+ Add to Library
+ Add to Library

C8 His Gone

Jane menyusun beberapa lembar pakaian ke dalam sebuah koper besar, tak lupa menaruh perlengkapan pria ke dalam sana. Hatinya sedikit berat akan kepergian pria itu, padahal ini bukan kali pertama Arthur meninggalkannya dengan jarak yang sangat jauh. Tapi entah mengapa seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, seperti sesuatu yang buruk akan menimpa Arthur.

Jane mencoba mengenyahkan pemikiran gila tersebut, meski beberapa hari sebelum kepergian Arthur otaknya terus tertuju ke sana. Jane hanya berdoa agar suaminya itu baik-baik saja, dan mungkin ini hanya prasangka buruk Jane yang terlalu khawatir kepada Arthur.

Well, Arthur adalah pria yang kuat Jane. Tentu saja ia akan baik-baik saja. Batin Jane.

Arthur tiba-tiba memeluknya dari belakang, Jane hanya tersenyum seraya mengelus jemari berurat yang ada di perutnya itu. "Aku telah memasukan kotak obatmu, dan jangan lupa untuk mengganti dasimu setiap hari, terkadang kau lupa melakukannya." Jelas Jane yang hanya di balas geraman oleh Arthur.

"Kau semakin cerewet Jane, padahal aku hanya pergi satu bulan. Mungkin kurang dari pada itu." kata pria itu mengcup kepala Jane.

"Aku istrimu Arthur" balasnya.

"Hm, dan aku suamimu..." Jane berbalik badan, menatap manik kebiruan yang sangat tajam itu dengan sedikit mendongak. Jane mengelus rahang keras Arthur yang mulai tertutupi brewok tebal.

"Jangan lupa untuk bercukur." Tambah Jane.

"Siap ma'am..." balas Arthur sebelum Jane terus mengoceh dan menyeramahi dirinya.

"Apa itu sudah semua? Aku harus segera berangkat karena Ethan pasti telah menunggu di bandara" kata Arthur seraya melirik ke arah arlojinya.

"Hm, jika kau bertemu Ibuku. Sampaikan salamku padanya, beritahu dia jika ia telah nemiliki seorang cucu" kata Jane penuh harap, Arthur menarik kedua tangan Jane. Mengecup buku-buku jemarinya sambil terus menatap wajah cantik itu.

"Tentu Jane, tentu..." ucap Arthur, Jane bisa sedikit lega. Setidaknya ia memberi kabar kepada Ibunya bahwa ia telah memiliki anak, karena selama Jane menikah dengan Arthur, Ibunya itu tidak pernah mau mengangkat telponnya.

Jane mengantarkan Arthur hingga ke pintu depan, pria itu mengangkut koper miliknya di bantu oleh supir taksi yang akan mengantarkannya. Arthur hanya tersenyum melihat Jane yang menggendong Ben dari kejauhan, sampai dirinya memasuki taksi tersebut kedua matanya masih tertuju kepada Jane.

Jane melambaikan tangan, saat taksi tersebut mulai meninggalkan pelataran rumah mereka. Seperti ini akan menjadi terakhir kalinya ia bertemu Arthur, seperti ada sesuatu yang menusuk jantungnya dan membuat paru-parunya menjadi sempit.

Mengapa seperti ini? Jane memegangi dadanya sendiri sampai taksi tersebut benar-benar hilang dari penglihatannya.

Ia masih berdiri disana...

Dengan dress bermotif floral seraya menggendong seorang balita di pelukannya berdiri di ambang pintu rumahnya. Jane terlihat seperti seorang Istri yang sangat setia.

Dan kini hanya tersisa dirinya dan buah hatinya, Ben. Dan juga seorang asisten rumah tangga di rumah besar ini. Ben pasti juga akan merindukan sosok Ayahnya.

Jane tersenyum kearah balita mungil yang masih berusia satu tahun tersebut, wajah yang sangat mirip dengan Arthur itu setidaknya mampu mengobati rasa rindu Jane. "Daddy-mu akan segera kembali, setidaknya kau tidak merepotkan Mommy dan Mary..." kata Jane, meski balita itu belum mengerti apa yang ia ucapkan dan hanya mengedipkan kedua matanya beberapa kali, membuat Jane gemas.

.

.

.

.

.

.

Seorang pria berambut gondrong menghembuskan asap rokok dan membuang rokoknya ke sembarang, tampilannya terlihat sangat acak-acakan mengenakan jaket jeans yang terbuka di bagian dada dan mengenakan celana dengan bahan yang sama. Kedua matanya menyipit melihat wanita cantik berambut pirang lurus itu dari kejauhan.

Bibir tipisnya tersenyum, dan akhirnya yang ia tunggu selama beberapa tahun ini akan terjadi juga. Ia hanya menyusun rencana selama beberapa tahun ini dan menunggu dalam diam, seolah ia benar-benar pergi dari kehidupan wanita itu dan mereka pikir hidupnya telah bahagia.

Tentu saja tidak!

Ia tidak akan membiarkan Arthur bahagia dengan wanita pujaannya sementara ia menjadi buronan pihak berwajib, dan lagi Arthur harus mempertanggung jawabkan perbuatannya atas meninggalnya saudari perempuannya, Stephany...

"Kau sangat cantik Jane..." ucapnya dengan suara serak di balik pagar kokoh rumah besar itu, ingin sekali ia mengelus wajah mulus tanpa cela dan membuatnya menangis tanpa henti.

.

.

.

.

.

Arthur tiba di bandara dan bertemu dengan sahabatnya yaitu Ethan, dan seperti biasa pria itu selalu mengomel jika ia harus selalu menunggu Arthur yang seringkali terlambat.

"Aku hampir saja meninggalkanmu" kata Ethan ketus seraya berkacak pinggang.

"Dan aku akan senang hati pulang kerumah bersama istriku..." balas Arthur.

"...dan mengapa kita tidak menggunakan jet pribadiku saja?" Protes Arthur, Ethan sungguh tidak efisien.

Mereka berdua berjala beriringan, Arthur dan Ethan terlihat seperti dua aktor tampan yang menjadi lirikan para wanita yang ada di sana. Padahal umur mereka sudah tidak muda lagi, namun wajah dan tubuh besar tegap itu terlihat masih sangat bugar.

"Kau tahu mereka memperhatikan kita?" Bisik Ethan di sebelah Arthur dengan percaya diri.

"Hm..." Arthur berdeham.

"Padahal aku bukan lelaki remaja lagi, apalagi kau. Sudah memiliki seorang cucu..." sindir Ethan, Arthur hanya menghembuskan nafas kasar. Bisakah pria itu bersikap sedikit dewasa?

Arthur sampai heran mengapa Putrinya begitu mencintai pria labil ini dan mengabaikan perkataan Ayahnya sendiri dulu. Ethan memang sosok yang sangat tampan dan sempurna, tapi selera humor pria itu terlalu tinggi dan tidak dapat di sandingkan dengan dirinya.

"Kau tahu, hari ini aku melihat seroang pria di depan pagar rumahku." Kata Arthur mengalihkan pembicaraan.

"Aku pikir itu hal yang wajar" balas Ethan seraya menaikan bahunya acuh.

"Kupikir apakah tidak apa-apa jika meninggalkan Jane sendiri?" Tanya Arthur, ia mulai sedikit resah.

"Dia tidak sendiri Arthur, ada Mary dan Ben. Aku akan menyuruh Andrea sering berkunjung kerumahmu..." jelas Ethan panjang lebar, setidaknya dapat membuat sahabatnya itu tidak begitu khawatir, meski ia sendiri juga penasaran dengan perkataan Arthur bahwa ada seseorang di depan rumahnya.

Arthur tidak begitu memperhatikan jika ada beberapa orang yang melintas di depan kediaman rumahnya, lagi pula itu adalah kawasan elit. Jarang sekali orang berjalan kaki apalagi berdiri di sana cukup lama.

Tapi jika Arthur memperhatikan betul seseorang tersebut, itu artinya ada sesuatu yang tak biasa di sana.

Ethan segera mengeluarkan ponselnya, mengetikan pesan teks dan langsung mengirimkannya kepada Andrea lalu menaruhnya kembali ke dalam sakunya.

Berharap urusannya dengan Arthur di London akan segera selesai dan mereka segera kembali ke New York.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height