+ Add to Library
+ Add to Library

C33 33

Aku tertawa tanpa humor, menggeleng tak habis pikir pada pertanyaan Zachy. Apa dia sedang balas dendam padaku? Kalau iya, Zach Abraham sangat tidak dewasa sekali kalau begitu. Abaikan saja dia Bella, sudah tidak jelas childish lagi, begitu pikiran ini menenangkan diri agar tidak tersulut emosi.

Maka sejak menit itu aku mendengar obrolan mesra Katherin yang terus dijawab tak kalah mesra oleh Zach. Sesekali jawaban Zach terdengar tidak nyambung karena justru terkesan menyindir ku. Dua jam itu terasa lama, Ya Tuhan... kenapa tidak Kau buat mereka berdua terjun bebas saja sih. Geram hatiku mengutuk tiada henti. Aku yang semula sedikit cemburu kini jadi emosi. Apakah Zach tidak sabar menunggu landing dan kita bisa bicara berdua saja menyelesaikan urusan yang belum selesai? Itu pun kalau dia ingat apa yang dia janjikan soal melamarku pada mama waktu itu.

"Zach, apa yang disukai mama mu dari wanita itu sih, lihatlah penampilannya membosankan sekali." Katherin seperti sengaja memprovokasi diriku, tapi malam ini energi ku sudah banyak terkuras. Kalau aku melayani omongannya kalau aku tak bisa sabar dan berakhir adu jambak, aku tidak yakin bisa menang.

"Dia asisten, selebihnya dia hanya perempuan matre yang menilai pria hanya dari uang dan jabatan." Jawab Zach tega. Suaranya itu penuh dengan nada jijik yang mengganggu.

Ku gigit bibir ku, tindakan ku membatu Ryu dan Nara mungkin memang salah tapi Zach juga masih bukan suami ku. Aku bisa maklum kalau Zach marah. Dia memang pantas ngambek padaku, tapi kalau itu menjadi dasar menilai diriku sebagai manusia yang materialistik, maka Zach sudah keterlaluan.

Mataku berkaca-kaca, mencoba menulikan telinga baik-baik. Sekarang aku tahu, hubungan ku dan dia telah berakhir semenjak dia mempercayai penilaiannya sendiri terhadap diriku. Maka sebaiknya aku diam dan hanya bertindak sebagaimana seorang asisten saja. Menelan nyeri yang berkumpul di dada, aku membuang mataku jauh dari pasangan itu. Air mata lolos dari sudut mata. Cukup Bella, tak perlu menjelaskan apapun pada Zach.

Sampai di penthahouse kediaman Bu Anisa, aku menuju kamar tamu yang selalu disediakan asisten rumah tangga khusus untuk diriku ketika aku berkunjung. Bu Anisa telah tidur, mengingat ini sudah tengah malam. Jadi aku segera membersihkan diriku dan melupakan apapun yang mencemari pikiran ku seharian ini untuk kemudian memaksa memejamkan mata, walau itu hanya tinggal lah rencana.

Menengok nakas, aku tidak menemukan segelas air putih atau hanya botol air mineral yang biasanya selalu tersedia. Tenggorokan ini terasa begitu kering, mengingat di pesawat dan sepanjang perjalanan dari changi airport ke sini aku tidak sempat meminum barang seteguk air saja. Jadi aku memutuskan turun menuju ke dapur.

Dasar sial, sekembalinya dari dapur aku justru mendengar suara rintihan dan desahan yang Intens dari suara yang aku kenal. Itu dari sebuah kamar yang saat aku lewati tadi masih tertutup anehnya saat aku kembali menuju ke kamarku pintu kamar tersebut sedikit terbuka menampilkan adegan yang tak sewajarnya aku saksikan.

Zachy tengah memangku Katherine yang mengenakan baju tidur satin transparan. Memperlihatkan lingerie merahnya yang menggoda. Bibir masing-masing dari orang itu saling berpagutan dan mencecap sampai menimbulkan suara kecipak yang menjijikan. Aku tidak tahu apa yang membuat kaki ku terpaku hingga berdiri berlama-lama di depan pintu kamar Zachy atau mungkin kamar Katherin, aku tidak tahu. Karena yang aku tahu saat ini, hatiku sakit tapi tak berdarah.

Aku yang tengah membekap mulutku dengan sebelah tangan jadi membelalakan mata, saat Zachy menemukan aku yang pasti dikira sengaja mengintip. Matanya menatap ku dingin dan kelam, maka dengan tenang aku mengambil langkah seribu untuk segera menuju kamar ku sendiri. Ini sudah jelas, pria Abraham itu memang mempermainkan aku saat mengatakan akan melamarku secara langsung pada mama.

Sesal di dada ini kian menumpuk bercampur dengan marah, sedih dan kecewa. Mengapa aku musti jatuh cinta pada si brengsek hobi selangkangan itu. Air mata sudah tumpah pada bantal silikon berbalut sarung warna abu-abu terang. Segera keputusan untuk berhenti dari Womenize ku ambil. Esok hari saat pagi datang, pertama kali yang akan aku bicarakan pada Bu Anisa adalah soal ini.

Sebelum mimpi buruk soal kejahatan Zachy padaku menghantui, aku menangis sampai lelah.

***

"Bagaimana Bell, kamu sudah ketemu Katherin kan? Serasi tidak dengan Zachy? Dia itu anak kenalannya Vivian, ibunya asli Singapura. Bapaknya temannya papanya Zachy loh, jadi selain bakal jadi pernikahan bisnis untuk perusahaan Zach di Amrik, pernikahan ini bakal jadi pernikahan paling romantis seperti impian mami." Bu Vin berbicara dengan mata berbinar antusias. Tangannya bergerak aktif kesana kemari sebagai ekspresi kebahagian yang begitu terpancar.

Sementara aku cengengesan dengan hati yang remuk redam. Anak brengseknya itu sudah memberik ku harapan palsu, lalu menghempaskan aku begitu parah. Piring kosong di depan ku menjadi saksi betapa sesungguhnya aku ingin kabur dari tempat ini.

"Tante..." Aku mendapati Katherin berdiri di ujung tangga, bagusnya perempuan itu sendirian tanpa si Zach.

"Maafkan aku, bangun kesiangan. Aku terlalu lelah semalaman..." ih, tidak tahu malu. Apa maksudnya coba berkata demikian dengan wajah malu-malu kucing begitu.

"Oh, tidak masalah. Mana Zachy, apa dia belum bangun?" Bu Anisa melambai ramah, meminta Katherin mendekat untuk menempati tempat duduknya. Coba kalau aku yang begitu, maka Bu Anisa akan mengatai ku kumpul kebo lah, zina di larang undang-undang negara dan agama, bla bla bla. Sudahlah, ngomel sendiri dalam kepala begini lama-lama membuatku mengidap skizofrenia.

"Aku dengar dari Vivian mama mu melebarkan usahanya lagi di Kuala Lumpur ya, Kate?" Untuk kalian ingat, Vivian itu adik sekandungnya Bu anisa. Aku ingat wanita itu juga sempat menawarkan pekerjaan padaku kalau aku bosan bekerja dengan kakaknya. Maka itu bisa jadi batu loncatan setelah aku mengundurkan diri dari Womenize.

"Benar Tan, aku berharap pertunangan ku dan Zach bisa digelar di Kuala Lumpur saja, sekalian untuk mempromosikan usaha mama ini? Boleh ya Tan?" Katherin melirik ku, aku tidak paham untuk apa dan kenapa wanita itu memperlihatkan ketidakpuasannya padaku sejelas itu, padahal aku tidak pernah bersinggungan dengan dia, orang baru kenal.

"Sure, tante setuju saja. Kalau kamu dan Zach sudah sepakat mama, mengapa tidak. Zachy akhirnya mau menjalin komitmen saja tante sudah sangat bahagia. Makasih ya, Kate."

Si Katherin hanya tersenyum simpul, rona wajahnya yang memerah mengatakan segalanya.

Bu Anisa dan Katherin tersenyum pada pemilik langkah kaki yang mendekat menuju ruang makan. Tanpa menoleh aku tahu dia siapa. "Ini dia yang ditunggu, akhirnya sudah bangun." Ujar Bu Anisa.

Pria yang katanya Katherin hendak menikahinya, yang semalam make out dan mungkin juga making love itu berdiri di belakang ku. Harum parfumnya yang masih sama seperti terakhir kali terhidu penciuman. Aku menunduk, meremas serbet yang telah ku gelar di pangkuan. Benci ku rasakan pada pria sialan ini.

"Maaf aku terlambat, mengapa kalian belum sarapan? Seharusnya tidak perlu menunggu ku." Katanya sembari menyeret kursi tepat di sebelah ku. Bukankah itu aneh?

"Zach..." iyu suara keberatan Katherin karena Zach tidak duduk di sebelahnya.

"Dia bukan wanita yang bisa kamu cemburui, sama saja aku duduk di manapun. Dia bukan apa-apa." Aku ingin berteriak di depan muka Zach, 'mulut mu bajingan!' Tapi ku hembuskan nafas lewat mulut, mengontrol diri hanya karena di sini ada Bu Anisa dan Katherin.

"Sudah lama sejak terakhir kami mama sarapan denganmu, tentu saja kami menunggu kamu. Oh iya, kalian selalu saja bertengkar saat ketemu." Imbuh Bu Anisa pada ku dan Zachy.

"Jangan kaget Kate, mereka ini selalu saja berdebat seperti anjing dan kucing, tapi Zach sudah menganggap Bella seperti adiknya, begitu pula tante yang menganggap asisten tante ini seperti anak sendiri." Bu Anisa menjelaskan pada Katherin yang wajahnya sengak saat menatap ku, tapi jadi manis saat menatap Bu Anisa dan Zach. "Benar kan Zach?"

Zach yang sejak awal memusatkan perhatiannya padaku, justru mengeluarkan kalimat yang pasti setelah ini akan memicu banyak sekali masalah.

"Apa mama tahu, aku tergoda dan jatuh cinta pada Bella, Ma?"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height