+ Add to Library
+ Add to Library

C9 Miss His Spank

Malam yang dingin, Jane baru saja menidurkan Ben di kamarnya. Ia menutup pintu kamar Ben dengan berhati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Jane menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Ben, ia melihat kamar itu sangat sunyi. Jane mendesah, biasanya ada Arthur yang duduk di ranjang seraya sibuk dengan laptopnya setiap setelah ia menidurkan Ben.

Tapi ranjang itu sekarang terasa dingin, Jane berbaring di sana masih mengenakan piyama tidurnya. Menyentuh sisi tempat tidur Arthur mencari aroma pria itu yang masih tertinggal di sana, Jane sedikit khawatir. Hingga malam tiba pria itu sama sekali belum memberi kabar. Bahkan ponselnya juga tidak aktif.

Jane menghembuskan nafas kasar, menatap langit-langit kamar sambil melamun. Pikirannya terus tertuju kepada Arthur, rindu. Tentu saja ia rindu, rindu suara bariton yang sangat khas itu, rindu dengan segala sentuhan hangat dari tengan besar itu di tubuhnya. Jane bahkan hampir mendesah menyebutkan nama Arthur di dalam khayalannya, mengingat kembali malam erotis yang selalu Arthur berikan setiap harinya.

Kedua matanya terpejam, masih teringat jelas memori dimana pria itu menyentuh setiap jengkal tubuhnya dengan lembut. Memainkan area sensitifnya dengan erotis hingga membuatnya mencapai klimaks yang hebat, tak sadar Jane sampai melengkingkan tubuhnya dan menyentuh miliknya sendiri dengan jemarinya.

"Hm..." lenguhan Jane terdengar sangat seksi di kamar gelap yang sunyi tersebut. Jemarinya bergerak bebas di bawah sana sambil membayangkan perlakuan Arthur yang sangat kasar di tubuhnya, seolah Jane kecanduan akan hal tersebut. Saat Arthur memukul keras bokongnya hingga memerah dan berbekas tangan besar Arthur, sungguh Jane merindukan itu semua.

Jane menghela nafas kasar, melihat jemarinya yang berlumuran miliknya karena berbagai fantasi gilanya dengan Arthur. Ia beranjak dari ranjangnya, menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya sambil mencuci wajahnya di depan cermin. Jauh dari Arthur sejengkal saja dapat membuat otaknya gila, seperti ini, Jane hampir kehilangan kewarasannya menantikan sentuhan Arthur.

Sial Jane! Apa yang terjadi padamu? Umpatnya dalam hati seraya melihat pantulan dirinya di cermin.

Jane segera mengenyahkan segala pemikiran gila tersebut sebelum ia benar-benar kehilangan kewarasannya. Jane keluar dari kamarnya menuruni tangga menuju dapur guna menjernihkan pikirannya dengan segelas air putih, Jane menuangkan air di gelas kosong lalu menegaknya hingga tandas.

Dapur itu terlihat sangat gelap dan hanya di terangi oleh cahaya rembulan dari jendela, Mary mungkin sudah tertidur lelap di kamarnya karena ini sudah sangat larut malam. Tapi Jane belum bisa tertidur karena pikirannya melayang entah kemana.

Prang!

Jane hampir menjantuhkan gelasnya karena terkejut, suara seperti sesuatu yang pecah terdengar dari taman belakang.

Ia memegangi dadanya masih dalam keadaan kaget, Jane menuju sumber suara. Membuka sedikit ujung gorden pintu belakang guna memastikan, ia mengernyit bingung melihat vas bunga yang ada di luar telah terpecah. Seingat Jane ia tidak memiliki peliharaan di rumah ini.

Jane membuka pintu belakang, semilir angin dingin menerpa kulitnya dan membuat helai rambutnya beterbangan.

Jane membersihkan vas yang berserakan tersebut dan membuangya ke dalam bak sampah, ia menyentuh bunga mawar itu. Menghembuskan nafas kasar karena besok ia harus mencari vas baru untuk mawar kesayangannya tersebut, Jane kembali ke dalam rumah dan tak lupa mengunci pintu belakang, sesuatu memecahkan vas bunganya dan ia masih belum bisa menebak.

Aaaarghhh....

Jane menjerit dengan kencang ketika seseorang menjambak dan menarik rambutnya, namun jeritannya tertahan karena bungkaman di mulutnya. Jane memberontak, namun tubuhnya terlalu mungil dari seseorang yang menerkamnya dari belakang.

"Aku suka caramu memainkan tubuhmu sendiri sayang..." ujar pria itu di belakang telinganya, kedua mata Jane hanya bisa melotot begitu menyadari pemilik dari suara tersebut sambil berusaha melepaskan diri dan meminta bantuan.

.

.

.

.

.

"Jane tidak menjawab telponku" kata Arthur memegangi ponselnya.

"Mungkin ia telah tertidur, kau tahu ini jam berapa? Ayolah, mereka sudah menunggu kita di hotel." Kata Ethan ketika mereka berdua baru saja tiba di London.

Tidak ada yang berubah dengan kota itu semenjak terakhir kali Arthur kemari dan bertemu dengan Jane, Arthur harap ia memiliki waktu dan mengunjungi Eliz meski hanya sebentar sesuai dengan permintaan Jane.

Mereka berdua memasuki sebuah taksi, menuju hotel ternama kota London.

Ethan berdeham melirik ke arah Arthur, pria itu nampak terlihat gusar tidak seperti biasanya.

Beberapa menit taksi berhenti tepat di tempat tujuan mereka, hampir tengah malam namun sepertinya kota ini seperti tidak pernah tidur, sama halnya dengan New York.

"Jujur saja aku sedikit heran dengan rekan bisnismu ini Ethan" kata Arthur, smenjak di perjalanan ia tak pernah bersuara, dan baru saja ia berbicara tentang rekan bisnisnya.

"Tenanglah Arthur, dia temanku..." balas Ethan seraya menepuk pundak Arthur, Ethan tahu pria itu terlalu sensitif apalagi karena ia harus meninggalkan Jane. Mereka memasuki lift, dan seperti biasa wajah Arthur hanya dingin dan terlalu tegang untuk ukuran seorang pria dewasa sepertinya.

Lift terbuka dan mereka berdua langsung menuju ruangan yang di sebutkan sebelumnya, seorang resepsionis cantik menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Sepertinya wanita cantik itu sudah tahu dengan kedatangan Arthur dan Ethan.

Resepsionis tersebut mengantarkan Arthur dan Ethan ke sebuah ruangan, meninggalkan mereka berdua di depan pintu dan membuat Arthur dan Ethan terdiam bingung.

Ethan menaikan bahu acuh dan langsung saja membuka pintu tersebut tanpa basa-basi.

Dan betapa terkejutnya mereka berdua ketika mendapati beberapa wanita di dalam sana dengan pakaian minim dan wajah dengan riasan menggoda.

"Shit Ethan! Rekan bisnis macam apa itu?" Arthur mengumpat, Ethan kembali menutup pintu dengan jantung Ethan hampir copot melihat salah satu dari wanita tadi memakai rantai yang terlilit di tubuhnya, berharap sisi gelapnya tak kembali muncul.

Drrtt... drrtt...

Ethan langsung mengambil ponsel dari dalam saku celananya, terdapat pesan singkat jika rekannya itu akan tiba esok hari dan menyuruhnya untuk menikmati malam ini di hotel tersebut.

"Apa maksudnya menikmati?" Tanya Arthur dengan nada tinggi.

"Aku tidak tahu Arthur, tapi apakah tidak sebaiknya kita masuk ke dalam sana terlebih dahulu?" Tanya Ethan jahil.

"Sial kau Ethan, aku akan menggorok lehermu jika kau berani menghianati Putriku!" Ancam Arthur.

"Baiklah Pak Tua, tidak usah semarah itu. Aku hanya bercanda..."

"...ayo kita cari kamar lain untuk beristirahat!" Kata Ethan meninggalkan tempat itu di susul oleh Arthur.

"Tapi, wanita berambut pirang tadi tidak terlalu buruk. Ia membawa alat pemukul di tangannya, ku pikir dia adalah Dominan yang handal" ucap Ethan.

"Ya, dan aku akan mengirim jasadmu lewat pos besok pagi..." balas Arthur dingin yang hanya di balas tawaan oleh Ethan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height