+ Add to Library
+ Add to Library

C3 3

Aku dirumah sakit, tengah berbicara dengan dokternya Bu Anisa Handoko. Katanya Bu Anisa butuh istirahat total. Tensinya 200/ 160, aje gile! gula darahnya bahkan mencapai angka 270. Pantas makin kesini badannya makin kurus.

Kalau begini bikin anak buah susah aja. Mana aku belum sempet ganti baju, untung ini aku inget ganti sandal jepit mahalnya beliau tadi di rumahnya. Coba bayangin aja. Ini longdres hitam, tanpa lengan, yang potongan dadanya terlalu turun. Untung payudaraku nggak sebesar Si Angel, kalau enggak udah dikira aktris bokep aja entar.

"Oke, dokter. Maksih ya." tutupku mengakhiri pembicaraan. Kemudian aku menuju ke kamar VIP bu Anisa, memastikan beliau baik-baik saja.

"Gimana Bella, pak Salman? Kamu tadi belum jawab saya."

Hemh, dasar nenek sihir gila kerja. Eh, aku ngatain wanita royal ini.

Bukannya tanya kondisinya yang menurut dokter harus banyak istirahat, eh malah tanya proyek Pulau Bidadari.

"Udahlah mami... "

Itu panggilan sayangku untuknya. Gimanapun wanita yang masih cantik meskipun sakit ini, begitu baik padaku dalam kurun enam tahun ini. Ya meskipun cerewetnya minta ampun. Sukanya nuntut aku lembur 6 hari kali 4 minggu dalam satu bulan. Bayangin aja, betapa lelahnya hayati ini.

"Mami, harus banyak istirahat. Proyek itu beres kok. Mami harus istirahat total. Nggak ada kantor, nggak ada proyek, nggak ada pekerjaan." Ku tepuk punggung tangannya memberi motivasi. Seketika wajahnya menjadi makin pucat dan layu.

"Mimisan yang keluar dari hidung mami, itu peringatan kalau mami terlalu capek kerja. Dokter nggak akan bisa cegah pendarahan masuk ke otak dan membeku disana kalau mami masih kekeh aja buat bekerja. Dokter udah mewanti-wanti saya ini buat pastikan itu. Saya bakal hubungi Mas Zach untuk segera datang."

Begitulah panggilan sopanku pada anak boss ku itu, pada saat mode aku maggil mami sama emaknya. Hubungan kami sedekat itu memang, aku yang sering mendapati wanita yang menua ini tak bisa tidur hampir tiap malamnya. Katanya pekerjaan adalah caranya untuk tidak kesepian dan berpikir macam-macam.

"Tapi Bell, Zach pasti sibuk banget bulan-bulan ini. Harusnya kamu enggak usah ngadu padanya. Toh saya cuma mimisan, enggak sampai pingsan."

"Mami terlalu banyak bekerja. Mami butuh sekretaris baru atau asisten baru untuk bantu pekerjaan mami." Jujur sebenarnya aku lumayan kewalahan sih, bukankah dengan mengatakan saran ini sama cocok dengan peribahasa sambil menyelam minum air.

"Kamu tahu mami bosan dirumah sendirian. Bik Jum, mana bisa ngerti obrolan saya. Bekerja lebih baik dari obat manapun yang diberikan psikiater manapun." Katanya penuh keluhan. Sebenarnya tak sekali ini aku mendengar Bu Anisa membicarakan hal yang sama.

"Mas Zach suruh pulang kesini saja, Mi. Suruh cepet nikah dan punya anak. Dijamin mami nggak akan kesepain." Aku masih mengelus punggung tangannya, dimana jarum infus tersemat.

"Itu masih lama, seenggaknya satu atau dua tahun lagi kalau Zach mau meneruti keinginanku yang satu itu seperti janjinya." Katanya mengerutkan bibirnya.

"Ya sudah mami, tidur aja. Jangan banyak pikiran. Sebentar lagi Angel datang bawain kebutuhan mami selama disini."

"Aku selalu saja repotin kamu ya Bell?" katanya sendu. Aku ingin sekali bilang iya. Tapi mana tega kalau situasinya seperti sekarang.

"Andai aku bisa lupain papanya Zachy. Aku pasti udah bisa punya keluarga lagi. Dan hidup mami nggak bakal begini Bell. Gila kerja, abai kesehatan." lanjutnya semakin melow.

Aku memposisikan diriku sebagai anak buah yang baik, menjadi pendengar dikala bossnya berubah jadi baper. Jadi radio rusak yang curhat menye-menye.

Bip..bip.. Tanda email masuk, di tablet yang aku bawa. Masih heran, kenapa Zach suka banget kirim email.

"Mama drop lagi? Berapa tensinya? Berapa gula darahnya? koj sampai mimisan? Kamu memang enggak becus jaga mama!" si Zach enggak pegal ya ngetik segitu banyak. Kenapa enggak telpon aja sih.

"Pulang nggak lo! kalau nggak pulang, gue taruh emak lo di panti jompo!" Balasku singkat via email juga. Peduli amat dia bakal marah-marah besok kalo udah nyampe sini.

"Bella!!!!! Awas kamu!!!!!" Balasnya dengan taburan tanda seru. Membuatku terkekeh dalam hati. Kalau nggak gitu, kamu susah disuruh pulang jenguk mamamu.

"Itu Zach ya?" Tanya Bu Anisa, wajah orang sakit selalu kelihatan makin menyedihkan.

Kau tersenyum sebagai jawaban. Kemudian menyuruh Bu bosku ini untuk segera memejamkan matanya, karena dia butuh banyak istirahat.

Jadi si Zach Abraham ini menjalankan perusahaan papanya yang tahun lalu mulai pensiun, Mr. Adam Abraham. Papanya udah membagi kekayaannya untuk kedua anaknya, si Zach dan adik satu ayah dari ibu yang berbeda dengan Bu Anisa.

Denger dari bu boss juga, perusahaan yang dikelola si Zach ini lagi ada di puncak. Mungkin dia juga susah sih mau kesini. Denger-denger juga papanya juga sekarat, ups! sakit katanya. Kayaknya Bu bos kepikiran kali ya, pengen jengukin mantan terindahnya di Amrik sono, cuma terhalang sama bini baru si mantan suami.

Setelah si Angel datang dan gantiin aku jaga. Aku pulang dengan janji ntar jam satu malam gantiin dia jaga. Katanya pacarnya mau dateng dari Bali naik penerbangan malam. Jadi jam 1 nanti dia bakal ke airport buat jemput doi-nya. Oke lah. Aku Cuma butuh baju yang nyaman buat tidur di rumah sakit, bersihin make-up dan mandi air anget. Nanti jam 10 aku kesini lagi. Jadi aku nggak perlu nyetir malam-malam ke rumah sakit. Apalagi kalau harus parkir di besmen rumah sakit yang serem kaya begini.

*****

Matahari udah mulai nampak. Aku mandi dan dandan kilat di toilet kamar rawat Bu Anisa. Sudah berasa cantik dengan setelan semi formal yang sengaja ku siapkan sejak semalam. Celana warna grey dan kemeja pink setengah lengan plus asesoris di leher. Ingat kata Anisa Handoko,

"Kamu harus jadi bayang-bayang yang elegan buat seorang Anisa Handoko, kapanpun dan dimanapun."

Kenyataannya, sekarang dia tertidur pucat di kasur rumah sakit dengan keadaan yang jauh dari kata elit. Memangnya ada orang sakit yang musti dandan? Pikirku bodoh.

Brak!!

Haduh, hampir copot ini jantung.

Hell!! ini bule kagak ada sopan-sopannya, masuk kamar rawat pasien, sekalipun pasien itu ibunya.

"Hellow....! Bu Anisa enggak mau ketambahan penyakit jantung kali ya! Buka pintu kamar rumah sakit kayak depkolektor sembelit aja!" semprotku.

Perlu kalian tahu ya, si Zach ini teramat lancar berbahasa indonesia, bahkan makian ala-ala pun dia fasih.

"Bella!!" katanya geram, suaranya keluar dari sela-sela giginya yang kinclong. Rahang tegasnya mengeras menahan emosi yang selalu sering muncul saat ketemu aku yang dianggapnya tidak pernah sopan.

"Iya bapak. Ibu lagi di kamar mandi di bantu perawat." Kataku jadi sok manis, radar di otakku mulai mencium tanda kemarahan Zachy Abraham pada ibunya sebentar lagi.

"Sejak kapan saya jadi bapak kamu!" Katanya galak. Duh galak aja masih keliatan cakep. Liat saja perawat-perawat yang masuk kamar ini bentar lagi. Pasti pada ngiler liat dia. Mungkin cuma aku disini yang udah geleng-geleng kepala sama anak semata wayang bu bos ini karena sudah tau tabiatnya.

Herannya aku, kenapa tiap liat aku, gayanya persis orang kesurupan. Bawaannya selalu marah-marah enggak jelas.

"Saya pikir, kamu udah kirim mama saya ke panti jompo." Katanya mendelik serem. Lah alamat RS yang aku kir apa kurang jelas? Lah dia masuk sini kan tahu, kalau ini RS bukan panti jompo. Ayak-ayak wae!

"Duileh, mana ada anak buah yang bisa nggiring bos besarnya ke tempat kaya begitu."

Aku bener-bener memutar bola mata tanpa tedeng aling-aling. Hadeh, si Zach ini.

"Nggiring? Emang mama saya bebek sawah, digiring?" Aku hanya berdecak, malas nyahut.

"Kalian ini jarang ketemu, tiap ketemu udah kaya anjing dan kucing." interupsi bu boss tepat saat keluar dari kamar mandi.

Apa aku bilang, perawat yang bantuin bu boss jadi megap-megap kaya lohan kekurangan air kan?

"dia anjingnya"

"dia anjingnya"

Itu suara kami kompak nggak mau ngalah.

"Ya udah Mami, aku ngantor dulu. Sekertaris pak salman, sudah diperjalanan menuju ke kantor. Mengenai kontraktor Jepang, asistennya udah konfirmasi bahwa besok Mr.Yoshinaga bersedia menemui ibu, tapi..."

Aku melirik bu bos yang tengah melirik anaknya yang nggak tau diri itu.

"Utusan pak salman kamu bisa handlekan Bell?" Tanya Bu Anisa penuh tuntutan padaku.

"Kalo kontraktor Jepang itu..." Kata si emak ragu, masih melirik anaknya yang enggak peka..

"Oke, fine. Aku yang bakal ketemu. Tapi Ma, mama tau aku nggak terlalu paham pekerjaan yang mama geluti inj. Katanya setengah frustasi."

"Itu, si Bella, selalu ada buat kamu, kapanpun kamu butuh." Kata bu boss besar.

Si arogan itu, memalingkan muka jauh dari aku yang bersedekap dan nyandar di jendela kamar VIP ini. Sama persis dengan apa yang dia lakukan. Aku juga ogah ngeliat muka juteknya. Eh bu boss malah bilang begini:

"Uughh kalian berdua, lucu sekali. Andai kamu punya adik cewek pasti seru begini, tiap pagi dan malam di rumah bakalan rame." melow lagi kan bu bos ini.

"Tuh kan, Mami enggak boleh mikir aneh-aneh lagi. Dokter bilang apa semalam, ingat. Ya udah ya, aku berangkat." Aku mendekati Bu Anisa dan mencium dua pipinya.

"Heh lo," tunjukku pada si Zach.

"Jangan tinggal mama lo, kalau enggak, gue bawa ke panti....." Aku belum selesai ngomong Zach sudah memotong.

"Bella!!" dia menggeram marah dengan nada yang terdengar rendah.

Tawa kecil Anisa Handoko memenuhi kamar rawat ini. Suara bu boss begitu ceria. Tentu anak adalah pelipur lara bagi setiap orangtua, kesedihan yang dirasa semalam hilang tak berbekas.

"Dokter nungguin kamu setengah jam lagi." Ingatku padanya dan segera berlalu keluar kamar.

"Segera cari pasangan nak."

Obrolan ibu anak itu tak lagi terdengar, seiring langkah kakiku yang semakin menjauhi kamar rawat itu.

OMG, betapa capeknya hari-hariku kedepan tanpa bu boss.

****

Hmmm.nikmat mana yang kau dustakan, saat berendam aroma therapi dengan air hangat, ditemani alunan musik yang aku sukai.

Kring!!!!

Oh shitt!! Dering ponselku mengganggu. Siapa lagi ini? Enggak penting, awas!

"Bella, jemput saya, nggak peke lama!" Suara Zach Abraham yang menyebalkan menggaung dalam jaringan.

"Oh bapak. Bapak mau kemana? Matahari udah mau tidur bapak." Kataku dengan sabar mengingatkan.

"Kamu ini, mama saya dirumah sakit, blabla." Aku jauhkan ponselku dari kuping yang udah mulai memanas dengerin suara bawel si Zach.

"Bella, pokoknya aku tunggu kamu dirumah. Kita kerumah sakit se-ka-rang!" Teriaknya, saat ku tempelkan lagi itu ponsel ke telinga.

Emang dia nggak bisa apa berangkat sendiri. Huft!! Bukannya ada Pak supir ya?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height