehabisan banyak darah, pukul berapa kejadiannya?"

"Saya tidak tahu dok, dia menjepit saya ke kantor saya dalam keadaan sudah berdarah."

Si dokter tampak prihatin padaku. Ditangannya lembar pemeriksaan pasien yang menampilkan banyak data.

"Anda istri atau keluarga saja?"

"Saya tunangannya." Jawabku tanpa ragu demi semua ini berjalan dengan cepat. Aku khawatir jika aku mengaku sebagai orang lain yang bukan keluarganya, dimana itu berarti aku bukan walinya dokter masih menunda keputusan penting mengenai Ryu.

"Dia harus menjalani operasi segera. Butuh beberapa kantong darah juga karena kondisinya yang sudah seperti ini."

"Apa kondisi golongan darahnya?" Tanya dokter pada seorang perawat yang tengah memeriksa Ryu."

"Di KTP-nya O dokter." Jawab perawat.

"Baiklah dokter. Apapun itu tolong berikan yang terbaik untuknya."

"Kalau begitu silahkan tanda tangani ini." Dokter menyerahkan beberapa lembar kertas padaku. Ku baca sekilas melihat besaran biaya operasi yang bisa ku talangi dulu. Untung uang di ATM ku masih cukup, tidak mungkin aku membangunkan Ryu dulu dan meminta password kartu ATM di dompetnya yang baru saja di serahkan perawat padaku.

Setelah itu, dokter menyuruhku menunggu di luar. Ryu segera di bawa ke ruang operasi beberapa saat setelahnya. Dalam pikiran berkecamuk, ketakutan makin melanda.

Jam menunjukkan angka delapan tiga puluh. Jadi aku mencoba menghubungi Nara. Setelah dering ke empat, panggilanku tersambung. Bukan Nara, tapi suara orang dewasa yang mengatakan bahwa dia adalah naninya Nara bernama Ajeng. Mengabarkan bahwa Nara telah tidur lima belas menit yang lalu.

"Bisa kamu lihat obasan? Bangunkan kalau sudah tidur, tapi tidak kalau itu nenek. Kamu mengerti?" Perintahku pada wanita ini.

"Baik." Begitu jawabnya, meskipun terdengar keberatan. Tentu aku tak paham kenapa begitu. Apa karena aku orang lain yang bukan majikannya.

"Halo, Nona Bella."

"Halo, maaf menganggu istirahat Anda. Tapi ini genting."

"Apa terjadi sesuatu pada Tuan Ryu-sama?"

"Dia sedang menjalani operasi obasan, saya akan mengirimkan lokasi rumah sakitnya."

"Sudah kami katakan padanya, bahwa keputusan menikahimu yang adalah gadis Indonesian menganggu nasib baiknya."

Apa?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height