+ Add to Library
+ Add to Library

C35 35

Mulanya Bu Anisa memang terlihat biasa saja ketika aku meminta waktu untuk membicarakan soal pekerjaan. Padahal aku sempat was-was mengingat tabiatnya yang suka ceplas-ceplos.

"Maaf mami, sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk aku resign. Mama benar-benar menginginkan aku menikah. Mami pasti ingat aku pernah cerita, kalau mama ku hendak menjodohkan aku dengan lelaki kampung halaman." Hati-hati ku utarakan niatku.

"Yakin dengan omonganmu itu?" Tatapan mata Bu Anisa menajam. Aku tahu mungkin dia curiga mengapa tiba-tiba. "Kamu enggak lagi main belakang dengan Zach dari ku kan?" Itu pertanyaan yang lahir dari pertanyaan sebelumnya.

Kenapa dari semua frasa, Bu Anisa justru memilih frasa main belakang. Otak ku kan jadi tidak beres. Main belakang, apakah itu do*y style? Apakah Zach dan Katherin juga memainkan gaya itu. Iyuh, kenapa dengan otak ku ini.

"Mami, aku benar-benar tidak mengerti dengan maksud mami"

"Jangan sok polos deh Bell, bukannya kamu seneng denger pengakuan si Zach yang bilang jatuh cinta sama kamu? Jangan mimpi ketinggian dari orang ya, inget dimana tempat mu. Kamu cuma asisten, masak aku dapat mantu asisten sih? Kamu tidak sepadan dengan Zach. Putraku layak mendapatkan yang lebih baik. Coba banyangkan kalau aku di posisi kamu, apa kata orang?"

Aku diam menahan segala rasa yang berkecamuk dari hinaan bos besarku ini. Seharusnya aku tidak perlu merasa ingin menangis, tapi menangis juga naluri, maka ku telan air mata ku kuat-kuat. Jangan sampai tumpah kalau tidak mau terlihat sangat menyedihkan di depan wanita yang sudah memiliki andil dalam karierku ini.

"Saya pikir, pengunduran diri saya secara verbal ini sudah cukup dimengerti. Terima kasih atas segala yang ibu berikan buat saya. Saya permisi bu." Aku bangkit berdiri, walau dadaku bergemurih hingga lutut ku bergetar, aku masih bersikap formal untuk terakhir kali yakni menganggukan kepala ku beberapa detik untuk kemudian keluar dari ruang kerja mewah ini. Tak lagi ku pedulikan teriakan Bu Anisa yang meminta aku kembali karena dia merasa pembicaraan kami belum usai.

Zachy berdiri di antara megahnya penthahouse yang aku tahu diberikan sebagai hadiah oleh mantan suami bu Anisa kepadanya, sebagai salah satu kompensasi perceraian, yang anehnya itu baru diberikan setahun lalu. Ah, cinta memang rumit, selalu ada penyesalan dari segala keputusan. Begitu pula diriku saat ini, keputusan yang ku ambil hari ini mungkin akan membuatku menyesal karena resign tanpa pesangon.

Zachy menatap ku rumit dengan wajah dingin. Air muka yang seperti itu seolah menyimpan dendam yang aku sendiri tak tahu kenapa sampai begitu. Bukankah setelah mencampakkan aku, dia malah mendapatkan jackpot seorang model?

Aku sengaja hanya melewati si tuan muda ini tanpa perlu menoleh. Harga diriku terlalu terluka setelah apa hang diucapkan ibunya, sehingga aku juga tidak perlu merasa meluruskan kesalahpahaman si Zach atau kecemburuan tak berdasar pria itu pada Ryu Yoshinaga.

"Berhenti." Perintah itu sungguh terdengar mendominasi, penuh keangkuhan dan tak mau dibantah. Aku memang berhenti hanya untuk merasai rasa sakit di dada ini. Tidak, aku tidak akan menoleh pada dia yang tak bisa ku gapai.

Belum apa-apa sudah tak dipercaya, pasangan seperti ini berpotensi membawa hubungan menjadi tak sehat. Maka kembali aku mengayunkan langkah dengan mantab. Aku bukan lagi bagian dari Womenize, bukan lagi asisten Bu Anisa, tidak ada kewajiban aku menuruti perintah Zach.

"Bella Permata!" Sentaknya menggelagar dalam ruang luas berarsitekstur modern glamour, kali ini aku menghentikan langkah walau masih tak berbalik.

Takut? tentu ada rasa takut terbersit. Bagaimana kalau Zach sampai melakukan sesuatu seperti kekerasan misalnya. Bukan kah pria yang sedang cemburu buta seperti Zach cenderung gelap mata. Apa salah kalau aku mengatakan Zach adalah seorang posesif?

Ku dengar langkah panjangnya mendekati posisiku. Aku meremas rok ku. Mengalihkan rasa takut.

"Bella, apakah aku tidak ada harganya di matamu sampai kamu merasa tak perlu mendengarkan aku?"

Aku diam, memejamkan mata erat-erat. Tidak mau menjawab tuduhan Zach yang aku juga tidak tahu pasti jawabannya.

"Jawab Bella!" Zach membalik tubuhku, dipengangnya lenganku dengan masing-masing tangan besarnya. Kepalanya menunduk agar sejajar dengan tatapan ku. Mata Zach memerah, tanda emosi telah menguasai dirinya.

"Mengapa diam Bella? Kamu tidak tuli kan?"

Aku sudah mengusahakan agar air mata ku tak jatuh, tapi situasi seperti ini membuat tangis yang ku tahan tak terbendung lagi. Ada keterkejutan dalam air muka pria itu saat melihat diriku yang tak berdaya begini.

"Apa yang kamu inginkan mas?" Lirih ku katakan, menahan agar suara ku tak tertelan. Ku tahan sesak, melupakan penghinaan dari Bu Anisa, ibumu. Dan sikapmu yang tak terkontrol, mas. Suara batinku, merintih.

"Bella aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan dengan mama, tapi aku juga berhak mendapatkan penjelasan darimu." Katanya melepaskan lenganku.

Aku menggeleng, aku sudah terlanjur sakit hati dengan orang-orang ini. "Aku mengundurkan diri dari Womenize dan Bu Anisa sudah setuju. Jadi biarkan aku pergi."

"Mengundurkan diri?" Dahi Zach mengernyit dalam.

"Maafkan aku jika pernah menyinggung mu, mas. Aku pamit." Aku buru-buru berbalik sembari mengusap air mata sialan ini.

"Bella aku belum selesai? Bisakah kamu bersabar sebentar saja?"

Dia menyuruh ku bersabar. Tapi dia sendiri masih marah. Aku benci pemarah, bagaimana bisa nada suara yang lebih rendah dari sebelumnya itu masih terdengar penuh emosi? Kaki ku menghentak untuk berlari menuju kamar tamu yang aku tempati. Melewati lorong panjang di mana berjajar lukisan-lukisan mahal karya masterpiece terkenal terpajang. Sebelum sampai ke kamar ku aku melewati kamar yang semalam menjadi saksi bagaimana Zach berinteraksi penuh kemesraan dengan wanita lain. Mengapa aku harus ragu, Zach tak seserius kelihatannya. Pergi adalah jalan terbaik.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height