+ Add to Library
+ Add to Library

C31 31

"Mama kenapa Nara mendadak pindahan ke rumah mama?"

Aku berpikir keras, bimbang antara ingin jujur bahwa papanya sedang sakit atau menyembunyikan kabar buruk ini dari Nara.

"Nara-chan," Setelah semingguan ini berinteraksi dengan Nara, aku menyimpulkan bahwa Nara adalah gadis yang cerdas. Dia bisa mengatakan hal-hal yang tidak akan bisa diucapkan anak seusianya.

"Nara, apakah papa atau nenek pernah menceritakan sesuatu tentang mamanya Nara?" Aku sungguh ingin tahu tentang wanita yang digeledek di atas ranjang pasien tadi.

"Mamanya Nara?" Itu mama kan, bukan yang di foto itu?" Nara cemberut, tahu arah pertanyaanku.

"Maksud Mama Bella adalah mama bertanya tentang mama yang di foto itu." Jawabku kalem dengan menegaskan namaku untuk membedakan mama yang aku maksud, tak ingin gadis kecil itu merasa terancam juga.

Nara menggeleng, "mama yang di foto itu sudah ada di surga saat melahirkan Nara. Tapi ada seseorang yang sama persis dengannya. Nara pernah tidak sengaja bertemu saat keluar bersama Rika-chan." Katanya lirih.

"Oh, ya?" Lalu kenapa Nara tidak menyukainya saja, kenapa justru memanggilku mama di pertemuan pertama? Atau apakah Nara juga melakukan hal yang sama pada wanita itu sama seperti saat bertemu denganku.

"Tapi aku tidak menyukainya," imbuh

Nara cepat. Mimiknya terlihat serius, mungkin dia takut aku kecewa karena ada mama lain selain aku.

"Kenapa, boleh mama tahu?" Ku belai rambut hitam Nara yang tebal dan halus. Kami duduk di atas ranjang, sementara saat ku jemput tadi Nara sudah tertidur sejak sejam lalu kata naninya.

"Karena Rika-chan bilang, dia mengambil wajah orang lain."

"Maksudnya?" Aku justru merasa aneh dengan kalimat 'mengambil wajah orang lain' yang dikatakan Nara. "Dia kembaran mama Nara yang di surga? Begitu?" Jelasku tak ingin keliru.

"Mungkin saja, Ma... Aku tidak tahu." Nara mengendikkan bahunya yang kecil dan ringkih.

"Kamu pernah cerita sama papa soal ini?" Gadis yang duduk di kelas satu itu menggeleng.

Nara mengangguk, "tapi papa sepertinya marah. Tidak suka ketika aku bertanya. Papa bilang, itu orang lain yang hanya mirip."

"Mama Bella juga mirip." Aku ingin tahu lebih jelas, bagaimana penilaian Nara pada perempuan itu.

"Tapi Mama Bella orang baik, wanita yang mirip mama yang di surga itu kasar pada Nara. Bilang Nara anak sial." Air mata merembes dari sudut-sudut mata Nara. Bahkan nafasnya mulai tersengal tapi gadis itu masih berusaha menjelaskan.

"Kenapa dia bilang Nara pembunuh? Huaaaaa!" Tangis Nara pecah, tak lagi terbendung. Dia memelukku erat-erat, kalau begini aku lebih baik tidak mengatakan kalau ayahnya sedang berjuang melawan maut.

"Sssttt... Nara, maafkan mama ya, sudah mengingatkan Nara pada wanita jahat yang mengatai Nara. Sst... jangan menangis Nak...!"

"Mama, bilang saja kalau tidak suka pada Nara, kalau Nara nakal, tapi jangan mengatai Nara, aku nanti sedih..." Katanya sambil terisak dalam pelukanku.

Ku usap punggungnya, berharap dia akan tenang dan akhirnya tertidur. Hingga beberapa menit berlalu, benar saja Nara sudah berhasil mengarungi mimpi, nafas halusnya jadi bukti. Dia memeluk boneka dengan erat, seolah boneka kecil itu mampu melindungi dirinya dari apapun. Kasihan sekali anak kecil ini. Semoga keadaan Ryu membaik, agar Nara tak jadi sebatang kara.

***

"Mama... Bangun... Ma..." Selain suara Nara, tangan mungil gadis itu menepuk-nepuk pipiku lembut.

"Papa menelpon, Ma"

"Hah?" Mimpi yang aneh, sejak kapan aku punya anak dan suami, sih?

Heh, aku ngomong apa? Mengerjap menyadarkan diri, otakku segera saja terkait. Ini kan Ryu Yoshinaga dan putrinya.

"Mama... Papa mau ngomong" ujar Nara sekali lagi, matanya kelihatan bengkak. Pasti bekas tangis semalam.

Aku berdehem sebagai jawaban, diam-diam bersyukur akhirnya pria itu sadar. Tapi aku sangat tahu kondisiku, sehingga segera bangkit hanya untuk bercermin sebelum duduk di dekat Nara yang tengah melakukan panggilan video.

Loh sejak tadi Nara mengaktifkan kamera belakang? Jadi Ryu tahu, apa yang ku lakukan? Aisah, memalukan. Ku singkap rambutku ke belakang, semoga begini lebih rapi.

Yang pertama ku lihat, adalah senyum Ryu yang lebar. Wajahnya masih begitu pucat, posisinya juga masih tiduran.

"Kamu cantik dalam kondisi apapun, my belle" ucapnya membuatku makin merona, karena ketahuan bertingkah memalukan.

Tanpa ku duga aku melihat senyumku begitu sumringah pada layar ponsel 5,5 inchi milik Nara. Hatiku membuncah penuh puji-pujian pada Tuhan, pria itu selamat. Ya ampun, serasa ada uforia berlebihan dalam rongga dada hingga perut saat melihat pria itu tersenyum lemah padaku.

"My Bell..."

"Ryu, anda bangun? Huuhuu..." Tangisku pecah, pria yang semalam berdarah begitu banyaknya. Pria yang tiba-tiba terkulai diatas pundak kini sadar. Padahal dokter menginformasikan pada nenek Mina Izumi, neneknya Ryu bahwa lelaki itu dalam keadaan koma.

"Bella..."

"Mama..."

Aku tidak peduli pada kebingungan pasangan ayah dan anak itu. Aku ketakutan kalau sampai hal buruk terjadi padanya di depan mata.

"Ryuu... Bagaimana perasaan anda? Anda baik-baik saja? Pasti sakit sekali ya?" Mulutku ini tidak bisa berhenti bertanya, sementara pria itu terkekeh tertahan. Jelas dia wajib menahan gerakan seminim mungkin agar jahitan yang masih basah itu tidak kembali terbuka.

"Bella, kenapa menangis, kamu baik-baik saja?" Katanya dengan raut yang jadi khawatir melihat tangisku yang tak kunjung reda. Kenapa dia balik bertanya aku baik-baik saja, orang yang terluka parah itu dia sendiri. Aku menangis karena mengkhawatirkan dia kok.

"Aku takut, melihat bagaimana semalam anda pingsan dan berdarah." Jujurku sembari menyeka air mata. Menggigit bibirku yang bergetar agar tak kelepasan meratap.

"Papa, berdarah? Papa luka?" Tanya Nara dengan wajah yang memerah hendak menangis.

"Nara, jangan ikutan mama nangis." Tuturku, tanganku yang tak memegang ponsel meraih dia dalam pelukan. Tapi nafas Nara makin kembang kempis, hingga akhirnya tersengal menjadi tangis.

"Huuaaa papa..." melihatnya begitu aku tak tahan, jadi jangan salahkan kami para wanita kalau melampiaskan kesedihan dengan tangisan.

"Kenapa kalian berdua malah menangis, Bella... Nara..." Serunya samar, karena teredam dengan tangisan Nara yang lebih keras.

"Mama, ayo antar aku ketemu papa..." Nara merengek dalam tangisnya yang kunjung selesai.

"My Bell, datanglah kalau kamu luang, tak apa kalau membawa Nara. Aku baik-baik saja. Kalian jangan menangis, oke?"

"Tentu, kami akan segera datang..." Aku menghentikan keharuan ku yang jauh dari kata elit. Masih terisak aku menawari Ryu sesuatu yang mungkin saja dia butuhkan.

"Ryu, anda ingin dibawakan apa?"

"Aku sulit makan masakan rumah sakit, bawakan bubur saja ya... Apa aku tidak merepotkan dirimu, Bella?" Ryu yang kalem dan sopan begini membuatku merasa adem.

"Tentu tidak kok." Jawabku cepat, lebih cepat dari yang ku duga.

"Kenapa mama tidak tanya Nara juga?" Protes Nara membuatku bertanya, memangnya dia mau apa? Apa ini terkait menu sarapan?

Oh, lucunya gadis ini kalau sedang merajuk. Pipinya digembungkan sedang bibirnya mencucur imut. "Baiklah, Nara mau sarapan apa?"

"Apapun asal mama dan papa tinggal bersama Nara."

Hah?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height