+ Add to Library
+ Add to Library

C29 29

Memandang pada pintu ruang operasi, berharap mataku bisa menembus pintu kaca itu, melihat bagaimana keadaan pria yang beberapa waktu ini menjadi dekat denganku. Ku raba dada sebelah kiri, ada getar samar yang tak biasa. Berkelebat wajah lemah Ryu yang tetap tenang sepanjang aku menangisi keadaannya. Lalu terbayang pula bagaimana cara pria itu tersenyum saat memperhatikan interaksiku dengan Nara.

Apa sekarang aku mulai memiliki rasa pada Ryu? Lalu kepada Zachy apakah hanya perasaan sesaat saja?

Lama sekali pintu operasi tak kunjung terbuka. Ini terasa mencekam, di mana aku sendirian. Satpam dan supir kantor sudah ku persilahkan pulang. Ku hubungi Angel kalau-kalau wanita itu bisa menemani diriku disini. Dan Angel bilang akan segera datang walau bersama pacarnya. Tapi satu jam berlalu, apa Angel terjebak macet? Dan kenapa dokter-dokter di dalam itu tak ada satupun yang ingin mengabari keadaan Ryu.

Beberapa orang polisi masih berjaga di sekitarku. Memperhatikan gerak-gerikku yang mungkin saja masuk dalam list orang yang dicurigai sebagai tersangka penusukan. Padahal sudah ku jelaskan secara gamblang bagaimana aku menemukan Ryu terluka saat menjemputku dan Ryu tak mengatakan apapun lagi.

Memutuskan menelpon mama dulu di Bandung. Sepertinya aku tidak mungkin meninggalkan Ryu untuk tetap berangkat pulang kampung. Ku sampaikan maaf pada mama yang melayangkan sindiran betapa anak satu-satunya terlalu sibuk, mama merana karena kesepian. Jadi aku kembali berjanji akan segera pulang apabila segala urusanku selesai, mungkin dalam satu dua hari.

Lagipula urusan kantor sudah berjalan sebagaimana mestinya. Segala sesuatu berjalan sesuai SOP yang ditentukan. Jadi dalam bulan ini, aku sudah bisa meninggalkan Jakarta dan meninggalkan Zachy. Banyak orang lain yang akan dengan senang hati mengganti posisiku. Sepertinya bekerja di Bandung di dekat mama akan menjadi pilihanku. Kasihan mama, bertahun-tahun hidup sendirian. Sudah saatnya aku pulang dan menunjukkan baktiku padanya.

Dari lorong sebelah kiri, aku melihat segerombol orang memakai jas hitam tengah berjalan menuju arah ruang operasi ini. Ketika semakin dekat dari jangkauan mata, aku bisa melihat ada si obasan dan nenek Ryu diantara mereka. Wajah orang-orang itu menampakkan gurat tegang dan kaku.

"Bella-chan," suara tenang wanita yang ku perkirakan hampir se-abad itu membuatku bertanya-tanya. Terbuat dari apa hati wanita ini hingga bisa menutupi kegusaran yang hanya bisa ku lihat dari mata berkaca-kaca miliknya. Apa saja yang telah dilaluinya hingga menjadi pribadi kuat macam begini. Lihatlah, pada sosoknya yang tua renta itu tetap terlihat agung dari semua pria-pria gagah yang ku duga adalah para pengawal pribadi keluarga ini.

"Nenek" aku berdiri untuk membungkuk seperti aturan kesopanan orang Jepang.

"Bagaimana dia?" Katanya sembari menatap ruang operasi dengan nanar. Walau segera saja wanita tua itu sembunyikan.

"Saya juga menunggu kabar dokter, nenek." Ujarku masih berdiri demi menjunjung tinggi kesopanan. Padahal setelah melihat begitu banyaknya darah tubuhku melemas seolah kehabisan daya.

"Katakan apa yang terjadi?"

"Maafkan saya karena tidak tahu. Ryu datang ke kantor saya dengan kondisi yang sudah berdarah. Dia tidak mengatakan apapun selain bilang pada saya kalau dia baik-baik saja. Setelahnya dia pingsan di mobil dalam perjalanan ke sini. Mohon tidak menghubungkan kejadian yang dialami Ryu ini dengan kedekatan kami. Maka saya akan sangat berterimakasih."

"Kamu," suara rendah bernada tinggi dari si obasan menandakan dia terganggu dengan omonganku. Sama, aku pun terganggu dengan cara wanita setengah baya itu

Ku hela nafas setelah melirik sekilas wajah tidak suka si obasan padaku. Kemudian terdengar tapak kaki yang berlari sepanjang lorong. Makin mendekat bunyi itu makin keras. Suara terengah yang sepertinya dekat, membuat kami menoleh. Rika ada disini, air mata membanjiri wajahnya yang cantik. Anak rambut pendeknya basah karena keringat dan air mata.

"Bagaimana keadaan Tuan Ryu-sama, apa dia baik-baik saja?" Tanyanya teramat menyedihkan.

Untuk ukuran adik sepupu, walau sampai sini aku masih merasa aneh dengan hubungan keluarga antara si obasan apalagi Rika yang wajahnya Indonesia sekali. Lagu pula, sedekat apakah Ryu dan Rika sampai gadis itu meratap begitu menyayat. Isaknya sungguh bagai tengah teriris sembilu.

"Tolong katakan padaku, setelah aku tahu keadaannya aku janji aku akan pergi. Tolong Bu..." Katanya pilu pada ibunya alias di obasan yang menatap gadis itu mendelik.

Apa maksud semua ini?

"Doakan saja yang terbaik untuknya, Rika. Tunggu dokter keluar." Jawabku apa adanya. Kini mataku menelisik

"Silahkan." Aku menyilahkan nenek Ryu duduk pada deretan kursi tunggu yang di sediakan. Nenek tua berkimono coklat tua elegant itu melengkah mendekat padaku.

Para polisi yang sedari awal menatap kami ingin tahu mendekat.

"Apa anda keluarganya juga? Bisa kami mintai keterangan?"

Nenek Ryu menatapku atas pertanyaan seorang polisi yang mendekati kami.

"Ini percobaan pembunuhan, Nek. Tidak mungkin tidak melibatkan pihak berwajib." Ujarku pada nenek Ryu saat menangkap ketidaksenangan pada wajahnya.

"Benar yang dikatakan tunangan korban." Jawab polisi bertubuh gempal tersebut.

Lagi nenek Ryu menatapku bertanya. Aish, aku memejamkan mata sejenak, merasa situasi ini memojokkan aku di depan keluarga Ryu. Seolah aku ini ngarep banget dinikahi Ryu.

"Agar bisa ditangani dengan cepat saya terpaksa berbohong demi Ryu segera mendapatkan pertolongan di bawah kuasa wali. Maafkan saya." Aku menunduk seakan menyesal. Padahal aku sih tidak peduli, apakah keluarga Ryu suka atau tidak.

"Terima kasih atas dukungan mu pada Ryu." Nenek Ryu menepuk tanganku yang menggenggam terjalin. "Sesungguhnya aku tidak masalah Ryu denganmu atau dengan Rika sekalipun."

Rika?

"Tapi ramalan di keluarga kami tak pernah baik apabila anak cucu kami ada yang memilih berpasangan dengan orang Indonesia asli. Meskipun dengan kamu aku mentolerir, sebab melihat Nara yang begitu lengket padamu. Nyatanya hari ini membuktikan ramalan itu."

"Nenek, maaf ya. Saya tidak paham apa yang anda katakan. Sejujurnya saya tersinggung pada perkataan anda yang seolah mengatakan saya ini pembawa sial. Tapi saya akan tetap disini sampai dokter mengatakan sepatah dua patah kata keadaan Ryu. Setelah itu saya tidak peduli, toh saya hanya dekat. Belum sampai berpacaran dengannya."

Nenek Ryu menatapku lama, ada kekagetan di mata tuanya saat mendengar panjang lebar kata dari bibirku yang menjelaskan dengan tegas apa yang aku pikirkan.

Hingga saat salah seorang dokter keluar dari ruang operasi dengan raut lelah, dan mengabarkan bahwa operasi berjalan lancar. Tinggal menunggu pasien siuman, baru akan dipindahkan ke kamar rawat.

Lega rasanya saat harapanku terwujud. Aku bersyukur pada Tuhan Ryu selamat. Namun suara brangkas yang di dorong tergesa-gesa ke arah ruang operasi membuat kami semua menoleh. Seorang wanita yang hanya pernah ku lihat dari foto terkulai lemas dengan mulut mengeluarkan busa. Bahkan nenek Ryu, obasan dan Rika pun terkesiap melihat wanita itu. Polisi di belakang kami menyapa rekannya yang lain yang datang bersama wanita itu.

"Siap Ndan! Ada korban bunuh diri, Ndan. UGD menyarankan untuk segera cuci lambung, korban ditemukan kurang lebih setengah jam lalu setelah meminum racun serangga. Disinyalir bertengkar hebat dengan seseorang. Ditemukan juga jejak darah tapi bisa dipastikan itu bukan milik korban. Apakah tidak berhubungan dengan kasus sebelum ini, Ndan?"

Laporan yang disampaikan salah satu anggota polisi itu membuat kami semua terdiam. Memikirkan kemungkinan praduga yang disampaikan polisi.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height